Periodisasi Teater Modern Indonesia


 



•    Teater Modern Indonesia

Teater Modern Indonesia berkembang di lingkungan kaum terpelajar. Istilah modern disini hanya untuk menyatakan yang bukan tradisional, bentuk teater yang didasarkan pada lakon tertulis dari suatu hasil karya satra. Teater modern diikat oleh hukum dramaturgi. Struktur dan pengolahan banyak didasarkan pada teknik Teater Barat. Susunan naskah, cara pementasan, gaya penyuguhan dan cara pendekatan dan pemikiran dari kebudayaan Barat.

Uraian materi sejarah teater modern Indonesia pada bahan ajar ini disarikan dari Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia, tulisan Jakob Sumardjo (2004) dan Pengetahuan Teater 1, Sejarah dan Unsur Teater, untuk SMK, Buku Sekolah Elektronik tulisan Eko Santosa,(2013). Teater modern di Indonesia adalah produk orang kota, diciptakan oleh penduduk kota dan untuk penduduk kota pula. Hal ini amat berbeda dengan teater tradisional sebelumnya.

Pada dasarnya bentuk teater modern merupakan hasil dari pengaruh kesenian modern Barat di kota-kota. Para pendukung teater modern ini kebanyakan kaum terpelajar yang berada di kota. Pertunjukkan dikerjakan dengan serius, teliti dan persiapan yang matang. Sejarah teater modern Indonesia secara historis menurut Jakob Sumardjo (1992:101) memiliki periodisasi sebagai berikut:
1)    Masa Perintisan (1885 - 1925) :
a)    Teater Bangsawan (1885-1902) ;
b)    Teater Stamboel (1891-1906) ;
c)    Teater Opera (1906 -1925).
2)    Masa Kebangkitan (1925-1941):
a)    Teater Miss Riboet’s Orion (1925-1934);
b)    The Malay Opera “Dardanella” (1926 1935);
c)    Awal Teater Modern di Indonesia (1926-1941).
3)    Masa Perkembangan (1942-1970):
a)    Teater Zaman Jepang (1942-1945);
b)    Teater Tahun 1950-an;
c)    Teater Tahun 1960-an;
4)    Masa Teater Mutakhir (1970-1980):
a)    Teater Tahun 1970-an;
b)    Teater Tahun 1980an;
c)    Teater Tahun 1990-2000-an;
d)    Teater Masa kini.

1)    Masa Perintisan (1885 - 1925) :

Masa perintisan teater modern Indonesia dimulai sejak masuknya pengaruh artistik Barat dalam panggung teater tradisional atau daerah hingga pada akhirnya bentuk pertunjukannya benar-benar mirip dengan teater Barat. Masa ini terdiri:

a)    Teater Bangsawan (1885-1902)

Pada tahun 1870-an di Penang Malaysia ada rombongan teater dari India dengan bahasa India. Oleh penduduk Melayu setempat dinamai “Wayang Parsi.” Bertahun-tahun bermain di Penang rombongan ini pulang ke negaranya. Semua perlengkapan dibeli oleh seorang hartawan Mohamad Pushi. Pada tahun 1885, Mamak Pushi dibantu menantunya, seniman Bai Kassim membentuk rombongan Pushi Indera Bangsawan of Penang. Rombongan ini disambut, diterima dengan baik oleh masyarakat Melayu di Malaysia, Singapura dan Sumatera. Bahkan rombongan Pushi Indera Bangsawan of Penang sampai pentas di Batavia. Di kota ini rombongan Mamak Pushi bubar semua alat dibeli oleh Jaafar, yang dikenal sebagai ‘Si Orang Turki’ yang membentuk rombongan Komidi Stamboel. Nama stamboel ini dari sebutan ibukota Turki yakni Istamboel. Rombongan ini lebih banyak mementaskan cerita-cerita dari Timur Tengah. Maka hadirlah rombongan kedua, teater bangsawan Stamboel yang kemudian muncul di Surabaya pada tahun 1891 segera mendapat sambutan masyarakat kota Jawa. Rintisan Jaafar berhasil membangun sebuah publik penontonnya di Jawa.

b)    Teater Stamboel (1891-1906)

Kegagalan Pushi Indera Bangsawan of Penang dan rombongan Teater Stamboel tidak hilang begitu saja. Di Indonesia sekitar tahun 1891, lahirlah rombongan Komedi Stamboel, didirikan oleh August Mahieu (1860-1906). August Mahieu seorang Indo-Perancis kelahiran Surabaya. Penyediaan modal rombongan teater ini diberikan oleh Yap Goan Tay, seorang China-peranakan, dan Cassim, Indonesiers seberang. Komedi Stamboel memperoleh sambutan hangat penontonnya di Surabaya dan keliling pulau Jawa.
Repertoir yang diplih Komedi Stamboel berasal dari Cerita 1001 Malam, seperti Aladin Dengan Lampu Wasiat, Alibaba dengan 40 Penyamun, Hawa Majelis, Sinbad Tukang Ikan, dan sebagainya. Untuk menghindari kejenuhan cerita Timur Tengah dipentaskan pula cerita populer seperti Nyai Dasima, Oey Tabahsia, Si Tjonat. Bahkan khasanah cerita Barat seperti Hamlet, Romeo Juliet, Carmen, Satoe Saoedagar dari Vensia dan sebagainya. Aktivis teater setelah Mahieu yakni Hoogreven, seorang China yang berkewarganegaraan Belanda, Marietje Oort dan F. Cramer, seorang seniman keroncong.

c)    Teater Opera (1906 -1925)

Sementara penerus Mahieu terus berkiprah di masyarakat, di lingkungan masyarakat China-peranakan di Indonesia mulai muncul kegiatan teater.

Sekitar tahun 1908 dari lingkungan masyarakat China peranakan timbul “opera derma” atau Tjoe Tee Hie. Sebuah perkumpulan sosial China- peranakan di Weltervreden pada tahun 1908 mencari derma untuk perkumpulannya dengan pentas teater dan menghasilkan derma 10 ribu rupiah pada waktu itu. Sehingga “Opera Derma” mempertunjukkan cerita- cerita lama China dengan bahasa China-Betawi.

Opera derma yang masih amatir, pada tahun 1912 orang mulai menulis naskah untuk dimainkan. Naskah tersebut sebelum opera derma pentas sudah dijual agar penonton mempunyai pegangan untuk mengikuti jalan ceritanya. Naskah pertama yang diketemukan berjudul Tjerita Harta yang Berbahaja anonim diterbitkan oleh organisasi China di Tangerang. Kemudian disusul cerita lain Tjerita Satoe Iboe Tiri jang pintar adjar anak (1917), Khoe Tiong Ham (1920), Kam Pek San (1920). Semua berisi cerita dengan setting zamannya dan bertujuan dikdaktis.

Pertunjukan opera derma berbeda dengan komedi stambul, maka golongan terpelajar China mengecam pertunjukan yang bukan ‘seni’ atau ‘toneelkunst’. Diantaranya yang mengecam, Lauw Giok Lan dan Kwee Tek Hoay Lauw Giok Lan tertulis dalam pengantar buku dramanya Karina- Adinda, lelakon Komedi Hindia Timoer dalm tiga bagian (1913). Melihat kenyataan teater belum bermutu mereka berdua ingin menaikkan mutu agar menjadi teater yang “agak terpelajar” yakni main berdasarkan naskah, sehingga permainan lebih teratur, terencana dan rapih. Lauw Giok Lan menerjemahkan Victor Ido, Karina-Adinda dan Kwee Tek Hoay Lauw Giok Lan menyadur cerita pendek Oppenheim, The False Gods, menjadi Allah jang Palsoe.

Pada tahun 1911, muncul rombongan opera profesional China Soei Ban Lian pimpinan Sim Tek Bie. Istri Tek Bie, yakni Teng Poel Nio menjadi primadona rombongan. Primdona ini pandai memainkan tokoh-tokoh lelaki dalam certa-cerita klasik China sehingga digilai kaum uwa dan etjim, sampai harta mereka ludes. Cerita yang dimainkan antara ain Sin Djn Koei, Sam Pek Eng Tay, Ouw Peh Tjoa dan sebagainya.

2)    Masa Kebangkitan (1925-1941)

Perkenalan masyarakat Indonesia dengan aktivitas teater Mohammad Pushi, Agust Mahieu dan Sim Tek Bie bukan dari kaum terpelajar serta kritik teater Lauw Giok Lan dan Kwee Tek Hoay Lauw Giok Lan sangat berpengaruh terhadap perkembangan teater di Indonesia. Pada tahun 1925, pengaruh unsur-unsur teater Barat seperti sastra drama, idiom teater dari tonil Belanda maupun kaum terpelajar Indonesia melahirkan bentuk teater baru di Indonesia.

a)    Teater Miss Riboet’s Orion (1925-1934)

Jika rombongan teater Mohammad Pushi, Agust Mahieu dan Sim Tek Bie bukan dari kaum terpelajar, lebih mengutamakan lakunya karcis untuk mendapatkan uang. Pada tahun 1925, seorang pemilik modal juga terpelajar memasuki wilayah teater baru Indonesia. Nama orang itu T.D. Tio Jr. atau Tio Tik Djien, ia lulusan sekolah Dagang Batavia dan mendirikan rombongan Orion. Di era ini banyak bermunculan rombongan teater yag meneruskan tradisi stambul dan opera. Rombongan itu seperti The Union Dahlia Opera pimpinan Tengku Katan of Medan, The Malay Opera of Malacca pimpinan Wan Yet Al Kaf berdiri sejak tahun 1915 di Malaysia.

Nama Teater Miss Riboet’s Orion karena pada waktu itu Orion mementaskan lakon Barat berjudul Juanita de Vega karangan Antoinette de Zerna dengan pelaku utamanya Miss Riboet’s sebagai perampok perempuan. Mulai saat itu Orion dan Miss Riboet’s menonjol sehingga nama rombongan menjadi Miss Riboet’s Orion. Pada tahun 1925 ini, kedudukan rombongan semakin kuat, seorang wartawan China-peranakan, redaksi surat kabar Interocean di Surabaya bergabung menjadi penulis cerita untuk Orion. Naskah lakon yang dipentaskan antara lain: Black Sheep, Singapura After Midnight, Saidjah, Barisan Tengkorak, R.A. Soeatie, Gagak Solo, dan sebagainya.

b)    The Malay Opera “Dardanella” (1926 - 1935)

Di tengah kejayaan Miss Riboet’s Orion pada tanggal 21 Juni 1926 di Sidoarjo berdiri The Malay Opera “Dardanella” dengan pimpinannya Willy Klimanof alias A. Piedro, seorang Rusia putih kelahiran Penang. Kalau Orion popular berkat bintang panggungnya Miss Riboet, Dardanella memiliki bintang legendaris Tan Tjeng Bok. Dardanella pada awal mementaskan cerita Barat, baik dari roman maupun film. Contohnya The Thief of Bagdat, Mark of Zorro, Don Q, The Qourt of Mone Christo, The ree Msketeers dan sebagainya.

Pada perkembangannya tidak hanya Tan Tjeng Bok yang menjadi bintang Dardanella. Pada tahun 1927, Dewi Dja ketemu A. Piedro yang memimpin rombongan Dardanella. Muncul pada zamannya sangat terkenal “Dardanella’s big five”: Tan Tjeng Bok, Dewi Dja, Riboet II dan Astaman. Pada tahun 1930, Andjar ASMPra, keluar dari redaksi “Doenia Film” di Betawi bergabung di Dardanella. Andjar ASMPra khusus menulis naskah untuk diperankan Dja seperti Dr. Samsi, Si Bongkok, Haida dan Tjang. Kemudian juga lakon Ex Sawah Lunto, Tandak Buta, Gadis Desa dan Singa Minangkabau. A. Piedro menulis drama Fatima, Maharani, Rencong Aceh. “Perang teater” pun terjadi Dardanella dengan tokohnya: A. Piedro, Andjar ASMPra dan Tan Tjeng Bok sedang Orion dengan tokohnya T.D. Tio Jr., Nyoo Cheong Seng dan A. Boelaard van Tuijl. Perang lewat reklame berua poster-poster menyolok, iklan di surat kabar dan majalah, propaganda di jalan-jalan dan sebagainya. Naskah besar menjadi andalan naskah Dr. Samsi unggulan Dardanella dan naskah Gagak Solo unggulan Orion.

Tahun 1934, riwayat Orion harus tamat, karena penulis Nyoo Cheong Seng bersama istrinya Fifi Young alian Tan Kim Nio menyeberang ke Dardanella. Dardanella mencapai puncaknya. Bintang panggung baru masuk ke Dardanella yakni Bactiar Effendi, saudara sastrawan dan anggota Twee Kamer Roestam Effendi. Dardanella pun berkemilauan bintang-bintang: Dja, Fifi Young, Ratna ASMPra, Koesna (saudara Dja), Ferry Kok, Astaman, Gadok, Oedjang, Henry L. Duart orang Amerika. Masa kejayaan Dardanella berlangsung sekitar 10 tahunan. ”Zaman emas” Dardanella telah terbentuk sebuah tontonan teater yang lebih banyak mengambil dan belajar dari seni teater Barat. Ini gambaran teater baru atau teater modern bagi orang-orang kota. Hal ini menjadi modal dasar mengembangkan teater modern di Idonesia, baik pada Zaman Jepang maupun setelah kemerdekaan bangsa Indonesia.

c)    Awal Teater Modern di Indonesia (1926)

Setelah Teater Bangsawan (1885-1902), Teater Stamboel (1891-1906), Teater Opera (1906-1925), Teater Miss Riboet’s Orion (1925-1934), The Malay Opera “Dardanella” (1926-1935). Kehadiran teater modern Indonesia secara awal pun sudah nampak, pada tahun 1901 ditemukan drama sebabak Lakon Raden Beij Soerio Retno dalam bahasa Melayu-Rendah yang ditulis oleh F. Wiggers, jurnalis Belanda. Tahun 1926, Rustam Effendi menerbitkan drama bersajak Bebasari. Mulai saat itu diterbitkan naskah- naskah drama lewat majalah kaum intelektuil zamannya, seperti karya Muhamad Yamin, Sanusi Pane, Ajirabas, Arminj Pane dan sebagainya. Perkembangan teater lebih bersifat profesional. Kelompok-kelompok berorientasi pada budaya massa. Karena kehidupan pemainnya ditanggung oleh kelompok itu, bagaimana bisa menjual karcis sebanyak-banyaknya, bagaimana menarik penonton, mengatur keuangan dan teater-teater ini daya persaingannya kuat sekali. Dari teater profesional ini yang mempengaruhi teater modern sekarang ini.
Teater pada masa kesusasteraan angkatan Pujangga Baru kurang berarti jika dilihat dari konteks sejarah teater modern Indonesia tetapi cukup penting dilihat dari sudut kesusasteraan. Naskah-naskah drama tersebut belum mencapai bentuk sebagai drama karena masih menekankan unsur sastra dan sulit untuk dipentaskan. Drama-drama Pujangga Baru ditulis sebagai ungkapan ketertekanan kaum intelektual di masa itu karena penindasan pemerintahan Belanda yang amat keras terhadap kaum pergerakan. Bahkan Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno, pada tahun 1927 menulis dan menyutradarai teater di Bengkulu (saat di pengasingan). Beberapa lakon yang ditulisnya antara lain, Rainbow, Krukut Bikutbi, dan Dr. Setan. Penulis lakon lainnya, yaitu Sanusi Pane menulis Airlangga (1928), Burung Garuda Terbang Sendiri (1929), Kertajaya (1932) dan Sandyakalaning Majapahit (1933). Muhammad Yamin menulis Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (1932), Ken Arok dan Ken Dedes (1934). Armiijn Pane mengolah roman Swasta Setahun di Bedahulu karangan I Gusti Nyoman Panji Tisna menjadi naskah drama. Nur Sutan Iskandar menyadur karangan Molliere, dengan judul Si Bachil. Imam Supardi menulis drama dengan judul Keris Mpu Gandring. Dr. Satiman Wirjosandjojo menulis drama berjudul Nyai Blorong. Mr. Singgih menulis drama berjudul Hantu. Lakon-lakon ini ditulis berdasarkan tema kebangsaan, persoalan, dan harapan serta misi mewujudkan Indonesia sebagai negara merdeka. Penulis-penulis ini adalah cendekiawan Indonesia, menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.

3)    Masa Perkembangan (1942-1970)

Masa perkembangan teater modern di Indonesia dimulai pada masa pra-kemerdekaan atau zaman pendudukan Jepang (1940-1942) sampai dengan pertengahan tahun 1960-an.

a)    Teater Zaman Jepang (1942-1945)

Pada tanggal 8 Maret 1942, bala tentara Jepang berhasil menaklukkan pemeritah Hindia Belanda di Subang, Jawa Barat. Sejak itu semua wilayah Hindia Belanda jatuh ketangan pemeritah militer Jepang. Indonesia dalam komando wilayah pemerintahan Jepang Asia Tenggara yang berpusat di Saigon, Vietnam. Kekuasaan Jepang dimulai sejak awal tahun 1942, tetapi pengaruhnya terhadap kehidupan kebudayaan dan kesenian, terutama seni pertunjukan, baru terasa pada akhir tahun. Semua unsur kesenian dan kebudayaan pada kurun waktu penjajahan Jepang dikonsentrasikan untuk mendukung pemerintahan totaliter Jepang. Segala daya kreasi seni secara sistematis diarahkan untuk menyukseskan pemerintahan totaliter Jepang. Dua orang tokoh, yaitu Anjar ASMPra dan Kamajaya masih sempat berpikir bahwa perlu didirikan Pusat Kesenian Indonesia yang bertujuan menciptakan pembaharuan kesenian yang selaras dengan perkembangan zaman sebagai upaya untuk melahirkan kreasi–kreasi baru dalam wujud kesenian nasional Indonesia. Maka pada tanggal 6 Oktober 1942, di rumah Bung Karno dibentuklah Badan Pusat Kesenian Indonesia dengan pengurus sebagai berikut, Sanusi Pane (Ketua), Mr. Sumanang (Sekretaris), dan sebagai anggota antara lain, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjabana, dan Kamajaya.

Badan Pusat Kesenian Indonesia bermaksud menciptakan kesenian Indonesia baru, di antaranya dengan jalan memperbaiki dan menyesuaikan kesenian daerah menuju kesenian Indonesia baru. Langkah-langkah yang telah diambil oleh Badan Pusat Kesenian Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemajuan kesenian Indonesia, ternyata mengalami hambatan yang datangnya dari barisan propaganda Jepang, yaitu Sendenbu yang membentuk badan perfilman dengan nama Djawa Eiga Kosy’, yang dipimpin oleh orang Jepang S. Oya. Intensitas kerja Djawa Eiga Kosya yang ingin menghambat langkah Badan Pusat Kesenian Indonesia nampak ketika mereka membuka sekolah tonil dan drama Putra Asia, Ratu Asia, Pendekar Asia, yang kesemuanya merupakan corong propaganda Jepang.

Rombongan sandiwara Bintang Surabaya tampil dengan aktor dan aktris kenamaan, antara lain Astaman, Tan Tjeng Bok (Si Item), Ali Yugo, Fifi Young, Dahlia, dan sebagainya. Pengarang Nyoo Cheong Seng, yang dikenal dengan nama samarannya Mon Siour D’amour ini dalam rombongan sandiwara Bintang Surabaya menulis lakon antara lain, Kris Bali, Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah difilmkan), Sija, R.A Murdiati, dan Merah Delima. Rombongan Sandiwara Bintang Surabaya menyuguhkan pementasan-pementasan dramanya dengan cara lama seperti pada masa Dardanella, Komedi Bangsawan, dan Bolero, yaitu di antara satu dan lain babak diselingi oleh tarian-tarian, nyanyian, dan lawak. Secara istimewa selingannya kemudian ditambah dengan mode show, dengan peragawati gadis-gadis Indo Belanda yang cantik-cantik . Hingga tahun 1943 rombongan sandiwara hanya dikelola pengusaha Cina atau dibiayai Sendenbu karena bisnis pertunjukan itu masih asing bagi para pengusaha Indonesia. Baru kemudian Muchsin sebagai pengusaha besar tertarik dan membiayai rombongan sandiwara Warna Sari. 

keistimewaan rombongan sandiwara Warna Sari adalah penampilan musiknya yang mewah yang dipimpin oleh Garsia, seorang keturunan Filipina, yang terkenal sebagi Raja Drum. Garsia menempatkan deretan drumnya yang berbagai ukuran itu memenuhi lebih dari separuh panggung. Ia menabuh drum-drum tersebut sambil meloncat ke kanan – ke kiri sehingga menarik minat penonton. Cerita-cerita yang dipentaskan   antara lain, Panggilan Tanah Air, Bulan Punama, Kusumahadi, Kembang Kaca, Dewi Rani, dan lain sebagainya. Rombongan sandiwara terkenal lainnya adalah rombongan sandiwara Sunda Mis Tjitjih, yaitu rombongan sandiwara yang digemari rakyat jelata. Dalam perjalanannya, rombongan sandiwara ini terpaksa berlindung di bawah barisan propaganda Jepang dan berganti nama menjadi rombongan sandiwara Tjahaya Asia yang mementaskan cerita-cerita baru untuk kepentingan propaganda Jepang.

b)    Teater Indonesia 1950-an

Setelah perang kemerdekaan, peluang terbuka bagi seniman untuk merenungkan perjuangan dalam perang kemerdekaan. Para seniman merenungkan peristiwa perang kemerdekaan, kekecewaan, penderitaan, keberanian, nilai kemanusiaan, pengkhianatan, kemunafikan, kepahlawanan dan tindakan pengecut, keikhlasan sendiri dan pengorbanan, dan lain-lain. Peristiwa perang secara khas dilukiskan dalam lakon Fajar Sidik (Emil Sanossa, 1955), Kapten Syaf (Aoh Kartahadimaja, 1951), Pertahanan Akhir (Sitor Situmorang, 1954), Titik-titik Hitam (Nasjah Djamin, 1956) Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasjah Djamin, 1959).

Realisme konvensional dan naturalisme tampaknya menjadi pilihan generasi yang terbiasa dengan teater Barat. Dua seniman teater Barat, Hendrik Ibsen dan Anton Chekhov berpengaruh besar dalam idiom realisme konvensional. Pada tahun 1955 didirikannya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) oleh USMPr ISMPil dan Asrul Sani. ATNI menggalakkan dan memapankan realisme dengan mementaskan lakonlakon terjemahan dari Barat. Selain pengaruh Ibsen dan Chekov karyakarya Moliere, Gogol, dan Chekov menjadi bahan pertunjukan. Metode Stanislavkian dikembangkan ATNI untuk pementasan dan pemeranan. ATNI merupakan akademi teater modern yang pertama di Asia Tenggara. Alumni ATNI yang terkenal: Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek Malyati, Pramana Padmadarmaya, Galib Husein, dan Kasim Achmad.

Sebelum ATNI lahir pada Konggres Kebudayaan I di kota Magelang (1948), diusulkan adanya Cine Drama Institute yang kemudian didirikan di Yogyakarta atas prakarsa Menteri Penerangan. Maka didirikan Institut Kebudayaan Indonesia (IKI) Yogyakarta yang mempelopori berdirinya Sekolah Seni Drama dan Film (SSDRAF) yang dipimpin Sri Murtono atau R.Sri Moertono (1 Nopember 1951). SSDRAF resmi berubah menjadi ASDRAFI (Akademi Seni Drama dan Film Indonesia) Yogyakarta (5 Mei 1955) direkturnya Sri Murtono. Eksperimen drama terbuka Sri Murtono melahirkan Sumpah Gadjah Mada bersama SSDRAF atau ASDRAFI pentas keliling dari Yogya ke Jakarta, dan Malang (Nur Iswantara, 2004). Di Yogyakarta dinamika teater tampak nyata. Umar Kayam sebagai intelektual muda yang sedang belajar di Fakultas Sastera, Pedagogi dan Filsafat (FSPF) Universitas Gadjah Maa (UGM) begitu serius dalam berteater. Pada tanggal 14-15 Desember 1964, Umar Kayam menyutradarai Ratna saduran Armin Pane dari Nora karya Henrik Ibsen. Pentas dalam rangka ulang tahun UGM itu didukung pemain Purbatin Hadi, Marijani, Herijani, Sutarno, dan Rukmini. Pada tanggal 12-13 Desember 1955, dalam rangka dies natalis UGM, Umar Kayam menyutradarai lakon Hanya Satu Kali saduran Sitor Sirumorang dari cerita John Galsworthy dan Robert Midleman. Para pemainnya WS. Rendra, Purbatin Hadi, Irawati, E. Sutarto, Zainudin, dan Umar Suwito (Nur Iswantara, 2009:96). Teater Muslim sangat tekenal melalui lakon Iblis karya Mohammad Diponegoro. Dekade 1950-an berdiri Himpunan Seni Budaya Surakarta (HBS) didirikan di Surakarta.

c)    Teater Indonesia 1960-an

Teater Indonesia tahun 1960-an termasuk masa tumbuh suburnya kelompok dan kritik teater serta pada pertengahan dekade sebagai penanda perubahan menuju teater mutakhir. Jim Lim bersama STB mulai mengadakan eksperimen dengan menggabungkan unsur-unsur teater etnis seperti gamelan, tari topeng Cirebon, longser, dan dagelan dengan teater Barat.

Pada akhir 1950-an Jim Lim mulai dikenal sebagai aktor dan sutradara realisme konvensional. Karya penyutradaraannya, yaitu Awal dan Mira (Utuy T. Sontani) dan Paman Vanya (Anton Chekhov). Bermain dengan akting realistis dalam lakon The Glass Menagerie (Tennesse William, 1962), The Bespoke Overcoat (Wolf mankowitz ). Pada tahun 1960, Jim Lim menyutradari Bung Besar (Misbach Yusa Biran) dengan gaya longser, teater rakyat Sunda. Tahun 1962 Jim Lim menggabungkan unsur wayang kulit dan musik dalam karya penyutradaraannya yang berjudul Pangeran Geusan Ulun (Saini KM., 1961). Mengadaptasi lakon Hamlet dan diubah judulnya menjadi Jaka Tumbal (1963/1964).

Menyutradarai dengan gaya realistis tetapi isinya absurditas pada lakon Caligula (Albert Camus), Badak-badak (Ionesco, 1960), dan Biduanita Botak (Ionesco, 1950). Pada tahun 1967 Jim Lim belajar teater dan menetap di Paris. Suyatna Anirun, salah satu aktor, pendiri STB melanjutkan apa yang sudah dilakukan Jim Lim berkreasi memakai unsur- unsur teater Barat dengan teater etnis.

Peristiwa penting dalam usaha membebaskan teater dari batasan realisme konvensional terjadi pada tahun 1967, ketika Rendra kembali ke Indonesia. Rendra mendirikan Bengkel Teater Yogya yang kemudian menciptakan pertunjukan pendek improvisatoris yang tidak berdasarkan naskah jadi (wellmade play) seperti dalam drama-drama realisme. Akan tetapi, pertunjukan bermula dari improvisasi dan eksplorasi bahasa tubuh dan bebunyian mulut tertentu atas suatu tema yang diistilahkan dengan teater mini kata (menggunakan kata seminimal mungkin). Pertunjukannya misalnya, Bib Bop dan Rambate Rate Rata (1967,1968). Pada taggal 3 Mei 1968 di Fakultas Sastra Unhas berdiri Teater Latamaosandi Enga pendiriya Jacob Marala, Ichasan Amar, Husni Husen Nud, Philips Tangdilntin, dan Fahmi Syariff. Pentasnya antara lain Hatinya Putih Kembali (Anhar Zainuddin), Jangan Lupakan Peristiwa Itu (Emil Sanossa).

4)    Teater Mutakhir Indonesia

Masa teater mutakhir Indonesia bisa dimulai pada pertengahan tahun 1960-an, namun dalam pembahasan di sini periodisasi tersebut akan ditulis mulai tahun 1970-an sampai teater Indonesia masa kini.

a)    Teater Indonesia 1970-an

Didirikannya pusat kesenian Taman Ismail Marzuki oleh Ali Sadikin, gubernur DKI jakarta tahun 1970, menjadi pemicu meningkatnya aktivitas, dan kreativitas berteater tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di kota besar seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Padang, Palembang, Ujung Pandang, dan lain-lain. Taman Ismail Marzuki menerbitkan 67 (enam puluh tujuh) judul lakon yang ditulis oleh 17 (tujuh belas) pengarang sandiwara, menyelenggarakan festival pertunjukan secara teratur, juga lokakarya dan diskusi teater secara umum atau khusus. Tidak hanya Stanislavsky tetapi nama-nama seperti Brecht, Artaud dan Grotowsky juga diperbincangkan. Di era 1970-an W.S. Rendra dengan Bengkel Teater- nya yang dalam penggembaraan teaternya, mementaskan naskah-naskah Barat seperti Oidupus Sang Raja, Oidupus Di Kolonus, Lisistrata dan lain- lain, menggunakan pola teater rakyat yang sangat akrab dengan kebudayaan daerah. Seperti pemanfaatan iringan tetabuhan dengan gamelan Nyi Philis menjadi salah satu pembaharuan yang unik.

Di Bandung Suyatna Anirun bersama STB banyak mementaskan lakon asing yang diadaptasi menjadi lakon pribumi. Suyatna Anirun mengembangkan ragam teater yang khas Indonesia karena gaya teater dan sikap berkeseniannya begitu membumi. Karya penting Suyatna Anirun antara lain: Paman Vanya (Anon Chekov), Karto Loewak (Ben Jonson), Tabib Tetiron (Moliere), Lingkaran Kapur Putih (Bertold Brecht), Antigone (Sophochles), Kuda Perang (Geothe), Geusun Ulun (Saini KM), Romeo & Juliet (William Shakespeare), Badak-badak (Ionesco), King Lear (William Shakespeare), Burung Camar (Anton Chekov). Di Surabaya muncul bentuk pertunjukan teater yang mengacu teater epik (Brecht) dengan idiom teater rakyat (kentrung dan ludruk) melalui Basuki Rahmat, Akhudiat, Luthfi Rahman, Hasyim Amir (Bengkel Muda Surabaya, Teater Lektur, Teater Mlarat Malang). Di Yogyakarta Azwar AN mendirikan teater Alam. Mohammad Diponegoro dan Syubah Asa mendirikan Teater Muslim. Di Padang ada Wisran Hadi dengan teater Padang. Di Makassar, Rahman Arge dan Aspar Patturusi mendirikan Teater Makassar. Lalu Teater Nasional Medan didirikan oleh Djohan A Nasution dan Burhan Piliang.

Tokoh-tokoh teater yang muncul tahun 1970-an lainnya adalah Teguh Karya (Teater Populer), D. Djajakusuma, Wahyu Sihombing, Pramana Padmodarmaya (Teater Lembaga), Ikranegara (Teater Saja), Danarto (Teater Tanpa Penonton), Adi Kurdi (Teater Hitam Putih). Arifin C. Noor (Teater Kecil) dengan gaya pementasan yang kaya irama dari blocking, musik, vokal, tata cahaya, kostum dan verbalisme naskah. Putu Wijaya (Teater Mandiri) dengan ciri penampilan menggunakan kostum yang meriah dan vokal keras. Menampilkan manusia sebagai gerombolan dan aksi. Fokus tidak terletak pada aktor tetapi gerombolan yang menciptakan situasi dan aksi sehingga lebih dikenal sebagai teater teror. N. Riantiarno mendirikan Teater Koma dengan ciri produksi pementasan yang mengutamakan tata artistik glamor.

b)    Teater Indonesia 1980-an

Tahun 1980-an sampai dengan 1990-an situasi politik Indonesia kian seragam melalui pembentukan lembaga-lembaga tunggal di tingkat nasional. Ditiadakannya kehidupan politik kampus sebagai akibat peristiwa Malari 1974. Dewan-dewan Mahasiswa ditiadakan. Dalam latar situasi seperti itu lahir beberapa kelompok teater yang sebagian merupakan produk festival teater. Di Jakarta dikenal dengan Festival Teater Jakarta (sebelumnya disebut Festival Teater Remaja). Beberapa jenis festival di Yogyakarta, di antaranya Festival Seni Pertunjukan Rakyat yang diselenggarakan Departemen Penerangan Republik Indonesia (1983). Di Surabaya ada Festival Drama Lima Kota yang digagas oleh Luthfi Rahman, Kholiq Dimyati dan Mukid F.

Pada saat itu lahirlah kelompok-kelompok teater baru di berbagai kota di Indonesia. Di Yogyakarta muncul Teater Dynasti, Teater Jeprik, Teater Tikar, Teater Shima, dan Teater Gandrik. Teater Gandrik menonjol dengan warna teater yang mengacu kepada roh teater tradisional kerakyatan dan menyusun berita-berita yang aktual di masyarakat menjadi bangunan cerita. Lakon yang dipentaskan antra lain, Pasar Seret, Meh, Kontrang- kantring, Dhemit, Upeti, Sinden, dan Orde Tabung. Di Solo (Surakarta) muncul Teater Gapit yang menggunakan bahasa Jawa dan latar cerita yang meniru lingkungan kehidupan rakyat pinggiran. Salah satu lakonnya berjudul Tuk. Di samping Gapit, di Solo ada juga Teater Gidag-gidig. Di Bandung muncul Teater Bel, Teater Re-publik, dan Teater Payung Hitam. Di Tegal lahir teater RSPD. Festival Drama Lima Kota Surabaya memunculkan Teater Pavita, Teater Ragil, Teater Api, Teater Rajawali, Teater Institut, Teater Tobong, Teater Nol, Sanggar Suroboyo. Di Semarang muncul Teater Lingkar. Di Medan muncul Teater Que dan di Palembang muncul Teater Potlot. Dari Festival Teater Jakarta muncul kelompok teater seperti, Teater Sae yang berbeda sikap dalam menghadapi naskah yaitu posisinya sejajar dengan cara-cara pencapaian idiom akting melalui eksplorasi latihan. Ada pula Teater Luka, Teater Kubur, Teater Bandar Jakarta, Teater Kanvas, Teater Tetas selain teater Studio Oncor, dan Teater Kami yang lahir di luar produk festival (Malna,1999: 191).

c)    Teater Indonesia 1990-2000-an

Perkembangan teater Indonesia terus belanjut dan mengalami dinamika yang sangat menarik. Kelompok teater yang dibentuk pada tahun 1990-an mulai menampakkan kemajuannya pada era 2000-an. Di Yogyakarta ada Teater Garasi yang berdiri pada tanggal 4 Desember 1993 di lingkungan kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, dengan pendirinya Yudi Ahmad Tajudin, Kusworo Bayu Aji dan Puthut Yulianto. Pada tahun 2000 mengalami kemajuan yang pesat.

Mereka menjadikan teater sebagai sebuah laboratorium penciptaan teater. Karya-karya yang diciptakan tidak hanya didasari pada keinginan atau capaian artistik tetapi juga dilandasi dengan riset yang sungguh-sungguh. Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan cermat ini kemudian diformulasikan menjadi sebuah bentuk pementasan. Dengan demikian, tampilan atau sajian teater yang dihadirkan bisa dirunut secara akademis dan memliki landasan teori atau referensi yang kuat. Selain riset, Teater Garasi juga menerapkan manajemen teater modern dan dalam bidang ini mereka sangat berhasil sehingga mampu bertahan sampai sekarang. Teater Garasi dengan direktur artistik, Yudi Ahmad Tajudin menjadi salah satu kelompok teater yang memiliki prestasi dan dikenal secara lokal, nasional dan internasional.

Di Lampung teater yang menggunakan manajemen modern adalah teater Satu. Meski bermula dari teater komunitas dan banyak berkecimpung dengan kegiatan teater kampus mereka berkembang dengan baik dan mampu menciptakan ragam pertunjukan yang menarik. Berbagai isu aktual mereka tampilkan dengan menggunakan berbagai pendekatan artistik. Di samping itu mereka juga menciptakan berbagai macam aktivitas yang mendukung perkembangan teater.

Di Surabaya teater API kembali bangkit dan mencoba menggali kemungkinan-kemungkinan baru ekspresi artistik dalam pementasannya. Meskipun teater alam berhenti berproses namun kebangkitan teater ini mampu memberikan warna sendiri dalam perkembangan teater modern tahun 2000-an terutama di wilayah Jawa Timur.

Teater-teater modern di Indonesia pada era 2000-an berhadapan dengan budaya teknologi informasi mutakhir yang melahirkan iklim kompetisi ketat. Hal ini sangat berdampak pada pilihan artistik yang ditawarkan. Ketika arus informasi berkembang dengan cepat dan sangat mudah diakses oleh siapapun, pilihan konsep artistik menjadi sangat penting. Orang akan lebih mudah beralih ke media tonton atau hiburan yang lain. Oleh karena itu, teater sangat ditantang untuk menghadirkan pertunjukan yang benar-benar menarik minat. Beberapa teater tetap memilih dengan jalur kreasinya meski dengan isu dan beberapa instrumen yang disesuaikan seperti Teater Koma dan Teater Gandrik. Namun beberapa teater yang lain mencoba mengadaptasi hal-hal terbaru baik dalam isu, struktur, bahkan gaya aktingnya terus dilakukan oleh Teater Payung Hitam (Rahman Sabur) dari Bandung dan Saturday Acting Club (SAC) pimpinan Rukman Rosadi dari Yogyakarta.

Kelompok-kelompok teater ini selalu mencoba mencari alternatif pertunjukan yang dirasa mampu memberikan alternatif tontonan. Kekuatan teks verbal terkadang dipadukan atau bahkan diadu dengan kekuatan tubuh dan tidak jarang bahkan tubuh lebih berkuasa dari pada teks verbal. Intinya adalah banyak cara yang bisa ditempuh untuk membicarakan atau merenungkan satu persoalan secara bersama antara pemain dan penonton.

d)    Teater Masa Kini

Dewasa ini, perkembangan teater di Indonesia sangat beragam. Namun ciri utamanya adalah penyesuaian diri dengan keadaan atau situasi kekinian. Bahkan teater daerah pun mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan keadaan ini. Perubahan manajemen ke arah modern harus dilakukan begitu pula dengan pilihan tampilan artistik. Tidak jarang teater daerah menggunakan isntrumen musik elektronik dalam pementasannya atau bahkan memasukkan dan menggabungkan unsur-unsur modern dalam pementasannya.

Di Yogyakarta muncul Wayang Hip-hop yang menggabungkan seni wayang dengan musik hip-hop. Di Jawa Tengah lahir Wayang Kampung Sebelah yang menghadirkan realitas kehidupan sehari-hari. Semangat ketidakrelaan jika wayang ini mengalami stagnasi atau kemandegan membuat para seniman mencoba merekonstruksi pertunjukan wayang dalam perspektif artistik yang berbeda-beda. Contohnya, Slamet Gundono melalui pertunjukan Wayang Suket yang teatrikal dan Mujar Sangkerta dengan Wayang Milehnium Wae penuh nuansa rupa, boneka wayang berukuran besar dan tersaji menggunakan model happening art.

Pembaharuan teater daerah tidak hanya terjadi pada seni wayang namun juga seni yang lain. Di Medan, Bang Thomson berupaya untuk kembali menggairahkan kehidupan Opera Batak dilakukan sedemikian rupa. Di Yogyakarta seniman dan beberapa institusi terus berusaha untuk melanggengkan kesenian Kethoprak dengan berbagai macam konsep dan tawaran pertunjukan yang baru. Di Surakarta dan Jakarta kejayaan Wayang Wong coba lagi dimunculkan dan bahkan mereka memiliki jadwal pemanggungan yang bisa dikatakan tetap. Di Jawa Timur banyak kelompok ludruk yang mulai menerapkan manajemen modern dalam keberlangsungan hidupnya. Hampir di setiap propinsi di Indonesia yang memiliki kesenian teater daerah berusaha membangkitkan kembali kesenian tersebut dan menempatkannya dalam posisi yang seharusnya. menempatkannya dalam posisi yang seharusnya.

Pada wilayah seni teater modern perkembangannya semakin menarik. Pesona teater modern dengan berbagai macam atribut yang terkesan intelek dan penuh nuansa pemikiran bukan menjadi satu-satunya pilihan ekspresi. Justru banyak muncul teater-teater yang mencoba menggali atau membangkitkan lagi semangat teater kerakyatan. Rasa rindu akan tontonan yang lebih memasyarakat mungkin menjadi salah satu pemicunya. Kedekatan hubungan emosional antara pemain dan penonton yang selama ini sering terjauhkan dalam pertunjukan teater modern kembali dihadirkan. Penonton seolah kembali di bawa ke masa lalu.

Pada akhirnya seni teater Indonesia kontemporer memiliki banyak ragam pilihan ekspresi. Kebebasan senimannya menentukan bentuk ekspresi yang akan ditampilkan. Yang sangat menarik dari kondisi ini adalah gairah kesenian menjadi semakin kuat dan sekat-sekat yang biasanya menjadi penghalang untuk berekspresi semisal konvensi menjadi lumer. Semua dikembalikan pada kehendak artistik seniman teater yang ingin melahirkan karya seni baru.
Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar