Teater Kontemporer : Teater Kontemporer Indonesia dan Teater Kontemporer Barat


 

Teater Kontemporer : Teater Kontemporer Indonesia dan Teater Kontemporer Barat
Teater Kontemporer : Teater Kontemporer Indonesia dan Teater Kontemporer Barat

•    Teater Kontemporer Indonesia

Kata Kontemporer menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pada waktu yang sama; semasa; sewaktu; pada masa kini; dewasa ini. Teater kontemporer adalah karya teater yang menampilkan tanda-tanda dan permasalahan kekinian atau masa sekarang. Jadi,teater kontemporermerupakan wujud kreativitas seniman teater untuk menemukan jati dirinya sehingga teater ini berfungsi sebagai presentasi estetis yang senimannya hanya ingin mengomunikasikan gagasannya kepada penonton.

Teater kontemporer adalah ide atau gagasan yang orisinal dan baru sehingga karya pertunjukannya menjadi pengetahuan bagi para penontonnya. Menurut Jakob Soemardjo (1997), teater kontemporer menampilkan peranan manusia bukan sebagai tipe, melainkan sebagai individu. Dalam dirinya terkandung potensi yang besar untuk tumbuh, tetapi saat ini teater kontemporer merupakan teater golongan minoritas. Teater kontemporer adalah hasil pencarian yang dilakukan oleh manusia Indonesia terus-menerus.

Bentuk teater kontemporer Indonesia menurut tokoh Teater Saini KM adalah teater yang bertolak dari teater modern Barat, tetapi dalam perkembangannya semakin dipengaruhi dan memanfaatkan teater daerah atau tradisional sebagai “sumber” (Saini KM.1998: 59). Penggalian estetika tradisi dalam proses kreatif teater mutakhir berlanjut sampai era tahun 80-an. Selain nama WS Rendra dan Suyatna Anirun yang menggali teater tradsional juga ada Wisran Hadi yang menggali tradisi Minangkabau. Selanjutnya, Arifin C. Noer menggali teater Betawi dan Cirebon untuk pementasan teater Kecil. Putu Wijaya bersama Teater Mandiri mengekplorasi tradisi Bali. Begitu juga dengan Nano Riantiarno yang menggali tradisi Cirebon dan tradisi Cina dalam memutakhirkan penampilan Teater Koma yang dipimpinnya.
Teater kontemporer sering juga disebut teater mutakhir. Gunawan Moehamad mengidentifikasi beberapa ciri dari teater mutakhir, antara lain sebagai berikut.

1)    Ambisi-ambisi lakon-lakon mutakhir umumnya ke arah puisi yang utuh. Naskah-naskah teater mutakhir adalah hanya merupakan kerangka suatu situasi dan bukan cerita tentang situasi seperti lakon-lakon sastra pada dasawarsa sebelumnya. Lakon yang berupa kerangka situasi itu bermula dari latihan para aktor untuk mempertajam kepekaan dan kreativitasnya. Dari kerangka situasi itu akhirnya dikembangkan menjadi sebuah lakon yang boleh jadi diramu dengan kerangka-kerangka situasi lain yang sesuasana.

2)    Di dalam lakon-lakon mutakhir terdapat unsur humor yang menonjol. Unsur humor ini tidak dilandasi fungsi dagang seperti halnya terdapat dalam pertunjukan lawak populer, tetapi dilandasi oleh motif komunikasi. Yang dicari adalah respons. Kalimat dan gerak adalah stimulus yang hanya berhasil bila cukup pada rapor antara penulis, para aktor, sutradara, dan publik.

3)    Masuknya unsur-unsur teater rakyat tradisional etnik di Indonesia. Teater rakyat Indonesia pada umumnya tidak mengenal pembagian tragedi dan komedi. Teater mutakhir yang menimba dari teater rakyat juga mencampuradukkan suasana getir, pahit, duka, dengan tawa, lelucon, dan farce. Unsur lakon rakyat yang tradisional ini hampir seluruhnya diramu dengan semangat teater modern. Pada dasarnya mereka berangkat dengan pola teater modern. Hanya unsur-unsur teater modernnya diisi secara modifikasi dengan unsur teater rakyat etnik.

4)    Teater mutakhir banyak mengambil latar belakang kehidupan kaum gelandangan atau kaum underdog yang diperlakukan sebagai intelektual. Para gelandangan, pengemis, dan bajingan dalam lakon-lakon mutakhir adalah “para pengembara”.Ide yang bebas mengeluarkan pandangan para penulisnya kapan saja dan di mana saja sepanjang lakon.

5)    Sifat simbolis dari keseluruhan pentas. Dasar mimesis dalam sastra drama sudah jauh ditinggalkan. Teater mutakhir tidak pernah bersifat realistis. Semua bermakna simbolis belaka, unsur cerita yang tidak jelas di zaman dan tempat yang mana.

6)    Teater-sutradara. Dominasi yang sangat kuat dari sutradara-sutradara yang memiliki ciri-ciri mandiri yang dikenal umum sebagai pola-pola teater sutradara.
 

•    Teater Kontemporer Barat

Dalam abad 20, seniman seni teater melakukan banyak usaha untuk membebaskan seni teater dari batasan-batasan konvensi tertentu (presentasional dan representasional) dan berusaha memperluas cakrawala kreativitas baik dari sisi penulisan lakon maupun penyutradaraan. Gaya ini membawa semangat untuk melawan atau mengubah gaya realisme yang telah menjadi konvensi pada masa itu. Setiap seniman memiliki caranya tersendiri dalam mengungkapkan rasa, gagasan, dan kreasi artistiknya. Banyak percobaan dilakukan sehingga pada masa tahun 1950-1970 di Eropa dan Amerika gaya ini dikenal sebagai gaya teater eksperimen. Meskipun pada saat ini banyak teater yang hadir dengan gaya realisme tetapi kecenderungan untuk melahirkan gaya baru masih saja lahir dari tangan-tangan kreatif pekerja seni teater. Banyak gaya yang dapat digolongkan dalam post-realistic, beberapa di antaranya sangat berpengaruh dan banyak di antaranya yang tidak mampu bertahan lama. Unsur-unsur gaya post-realistic di antaranya, adalah.

-    Mengkombinasikan antara unsur presentasional dan repre-sentasional.
-    Menghilangkan dinding keempat (the fourth wall), dan terkadang berbicara langsung atau kontak dengan penonton.

-    Bahasa formal, sehari-hari, puitis digabungkan dengan beberapa idiom baru atau dengan bahasa slank.
Beberapa gaya post-realistic yang berpengaruh adalah:

-    Simbolisme, sebuah gaya yang menggunakan simbol-simbol untuk mengungkapkan makna lakon atau ekspresi dan emosi tertentu. Meskipun pada awalnya gaya ini muncul tahun 1180 di Perancis, namun baru memegang peranan berarti pada tahun 1900. Simbolisme tidak terlalu mempercayai kelima panca indera dan pemikiran rasional untuk memahami kenyataan. Intuisi dipercayai untuk memahami kenyataan karena kenyataan tak dapat dipahami secara logis, maka kebenaran itu juga tidak mungkin diungkapkan secara logis pula. Kenyataan yang hanya dapat dipahami melalui intuisi itu harus diungkapkan dalam bentuk simbol-simbol. Untuk keperluan tersebut gaya ini mencoba mensintesiskan beberapa cabang seni dalam pertunjukan seperti seni rupa (lukisan), musik, tata lampu, seni tari, dan unsur seni visual lain. Simbolisme sering juga disebut sebagai teater multi media.

-    Teatrikalisme, mencoba menarik perhatian penonton secara langsung dan menyadarkan mereka bahwa yang mereka tonton adalah pertunjukan teater dan bukan penggal cerita kehidupan seperti dalam gaya realisme. Sengaja menghapus “dinding keempat”, menggunakan properti imajiner atau tata dekorasi yang berganti-ganti di hadapan penonton.

-    Surealisme, sebuah gaya yang mendapat pengaruh dari berkembangnya teori psikologi Sigmund Freud dalam usahanya untuk mengekspresikan dunia bawah sadar manusia melalui simbol-simbol mimpi, penyimpangan watak atau kejiwaan manusia, dan asosiasi bebas gagasan. Gaya ini begitu menarik karena penonton seolah dibawa ke alam lain atau dunia mimpi yang terkadang muskil, tetapi hampir bisa dirasakan dan pernah dialami oleh semua orang.
 
-    Ekspresionisme, istilah ini diambil dari gerakan seni rupa pada akhir abad 19 yang dipelopori oleh pelukis Van Gogh dan Gauguin. Namun gerakan itu kemudian meluas pada bentuk-bentuk seni yang lain termasuk teater. Ekspresionisme sudah ada dalam teater jauh sebelum masa itu, hanya masih merupakan salah satu elemen saja dalam teater. Sebagai suatu gerakan teater, ia baru muncul tahun 1910 di Jerman. Sukses pertama teater ekspresionisme dicapai oleh Walter Hasenclever pada tahun 1914 dengan dramanya “Sang Anak”. Adapun puncak gerakan ini terjadi sekitar tahun 1918 (pada saat Perang Dunia I) dan mulai merosot tahun 1925. Meskipun mula-mula ekspresionisme berkembang di Eropa, terutama selama Perang Dunia I (1914-1918), namun pengaruhnya menjangkau ke luar Eropa dan dalam masa yang lebih kemudian. Beberapa dramawan Amerika yang terpengaruh oleh gerakan ekspresionisme adalah Elmer Rice, Eugene O’neill, Marc Connelly, dan George Kaufman. Pengaruh ini terutama nampak dalam tata panggung dan elemen visual yang lebih bebas diatasnya, adegan mimpi dalam lokal realistis, misalnya adalah salah satu bentuk kebebasan itu. Jadi teknik dramatik dan pendekatan-pendekatannya dalam pemanggungan merupakan pengaruh besar ekspresionisme dalam teater abad 20.


-    Teater Epik, disebut juga sebagai “teater pembelajaran”. Gaya ini menolak gaya realisme, empati, dan ilusi dalam usahanya mengajarkan teori atau pernyataan sosio-politis melalui penggunaan narasi, proyeksi, slogan, lagu, dan bahkan terkadang melalui kontak langsung dengan penonton. Gaya ini sering juga disebut “teater observasi”. Tokoh yang terkenal dalam gaya ini adalah Bertold Brecht. Teater epik digunakan oleh Brecht untuk melawan apa yang lazim disebut sebagai teater dramatik. Teater dramatik yang konvensional ini dianggapnya sebagai sebuah pertunjukan yang membuat penonton terpaku pasif. Sebab semua kejadian disuguhkan dalam bentuk “masa kini” seolah-olah masyarakat dan waktu tidak pernah berubah. Dengan demikian ada kesan bahwa kondisi sosial tak bisa berubah. Brecht berusaha membuat penontonnya ikut aktif berpartisipasi dan merupakan bagian vital dari peristiwa teater.


- Absurdisme, gaya yang menyajikan satu lakon yang seolah tidak memiliki kaitan rasional antara peristiwa satu dengan yang lain, antara percakapan satu dengan yang lain. Unsur-unsur Surealisme dan Simbolisme digunakan bersamaan dengan irrasionalitas untuk memberikan sugesti ketidakbermaknaan hidup manusia serta kepelikan komunikasi antarsesama. Drama-drama yang kini disebut absurd, pada mulanya dinamai eksistensialisme. Persoalan eksistensialisme adalah mencari arti “eksistensi” atau “ada”. Apa akibat arti itu bagi kehidupan sehari-hari? Pencarian makna “ada” ini berpusat pada diri pribadi sang manusia dan keberadaannya di dunia. Dua tokoh eksistensialis yang terkemuka adalah Jean Paul Sartre (1905) dan Albert Camus (1913-1960). Para dramawan setelah Sartre dan Camus lebih banyak menekankan bentuk absurditas dunia itu sendiri. Objek absurd itu mereka tuangkan dalam bentuk teater yang absurd pula. Tokoh-tokoh Teater Absurd di antaranya, adalah Samuel Beckett, Jean Genet, Harold Pinter, Edward Albee, dan Eugene Ionesco.


Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar