Jenis-Jenis Teater Modern Indonesia


Jenis-Jenis Teater Modern Indonesia

 

Berikut Jenis-Jenis Teater Modern Indonesia :

1)    Teater Bangsawan (1885 -1902).

Generasi pertama teater Bangsawan (1885) adalah rombon
gan Pushi Indera Bangsawan of Penang pimpinan Mamak Pushi. Rombongan ini diterima dengan baik oleh masyarakat Melayu di Malaysia, Singapura dan Sumatera bahkan Pushi Indera Bangsawan of Penang sampai pentas di Batavia. Generasi kedua, teater bangsawan adalah rombongan Stamboel (1891) pimpinan Jaafar. Rintisan Jaafar berhasil membangun sebuah publik penontonnya di Jawa. Ciri-ciri teater bangsawan ini:
a)    Cerita lakon terdiri banyak episode, sehingga cerita berjalan lamban.
b)    Unsur cerita pokok dibumbui dengan unsur-unsur humor, farce dan melodrama.
c)    Cerita pokok 40% hikayat lama Melayu atau cerita setempat, 30% cerita sezaman dari surat kabar atau roman populer, dan masing-masing 10% cerita diambil dari Arab, Hindu dan China.
d)    Penyajian cerita selalu mempunyai pola yang sama atau mirip.
e)    Setting cerita sebagian besar dari lingkungan raja-raja atau bangsawan.
f)    Cerita selalu memiliki tujuan didaktis, mengajar memberikan teladan kepada penonton.
g)    Karakter-karakter yang disuguhkan bersifat “stock-Type”, harus selalu ada tokoh anak muda sebagai pahlawan,pasangannya harus seorang gadis sebagaisri panggung, tokoh pelawak dan tokoh pejahat atau antagonis berupa Jin Afrit.
h)    Permainan (acting) dilakukan secara improvisatoris.
i)    Pertunjukan merupakan campuran dialog, nyanyian dan tarian.

2)    Teater Stamboel (1891-1906)

Di Indonesia sekitar tahun 1891, lahirlah rombongan Komedi Stamboel, didirikan oleh August Mahieu (1860-1906). August Mahieu seorang Indo-Perancis kelahiran Surabaya.

Ciri-ciri pertunjukan Komidi Stamboel sebagai berikut:
a)    Sebelum permaian dimulai para pelaku mengenalkan diri terlebih dahulu dihadapan penonton,peran apa yang akan dimainkannya.
b)    Pembagian babak atau episode cerita dilakukan amat longgar, ditambah adanya selingan antar babak yang diisi dengan nyanyian atau tarian. Selingan ini kemudian diisi pula dengan demonstrasi tango, fox-frot atau onestep yang merupakan dansa populer pada zaman itu.
c)    Karena lambannya jalan cerita, seringkali sebuah cerita harus diertunjukkan selama 2 atau 3 malam berturut-turut.
d)    Adegan-adegan gembira atau sedih yang dialami oleh seorag tokoh diungkapkan bukan dengan dialog tetapi nyanyian.

3)    Teater Opera (1906 -1925)

Sementara penerus Mahieu terus berkiprah di masyarakat, di lingkungan masyarakat China-peranakan di Indonesia mulai muncul kegiatan teater. Sekitar tahun 1908 dari lingkungan masyarakat China- peranakan timbul “opera derma” atau Tjoe Tee Hie. Pertunjukan “opera derma” berbeda dengan komedi stambul, maka oleh golongan terpelajar China, Lauw Giok Lan dan Kwee Tek Hoay Lauw Giok Lan dikatakan bukan ‘seni’ atau ‘toneelkunst’, demikian tulis keduakritikus dalam pengantar buku dramanya Karina-Adinda, lelakon Komedi Hindia Timoer dalm tiga bagian (1913). Pada tahun 1911, muncul rombongan opera profesional China Soei Ban Lian pimpinan Sim Tek Bie dan istri Tek Bie, yakni Teng Poel Nio menjadi primadona rombongan. Cerita yang dimainkan antara ain Sin Djn Koei, Sam Pek Eng Tay, Ouw Peh Tjoa dan sebagainya.

4)    Teater Miss Riboet’s Orion (1925-1934)

Pada tahun 1925, seorang pemilik modal juga terpelajar memasuki wilayah teater baru Indonesia. Nama orang itu T.D. Tio Jr. atau Tio Tik Djien, ia lulusan sekolah Dagang Batavia dan mendirikan rombongan Orion. Orion mementaskan lakon Barat berjudul Juanita de Vega karangan Antoinette de Zerna dengan pelaku utamanya Miss Riboet’s sebagai perampok perempuan. Mulai saat itu Orion dan Miss Riboet’s menonjol sehingga nama rombongan menjadi Miss Riboet’s Orion. Pembaharuan yang dilakukan Orion berupa: 1. Pembagian episode, atau bedrijf, atau adegan dan babak, lebih dperingkas dari pembagian yang umum terjadi pada stambul. 2. Adegan memperkenalkan diri para tokoh-tokohnya sebelum main di hapuskan. 3. Selingan nyanyian dan tarian di tengah adegan cerita juga dihapuskan. 4. Sebuah lakon diselesaikan dalam satu malam pertunjukan saja. 5. Repertoire cerita sudah mulai banyak berupa cerita- cerita asli, dan bukan dari hikayat-hikayat lama atau cerita yang diambil dari film-film terkenal.

5)    The Malay Opera “Dardanella” (1926 -1935)

Pada tanggal 21 Juni 1926 di Sidoarjo berdiri The Malay Opera “Dardanella” dengan pimpinannya Willy Klimanof alias A. Piedro, seorang Rusia putih kelahiran Penang. Pada awalnya Dardanella memiliki bintang legendaris Tan Tjeng Bok, dalam perkembangan sangat terkenal “Dardanella’s big five”: Tan Tjeng Bok, Dewi Dja, Riboet II dan Astaman.

Dardanella mengadakan pembaharuan, berani menyajikan cerita yang ‘berat’, problematik Penonton pun datag dari golongan terpelajar. Naskah yang dipentaskan lebih serius dan mengandung masalah sosial sezaman. Seperti Bunga Roos dari Tjikembang, Drama dari Krakatau, Annie van Mendoet, Roos van Serang, Perantean no. 99 dan sebagainya. Perhatian kaum cendekiawan mulai tertuju ada Dardanella. Artis-artis Dardanella dapat berkunjung dan diterima tokoh-tokoh masyarakat seperti Haji Agus Salim, Goenawan, Saerun, dan Ang Jan Gwan bahkan diterima di ruangan atas Maison Versteeg.

Tahun 1935, rombongan Dardanella diganti menjadi “The Royal Balinese Danceres” pergi meninggalkan Indonesia. Mempertunjukkan tari- tarian dan nyanyian Indonesia di pelbagai benua. Perjalanan panjang Dardanella ke China, Indo-China, Siam, Burma, Ceylon, Tibet, dan India. Pada tahun 1936, sebagian rombongan “The Royal Balinese Danceres” kembali ke Indonesia setelah membuat film Dr. Samsi di Calcutta. A. Piedro bersama Dewi Dja dan sekitar 30 pemain lainnya meneruskan cita-citanya berlayar ke Eropa. Tahun 1939, rombongan Dewi Dja berlayar dari Amsterdam ke New York dengan kapal “Rotterdam”. Perang Dunia II pecah. Anjar ASMPra dan Istrinya Suratna kembali ke Jawa membentuk rombongan Bolero. Pada tahun 1937, Nyoo Cheong Seng bersama Fifi Young dan Henry L Duart mendirikan Fifi Young Pagoda.

6)    Sandiwara Angkatan Muda Tjaja Timur (1943-1945)

Pertumbuhan sandiwara profesional tidak luput dari perhatian Sendenbu. Jepang menugaskan Dr. Huyung (Hei Natsu Eitaroo), ahli seni drama atas nama Sendenbu memprakarsai berdirinya POSD (Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa) yang beranggotakan semua rombongan sandiwara profesional. Sendenbu menyiapkan naskah lakon yang harus dimainkan oleh setiap rombongan sandiwara karangan penulis lakon Indonesia dan Jepang, Kotot Sukardi menulis lakon, Amat Heiho, Pecah Sebagai Ratna, Bende Mataram, Benteng Ngawi. Hei Natsu Eitaroo menulis Hantu, lakon Nora karya Henrik Ibsen diterjemahkan dan judulnya diganti dengan Jinak-jinak Merpati oleh Armijn Pane. Lakon Ibu Prajurit ditulis oleh Natsusaki Tani. Oleh karena ada sensor Sendenbu maka lakon harus ditulis lengkap berikut dialognya. Para pemain tidak boleh menambah atau melebih-lebihkan dari apa yang sudah ditulis dalam naskah. Sensor Sendenbu malah menjadi titik awal dikenalkannya naskah dalam setiap pementasan sandiwara.
 
Dalam masa pendudukan Jepang kelompok rombongan sandiwara yang mula-mula berkembang adalah rombongan sandiwara profesional. Dalam kurun waktu ini semua bentuk seni hiburan yang berbau Belanda lenyap karena pemerintah penjajahan Jepang anti budaya Barat. Rombongan sandiwara keliling komersial, seperti misalnya Bintang Surabaya, Dewi Mada, Miss Riboet, Mis Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari, Tjaja Timur (Matahari), Pancawarna, dan lain-lain kembali berkembang dengan mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia, Jawa, maupun Sunda.

Bangsa Indonesia masih dalam kekuasaan Jepang. Di Jakarta, tanggal l6 April 1943, Anjar ASMPra, Ratna ASMPra, dan Kamajaya mendirikan rombongan Sandiwara Angkatan Muda Tjaja Timur (Matahari). Hanya kalangan terpelajar yang menyukai pertunjukan Tjaja Timur yang menampilakan hiburan berupa tari-tarian pada awal pertunjukan baru kemudian dihidangkan lakon sandiwara dari awal hingga akhir. Bentuk penyajiannya dianggap kaku oleh penonton umum yang lebih suka unsur hiburan sebagai selingan babak satu dengan babak lain. Akhirnya dengan terpaksa rombongan sandiwara Tjaja Timur mengikuti selera penonton. Lakon-lakon yang ditulis Anjar ASMPra antara lain, Musim Bunga di Slabintana, Nusa Penida, Pancaroba, Si Bongkok, Guna-guna, dan Jauh di Mata. Kama Jaya di tahun 1943, menulis lakon antara lain, Solo di Waktu Malam, Mis Neng, Diponeoro, Kupu-kupu, Sang Pek Engtay, Potong Padi (Tim Redaksi, Ada dan Siapa Karkono Kamajaya PK.,1995:22). Dari semua lakon tersebut ada yang sudah di filmkan yaitu, Solo di Waktu Malam dan Nusa Penida.

7)    Penggemar Maya (1944)

Menjelang akhir pendudukan Jepang muncul rombongan sandiwara yang melahirkan karya satra yang berarti, yaitu Penggemar Maya (1944) pimpinan USMPr ISMPil, dan D. Djajakusuma dengan dukungan Suryo Sumanto, Rosihan Anwar, dan Abu Hanifah dengan para anggota cendekiawan muda, nasionalis dan para profesional (dokter, apoteker, dan lain-lain). Kelompok ini berprinsip menegakkan nasionalisme, humanisme dan agama. 

Pada saat inilah pengembangan ke arah pencapaian teater nasional dilakukan. Teater tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga untuk ekspresi kebudayaan berdasarkan kesadaran nasional dengan citacita menuju humanisme dan religiositas dan memandang teater sebagai seni serius dan ilmu pengetahuan. Pada17 Agustus1945, Ir. Soekarno dan Drs.Mohammad Hatta, atas nama Bangsa Indonesia memproklamirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahwa teori teater perlu dipelajari secara serius. Kelak, Penggemar Maya menjadi pemicu berdirinya Akademi Teater Nasional Indonesia di Jakarta.

8)    Akademi Teater : ATNI dan ASDRAFI (1955)

Dekade 1950-an muncul dua akademi teater di Indonesia. Di Jakarta, USMPr ISMPil dan Asrul Sani mendirika Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) (!955) dengan bersandar pada metode Stanislavkian untuk pementasan dan pemeranan. Cenderung realisme konvensional. ATNI merupakan akademi teater modern yang pertama di Asia Tenggara. Di Yogyakarta, Sri Murtono mempelopori berdirinya Sekolah Seni Drama dan Film (SSDRAF) (1 Nopember 1951). SSDRAF resmi berubah menjadi ASDRAFI (Akademi Seni Drama dan Film Indonesia) Yogyakarta (5 Mei 1955) dengan direkturnya Sri Murtono. Sedang ASDRAFI cenderung naturalis klasik.

9)    Studiklub Teater Bandung ( 1958 -    )

Di Bandung 30 Oktober 1958 berdiri Studiklub Teater Bandung (STB) dengan tokohnya Suyatna Anirun, Jim Adilimas, Sutarjo Wiramiharja, Soeharmono Tjitrosuwarno, Gigo Budi Satiaraksa, Tien Kartini dan Adrin Kahar. JIm Lim mulai dikenal sebagai aktor dan sutradara realisme konvensional. Bermain dengan akting realistis dalam lakon The Glass Menagerie (Tennesse William, 1962), The Bespoke Overcoat (Wolf mankowitz ).Karya penyutradaraannya, yaitu Awal dan Mira (Utuy T. Sontani), Paman Vanya (Anton Chekhov), Bung Besar (Misbach Yusa Biran), Pangeran Geusan Ulun (Saini KM., 1961 Hamlet diiubah Jaka Tumbal (1963/1964), (Albert Camus), Badak-badak (Ionesco, 1960), dan Biduanita Botak (Ionesco, 1950). Tahun 1967 Jim Lim belajar teater dan menetap di Paris. Suyatna Anirun, salah satu aktor, pendiri STB melanjutkan apa yang sudah dilakukan Jim Lim. 

Di Bandung Suyatna Anirun (20 Juni 1936 - ) bersama STB banyak mementaskan lakon asing yang diadaptasi menjadi lakon pribumi. Suyatna Anirun mengembangkan ragam teater yang khas Indonesia karena gaya teater dan sikap berkeseniannya begitu membumi. Karya penting Suyatna Anirun antara lain: Paman Vanya (Anton Chekov), Karto Loewak (Ben Jonson), Tabib Tetiron (Moliere), Lingkaran Kapur Putih (Bertold Brecht), Antigone (Sophochles), Kuda Perang (Geothe), Geusun Ulun (Saini KM), Romeo & Juliet (William Shakespeare), Bada-badak (Ionesco), King Lear (William Shakespeare), Burung Camar (Anton Chekov).

Dari sekian banyak karyanya, gaya yang diperlihatkan Suyatna Anirun bersama STB-nya adalah dalam mengadaptasi lakon dari luar menjadi lakon pribumi. Suyatna Anirun telah mengembangkan suatu gaya berteater yang khas dalam khasanah Teater Baru Indonesia. Ada hal penting yang layak dicatat dari kecenderungan Suyatna Anirun, yaitu sikap fanatiknya yang selalu ingin menampilkan bentuk-bentuk yang asli. Dalam hal ini, bisa dikatakan bahwa Suyatna Anirun adalah penganut metode akting Stanislavski yang setia.

10)    Bengkel Teater Rendra (1967 -     )

W.S. Rendra adalah Willibordus Surendra Rendra, kelahiran Solo 17 November 1935. Sebelumnya beragama Roma Katolik dan kemudian masuk Islam. Ia pernah kuliah di Fakultas Sastra Barat, Universitas Gadjah Mada (UGM) sampai tingkat Sarjana Muda. Tahun 1964 belaiar teater di Amerika Serikat selama 3,5 tahun. Rendra mendapat Doktor Honoris Causa dari almamaternya UGM Yogyakarta. Kebudayaan menurut pengertian Rendra adalah ikhtiar menentang determinisme alam. Bagi Rendra yang ditentang bukan alam itu sendiri, melainkan sikap budaya yang berkiblat pada alam, yakni kebudayaan alamiah, cara berfikir alamiah.
 

Bengkel Teater Rendra (BTR) didirikan akhir tahun 1967 di kampung Ketanggungan Wetan, Yogyakarta, oleh Rendra atas anjuran Bakdi sumanto, Azwar A.N., Moortri Purnomo. Lembaga inti BTR adalah lingkaran Doa dengan Rendra sebagai pemimpin upacaranya. Dengan ini tidak dimaksudkan bahwa BTR adalah sebuah kelompok religi atau sekte. BTR suatu wadah bersama, dijalin suatu komitmen untuk menjadi suatu komuniti manusia. Di mana ada aturan, standard perilaku, orientasi dan keutamaan tertentu yang secara bersama mengikat mereka sebagai suatu kesatuan yang homogen. Maka dalam rekrutmen anggota, BTR mewajibkan tahap- tahap inisiasi yang harus dilalui seseorang, sebelum akhirnya ditetapkan sebagai anggota BTR secara penuh.

Rendra dengan BTR-nya merasa harus menciptakan lingkungan kreativitasnya sendiri. Lingkungan kreatif yang sudah ada waktu itu, antara lain: ASDRAFI, ATNI, Teater Populer dan sebagainya, dirasanya tidak cocok. Alasannya, menurut ukuran Rendra, orientasi artistik dan estetiknya terlalu berkiblat ke Barat, sehingga tidak bisa mengungkapkan, apa yang disebut Rendra sebagai "greget" Indonesia. Lingkungan kreatif seperti itu tidak bisa menyentuh "ingatan terdalam" dari masyarakat Indonesia. Selain itu juga tidak mencerminkan "kebutuhan yang sangat mendesak" dari masyarakat Indonesia yang sekarang, sehingga karena itu tidak akan mungkin bisa benar-benar memasyarakat. Menurut keyakinan Rendra, jika lingkungan kreatif seperti itu yang dominan dalam wajah teater modern di Indonesia, maka teater-teater yang ditampilkannya menjadi tidak khariSMPtik dan tidak komunikatif karena hanya mencerminkan fantasi kelompok elite yang ingin mengcopy modernisasi masyarakat asing.

11)    Teater Populer

Teguh Karya atau Liem Tjoan Hok atau Steve Liem. Lahir 22 September 1937 di Maja, desa kecil Pandeglang Jawa Barat. Pada tahun 1961, menyelesaikan studi di Akademi Teater Nasional (ATNI) dalam bidang seni laku, penyutradaraan dan penataan artistik. Sempat mengikuti kuliah di East west Center, University of Hawai (1961), akhirnya pulang bekerja sebagai manajer panggung di hotel Indonesia (1961-1972). Teater Populer, diresmikan pada hari Senin, 14 Oktober 1968, di Bali Room Hotel Indonesia, Jakarta. Pergelaran perdananya adalah dua drama pendek yang berjudul Antara Dua Perempuan karya Alice Gestenberg dan Kamerhere Alving (Ghost) karya Henrik Ibsen. Kelompok teater yang dipimpin Teguh Karya ini, semula bernama Teater Populer Hotel Indonesia. Anggota awalnya berjumlah 12 orang, berasal dari ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia), mahasiswa dan para teaterawan independent.
Selama kariernya sebagai dramawan, Teguh Karya telah menyutradarai 22 garapan dari naskah-naskah drama yang beragam bentuk dan gaya. Dari karya-karya penyutradaraannya, terdapat tiga buah naskah yang dipentas ulang: Djayaprana Layonsari, Pernikahan Darah dan Inspektur Jendral. Ketiga karya tersebut oleh para kritisi seni dianggap sebagai karya puncak Teguh Karya bersama Teater Populer.

12)    Teater Mandiri

Putu Wijaya, nama lengkapnya I Gusti Ngurah Putu Wijaya, lahir di Puri Anom, Tabanan Bali, 11 April 1994. Pendidikan Tinggi ditempuh di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI) dan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI).

Tahun 1971 , Putu Wijaya mendirikan Teater Mandiri di Jakarta. Anggota Teater Mandiri pada mulanya karyawan Majala Tempo, ditambah beberapa seniman yang kala itu sering berada di Taman ISMPil Marzuki (TIM). Teater Mandiri mulai pentas di panggung TIM pada tahun 1974, membawakan naskah Aduh karya-sutradara Putu Wijaya. Pada tahun 1975, Teater Mandiri bikin heboh lewat pentas Lho. Tontonan diakhiri dengan mengajak penonton keluar, para pemain yang telanjang bulat diangkut dalam gerobak sampah dan dibuang ke kolam layaknya sampah. Sementara itu, di kolam nampak orang-orang jongkok, buang hajat sambil membicarakan masalahmasalah politik. 

Pementasan Teater Mandiri didominasi karya pimpinannya. Putu Wijaya. Ia banyak mengadakan eksperimen dengan tokoh-tokoh drama yang tidak menunjukan identitas individual. Drama-dramanya dengan tokoh- tokoh yang non-konvensional juga menunjukan sifat abstrak (sukar dipahami). Judul-judul dramanya begitu singkat. Misalnya: Aduh, Lho, Bom, Sssst, Gress, dan Anu, Entah, Zoom, sebagainya.

13)    Teater Koma

Tahun 1968-1977 bersama Teguh Karya mendirikan Teater Populer Hotel Indonesia. Di Teater Populer, Riantiarno mendapat jabatan sebagai aktor, penulis, dan sutradara. Pernah main: Teh dan Simpati (R. Andersen), Jayaprana Layonsari (Jef Last), Machbet (Shakespeare), Perhiasan Gelas (Tennessee William), Sang Ayah (August Strinberg) dan lain-lain. Teater Koma didirikan pada tanggal 1 Maret 1977 di Jakaxta oleh Riantiarno telah berhasil memproduksi pementasan panggung di Pusat Kesenian Jakarta Taman ISMPil Marzuki Marzuki (PKJ TIM), Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Balai Sidang Senayan serta di berbagai kota seperti: Bandung, Surabaya, Medan, Yogyakarta, dan di Televisi Republik Indonesia (TVRI), baik sebagai penulis naskah, pemain, maupun sutradara.

Riantiarno sebagai pemimpin Teater Koma, menempatkan diri sebagai bapak, kakak, partner kerja, juga tempat untuk bertanya. Baginya, dalam sebuah kerja kolektif, rasa kebersamaan jauh lebih penting jika dibandingkan dengan aturan-aturan kaku yang bersifat hierarkis. Dan menurutnya, yang paling utama, adalah bagaimana cara memotivasi agar kelompok sanggup membuahkan hasil kerja yang optimal.
Tema pertunjukan Teater Koma mengarah pada kritik sosial. Riantiarno bersama Teater Koma bukan mengkritik tetapi lebih menyajikan potret 'keadaan manusia pada suatu masa'. Resikonya ‘kritikan’ Teater Koma menjadi suatu ‘ancaman’ bagi pengusa atau kelompok tertentu. Teater Koma pernah mengalami ‘pelarangan’ pentas pada beberapa karyanya seperti: Sampek Engtay (1989) dan Suksesi (1990). Karyakarya penting N. Riantiarno bersama Teater Koma antara lain: Bom Waktu Suksesi, Opera Julini, Opera Kecoa, Wanila Parlemen, Opera lkan Asin, Suksesi, Perkawinan Figaro, Opera Primadona, Tenung, Sampek Engtay, Siluman UIar putih, Semu Gugat dan lain sebagainya.

14)    Teater Kecil

Teater Kecil dipimpin Arifin C. Noer. Ia lahir tanggal l0 Maret l94l, dari keluarga tukang sate di Cirebon Jawa Barat. Ia meninggal dunia pada tanggal 28 Mei 1995 di Jakarta. Salah seorang sutradara teater Indonesia terkemuka. Karya dramanya banyak dipentaskan oleh berbagai kelompok teater, baik di dalam maupun luar negeri.

Kariernya sebagai penulis lakon dimulai sejak menjadi mahasiswa di Surakarta. Ketika itu, ia aktif dalam group Teater Muslim pimpinan Muhammad Diponegoro, dan bergabung dengan Rendra. Sebagai penulis naskah dan sutradara teater, Arifin merupakan fenomena yang menarik dalam khasanah perkembangan teater modern Indonesia. Selain giat mengembangkan teater eksperimental, Arifin juga menjadikan kekayaan teater tradisi Indonesia sebagai sumber kreativitas. Maka, tak ayal banyak pengamat yang mengatakan bahwa teater Arifin adalah teater modern Indonesia yang meng-Indonesia.

Karya teater Arifin selalu dihadapkan pada suasana ketragisan tokoh- tokohnya ketika berhadapan nasib (kematiannya). Arifin selalu membawa penonton pada suasana puitis, surealis, dan simbolis, dimana dengan ciri- ciri tersebut Arifin menggeluti masalah- -masalah sosial dan spiritual sekaligus. Inilah gagasan, awalnya dan dia tidak peinah menyimpang dari gagasannya, sehingga ia senantiasa berhasil memadukan dimensi social dan transedental sebagai suatu kesatuan dalam karya-karyanya. Arifin C. Noer menghasilkan karya: Kapai-Kapai, Mega-Mega, Dalam Bayangan Tuhan, Interogasi, Ozone, Sumur Tanpa Dasar, Umang-Umang, Tengul, dan sebagainya.

15)    Teater Gandrik

Teater Gandrik didirikan tanggal l3 September 1983 di Yogyakarta oleh Heru Kesawa Murti, Susilo Nugroho, Saptaria Handayaningsih, dan Jujuk Prabowo. Teater Gandrik mulai diakui kehadirannya sesudah memenangi Festival Pertunjukan Rakyat (Pertunra) yang diadakan Departemen Penerangan RI sebagai juara satu. Teatet Gandrik lebih banyak mengangkat tema-tema sosial, kritik terhadap pengusa atas keadaan masyarakat kecil yang semakin terpinggirkan. Kritik disampaikan dengan gaya enak, bahkan diselingi canda. Pada masa Orde Baru, kelompok ini cukup aman tiada pernah dicekal oleh penguasa.
Pada periode 1980-an sampai dengan 1990-an grup tersebut sangat produktif didalam mementaskan drama seperti: Gambar atau Kesandung (1983), Meh, Kontrang Kantring (1984 ), Pasar Seret (1985), Pensiunan (1986), Nganyari, Juru Kunci, Sinden (1986), Dhemit, Isyu (1987), Orde Tabung (1988), Flu, Upeti, Juragan Abiyoso (1989), Tangis atau Abiyoso II (1990 & 1991), Buruk Muka Cermin Dijual, Proyek (1992), Sinden II (1993), Brigade Maling (1999), Mas Tom (2002), Departemen Borok (2003).

16)    Teater Garasi

Teater Garasi adalah salah satu kelompok teater kontemporer yang cukup dikenal di Yogyakarta, di Indonesia, dan bahkan manca negara. Teater Garasi berdiri pada tanggal 4 Desember 1993 di lingkungan kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, dengan pendirinya Yudi Ahmad Tajudin, Kusworo Bayu Aji dan Puthut Yulianto.

Visi Teater Garasi sebagai sebuah laboratorium penciptaan teater, di samping mendasarkan diri pada inspirasi kreatif dan kegelisahan atas soal- soal di dalam lingkungan sosialnya, kerja-kerja Teater Garasi juga didekati dengan spirit intelektual dan lintas disiplin, berpijak pada riset dan studi atas tradisi-tradisi teater atau seni pertunjukan yang telah ada, kemudian menempatkan dan menjajarkannya dengan model atau sensibilitas dan imaji-imaji kontemporer.

Kreativitas Teater Garasi menghasilkan pertunjukan teater kontemporer sebagai berikut: “Wah” (1975), ”...Atau Siapa Saja” (1995), ”Panji Koming” ( 1996 ), Kapai-Kapai (1966), “Carousel” (1997), ”Twins” (1997), “Empat Penggal Kisah Cinta”: ”Pagi Bening”, ”Pernikahan Perak”, ”Tempat Istirahat”, dan ”Teman Terbaik” (1997), “Tiga Kisah Cinta”: ”Pagi Bening”, ”Pernikahan Perak”, ”Tempat Istirahat” (1998), Endgame (1998- 1999), “Sri” (1999), Sementara Menunggu Godot (1999), Sketsa-sketsa Negeri Terbakar (2000), ”Repertoar Hujan” (2001), ”Percakapan di Ruang Kosong”: Komedí dan “Tentang Seorang Lelaki yang Demikian Mencintai Hujan” (2001), “Waktu Batu” (WB): “Waktu Batu 1, Kisah-kisah yang Bertemu di Ruang Tunggu” (WB 1), ( 2002), ”Waktu Batu 2, Ritus Seratus Kecemasan dan Wajah Siapa yang Terbelah” (WB 2) ( 2003), “Waktu Batu 3, Deus ex Machina dan Perasaan-perasaan Padamu” (WB 3) ( 2004).

Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar