Teater klasik : ciri , Fungsi, dan Macam macam Teater klasik


 
Sifat teater ini sudah mapan, kebanyakan lahir di pusat-pusat kerajaan (kraton) dan sudah mencapai hasil puncak. Kesenian istana bersifat profesional dalam arti dikembangkan oleh para seniman yang melulu hidup dari kesenian. Hal ini mungkin karena para seniman itu dihidupi oleh raja. Para seniman yang dipilih untuk menjadi pelengkap istana dalam tugas-tugas religiusnya dan tugas-tugas mengangkat kebesaran atau kemuliaan rajanya. Sebagai pegawai dan aparat raja, mereka juga mempunyai jenjang kepangkatan. Hanya mereka yang telah menduduki puncak kepangkatannya saja dapat menciptakan karya- karya yang mewakili istana dan kerajaan. Dapat dikatakan bahwa karya seni kraton merupakan puncak karya seni kerajaan yang paling baik, paling mulia dan paling luhur saja yang dapat diakui sebagai karya istana. Karya-karya seni demikian sering disebut adiluhung, bukan saja karena mutu seninya tetapi juga isi dan makna religinya (Jakob Sumardjo,1992).

Ciri-ciri teater klasik: 

a. Adanya pakem yang menjadi dasar dalam penggarapan pementasan. 

b. Tempat pertunjukan tidak sebebas teater rakyat tetapi tempat-tempat dilingkungan kerajaan. 

c. Ada unsur tari, nyanyi (tembang) dan musik dikerjakan lebih hati-hati dan teliti. 

d. Improvisasi hampir tidak ada hanya adegan tertentu saja. 

e. Dibawah pengawasan seorang raja dan senimannya dihidupi oleh raja. 

 fungsi teater klasik

Sedangkan fungsi dari teater klasik ini, yakni untuk mendukung kekuasaan raja dan keagungan raja. 

Yang termasuk dalam teater klasik, yakni Wayang Purwa atau Wayang Kulit, Wayang Wong, Langendriya dan Langen Mandrawanara.

- Wayang Kulit Purwa

Wayang merupakan suatu bentuk teater tradisional yang sangat tua, dan dapat ditelusuri bagaimana asal muasalnya. Dalam menelusuri sejak kapan ada pertunjukan wayang di Jawa, dapat kita temukan berbagai prasasti pada Zaman Raja Jawa, pada masa Raja Balitung dari Kerajaan Mataram Kuna. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan Wayang seperti yang terdapat pada Prasasti Balitung dengan tahun 907 A.D. Prasasti tersebut mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang. Petunjuk semacam itu juga ditemukan dalam sebuah kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, pada Zaman Raja Airlangga dalam abad ke-11. Oleh karenanya pertunjukan wayang dianggap kesenian tradisi yang sangat tua.

Keberadaan wayang juga ditengarai pada saat Prabu Jayabaya bertakhta di Mamonang pada tahun 930. Sang Prabu ingin mengabadikan wajah para leluhurnya dalam bentuk gambar yang kemudian dinamakan Wayang Purwa. Dalam gambaran itu diinginkan wajah para dewa dan manusia Zaman Purba. Pada mulanya hanya digambar di dalam rontal (daun tal). Orang sering menyebutnya daun lontar. Kemudian berkembang menjadi wayang kulit purwa sebagaimana dikenal sekarang.

Nilai klasik wayang kulit purwa diungkapkan oleh Junaidi (2012:3), wayang kulit purwa gaya Surakarta merupakan hasil pengembangan dari wayang jaman terdahulu yaitu : jaman Kartasura, Mataram, Pajang, Demak dan sebelukmya. Namun secara eksplisit disebut gaya Surakarta baru sejak selesainya perjanjian Giyanti, yaitu pembagian wilayah Surakarta menjadi dua kerajaan yang kemudian diberi nama Surakarta Hadiningrat (Surakarta atau Solo) dan Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta atau Mataram).

-   Wayang Wong

Berita tertulis tentang penggunaan istilah wayang wwang baru kita jumpai ada tahun 930 A.D., tergores pada prasasti Wimalasrama dari JawaTimur. Gaya dan teknik yang dipergunakan pada zaman Mataram Kuna kemungkinan besar sama dengan yang terekam pada relief-relief candi Borobudur dan candi Prambanan. Ketika kerajaan Mataram Kuna di Jawa Timur jatuh dan di Jawa Timur muncul kerajaan-keraaan Medang, Janggala, Kediri, Singasari dan Majapahit (abad 1 ke-10 sampai ke-16), dramatari Jawa Tengah yang bernama wayang wang tetap dilestarikan dikerajaan- kerajaan baru itu, dan tetap membedakan cerita-cerita Ramayana dan Mahabarata (R.M.Soedarsono, 1997:7).

Profesionalisme kesenian kraton akhirnya melahirkan pembakuan- pembakuan. Pembakuan dengan aturan-aturan ketat ini diperlukan sebagai standar pokok mutu seni yang diakui. Pembakuan ini mungkin terjadi karena seniman kraton, memang selama hidupnya mengabdikan diri pada profesi seninya. Kesenian bukan hanya masalah ekspresi lagi, tetapi berkembang menjadi suatu cabang ilmu. Itulah sebabnya diperlukan adanya latihan- latihan. Teater klasik ini hampir tidak berubah dua atau tiga abad yang lampau karena telah mencapai puncak prestasi dalam pembakuannya seperti Wayang Wong atau Wayang Orang.


Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar