sebuah proses panjang Penetapan Hari Jadi Dompu


Penetapan Hari Jadi Dompu | sebuah proses panjang

          TANGGAL 11 April 2005 Pemkab Dompu dan seluruh masyarakat Dompu telah merayakan atau memperingati hari jadi Dompu yang ke 190, perayaan tersebut untuk tahun 2005 merupakan perayaan yang pertama kali sejak ditetapkannya soal penetapan hari jadi Dompu melalui Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Dompu Nomor. 18. tanggal 19 bulan Juni tahun 2004. Bagaimana perjalanan panjang yang cukup melelahkan untuk mencari dan menetapkan soal hari jadi Dompu sebagai lambang dan jati diri sebuah wilayah otonom tersebut? Berikut kilas balik perjalanan tentang penatapan hari jadi Dompu yang jatuh pada tanggal 11 April tahun 1815.
      Ternyata tidak segampang seperti yang dibayangkan sebelumnya dalam upaya untuk mencari dan menetapkan soal hari jadi suatu daerah yakni hari jadi kabupaten Dompu, berbagai tantangan dan hambatan tampaknya terus menyelimuti sebuah cita-cita luhur dan mulia khususnya bagi pihak Pemkab Dompu dan seluruh masyarakat yang ada didaerah ini. Penetapan hari jadi Dompu sebenarnya bukan sekali saja, melainkan sudah berulang kali dilakukan namun hasilnya mentah dan putus ditengah jalan, namun alhamdulillah pada saat pemerintahan Bupati Dompu H.Abubakar Ahmad,SH, (periode 2000- 2005) penetapan hari jadi Dompu akhirnya ditemukan dan disepakati yang kemudian di tetapkan menjadi sebuah produk hukum (Perda) melalui keputusan DPRD Kabupaten Dompu Nomor 18 tanggal 19 bulan juni tahun 2004 dimana hari jadi Dompu jatuh pada tanggal 11 April tahun 1815 atau bertepatan dengan kejadian fenomena alam (pertanda alam) yakni meletusnya Gunung Tambora yang sempat meluluh lantahkan serta memporak porandakan hampir seluruh kehidupan di Dompu pada saat itu.
          Pada saat pemerintahan Bupati Dompu Drs.H.Umar Yusuf tahun 1989/1994,  penetapan soal hari jadi Dompu telah disepakat yakni jatuh pada tanggal 12 September tahun 1947. Hal itu merupakan suatu keputusan dan kata sepakat yang diambil oleh beberapa pihak sehingga tanggal 12 September ditetapkan sebagai hari jadi Dompu, mengingat tanggal tersebut adalah merupakan pengangkatan kembali Sultan Dompu terakhir yakni Sultan M.Tajul Arifin Sirajuddin sebagai Kepala daerah swapraja yang dapat dipandang sebagai salah satu tonggak sejarah. Untuk pertama kalinya hari jadi Dompu telah diperingati oleh masyarakat Dompu pada tanggal 12 September tahun 1993 yang lalu.
           Pada masa penjajahan kolonial Belanda di Dompu, Sultan Muhammad Sirajuddin dibuang oleh Belanda ke Kota Kupang NTT pada sekitar tahun 1934 sehingga kesultanan Dompu saat itu tidak ada lagi yang memerintah (Berkuasa). Kefakuman tersebut lantas dimanfaatkan oleh pihak penjajah untuk tidak mendudukkan lagi Dompu sebagai suatu kesultanan yang mempunyai Wilayah Otonom dan keadaan seperti itu berlangsung sampai sesudah proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945. Selanjutnya, setelah Indonesia Merdeka, tepatnya pada tanggal 12 September tahun 1947 Sultan Dompu terakhir yakni Sultan M. Tajul Arifin Sirajuddin diangkat kembali sebagai sultan Dompu atau Kepala daerah Swapraja Dompu pada tanggal 12 September tahun 1947, maka tanggal tersebut dijadikan dasar atau sebagai acuan dan keabsahan Dompu sebagai salah satu daerah Swapraja yang mewujudkannya sebagai daerah kabupaten dati II Dompu sampai saat ini.
           Akan tetapi waktupun berjalan terus dan pada akhirnya mengenai hari lahir Dompu yang jatuh pada tanggal 12 September tahun 1947 itu pun dipersoalkan kembali karena dinilai kurang pas dan kurang cocok dengan fakta-fakta sejarah Dompu di masa lalu, hari jadi Dompu mentah kembali hingga pada saat masa pemerintahan Bupati dompu Drs. H. Hidayat Ali pada tahun 1994/1999 soal hari jadi Dompu masih dianggap kurang tepat atau mentah lagi.
          Selanjutnya pada masa pemerintahan Bupati Dompu H.Abubakar Ahmad,SH, tahun 2000 - 2005, soal hari jadi Dompu itupun akhirnya diungkap kembali untuk ditelusuri mengenai keabsahannya. Pada hari Rabu tanggal 15 Agustus tahun 2001 bertempat di gedung Sama Ngawa Dompu diadakan seminar sehari mengenai penetapan hari jadi Dompu yang diselenggarakan oleh Pemkab Dompu dan dihadiri pula oleh sejumlah tokoh masyarakat Dompu baik yang ada di dompu maupun yang ada diluar Dompu termasuk para keluarga kesultanan Dompu, mantan Bupati Dompu Drs. HM. Yakub MT, Syaiful Islam, Khahrul Zaman serta berbagai komponen masyarakat lainnya. Seminar sehari saat itu dipimpin oleh Asisten I Tata Praja Drs. H. Sudirman H.A. Madjid sebagai moderator dan juga dihadiri langsung oleh Bupati Dompu saat itu yakni H. Abubakar Ahmad, SH, sebagai salah satu pembicara.
            Selesai seminar, kemudian Bupati Dompu dengan melalui SK Bupati nomor 172 tanggal 16 Agustus 2001 selanjutnya membentuk Tim penyusun hari jadi Dompu yang saat itu diketuai oleh mantan Bupati Dompu Drs.HM. Yakub.MT dengan sekretaris saat itu Kepala Dinas Pariwisata Dompu Drs. Zainal Arifin HIR serta dengan anggota antara lain yakni Khahrul Zaman, Abdullah M. Saleh, H. Nurdin Umar dan M. Yusuf H. Umar. Adapun tempat atau markas tim kerja saat itu di pusatkan di Wisma Şamada Dompu.
     Kemudian pada hari Jum'at tanggal 21 Agustus tahun 2001 atau tepatnya pada saat malam resepsi HUT Kemerdekaan RI yang ke-56 bertempat di gedung Sama Kai Dompu HM. Yakub.MT selaku ketua tim perumus hari jadi Dompu menyerahkan hasil kerja tim tersebut kepada pihak Pemkab Dompu melalui Bupati Dompu saat itu yakni H. Abubakar Ahmad, SH dan disaksikan oleh seluruh tamu undangan yang hadir pada malam resepsi HUT kemerdekaan RI tersebut. Hasil kerja tim perumus hari jadi Dompu saat itu memutuskan bahwa hari lahir Dompu jatuh pada hari Jumat tanggal 24 September tahun 1545 atau bertepatan dengan tanggal 8 Rajab tabun 952 H. 
        Ketua Tim Perumus hari jadi Dompu Drs.HM.Yakub.MT. dalam  persnya saat itu mengemukakan bahwa, dasar pemikiran ditetapkannya tanggal 24 September tahun 1545 Itu sebagai hari lahir Dompu adalah berdasarkan catatan sejarah yang ada serta mengacu pada berbagai sumber sejarah lainnya bahwa tahun tersebut merupakan momen yang sangat penting bagi masyarakat dompu. Pada saat itu menurut ketua tim perumusan, Sultan Dompu  yakni Sultan Syamsuddin dilantik menjadi sultan pertama Dompu setelah beralih status dari daerah Kerajaan menjadi Kesultanan. Sultan Syamsuddin konon merupakan Raja atau Sultan Dompu yang pertama kali memeluk Islam di daerah Dompu ini sehingga Sang Sultan tersebut bergelar AWWALUL ISLAM atau lebih dikenal dengan sebutan RUMA MA WAA TENGGO/ RUMA MA WAA TUNGGU (unggul/kuat). Sedangkan nama asli Sultan Syamsuddin yakni La Bata Na'E.        
               Menurut ketua tim perumus, pada sekitar periode tahun 1545 s/d 1560, pelaksanaan pemerintahan di Dompu telah diletakkan dasar-dasar penyelenggaraan pemerintahan yang jelas seperti 'Sara bersendikan hadat, hadat bersendikan hukum, dan hukum bersendikan Kitabbullah Wasunah'. Lebih lanjut dipaparkan, hari lahir Dompu merupakan refleksi dari jati diri masyarakat dan tonggak sejarah perubahan sosial menuju masyarakat ber peradaban. Hal ini katanya, sebagai bahan renungan sebagai titik tolak repitalisasi dan rektualisasi    pembangunan mental spiritual fisik material secara menyeluruh dan berkesinambungan bagi generasi sekarang ini dan yang akan datang. ”hari Lahir Dompu harus tetap berdasarkan kenyataan sejarah dan mengandung makna simbolik serta pertimbangan moral. Hari Lahir Dompu menjadi milik seluruh masyarakat Dompu dan bukan milik seseorang atau kelompok,” katanya saat itu.
          Untuk mencapai kata kesepakatan dan penetapan tersebut lanjut ketua tim perumus, pihaknya juga menggunakan beberapa bahan referensi antara lain naskah dan dokumen Nusantara seri XVIII : BO.Sangaji Kai catatan Kerajaan Bima (Hendri Chamberp-Leir,ST.Maryam H.Salahuddin) Ecele Francaise ďaxtres Orient, yayasan Obor Indonesia Jakarta tahun 1999, serta dari berbagai sumber sejarah lainnya. Waktu pun terus bergulir seiring perjalanan sang waktu. Soal penetapan hari jadi Dompu yang sudah ditemukan oleh tim perumus yakni jatuh pada tanggal 24 September tahun 1545 itu pun pada akhirnya masih menjadi pro dan kontra ditengah-tengah masyarakat Dompu itu sendiri. Bahkan beberapa anggota DPRD Dompu saat itu malah ada yang terang-terangan menolak hasil dari tim perumus tersebut. Penetapan hari jadi Dompu itupun selanjutnya tidak jadi di bahas dan ditetapkan oleh pihak legislatif saat itu alias mentah kembali.
         Melihat kenyataan tersebut, akhirnya Bupati dompu saat itu yakni H.Abubakar Ahmad,SH, menyatakan menunda dulu soal penetapan hari jadi Dompu tersebut yang rencananya oleh pihak eksekutif akan segera diajukan ke pihak Dewan untuk dibahas dan ditetapkan sebagai salah satu produk hukum atau perda Kabupaten dompu yang menetapkan soal hari jadi Dompu. ''Soal penetapan hari jadi Dompu terpaksa kita pending dulu sambil menunggu dan mencari serta mengumpulkan kembali data-data yang lebih kuat lagi” kata H.Abubakar Ahmad,SH, saat itu kepada pers dilokasi penggalian situs “waru kali” oleh Tim arkeolog dari Denpasar Bali bertempat di kelurahan Kandai I Kecamatan Dompu.              
          Selanjutnya pemkab Dompu kembali berupaya mengungkap dan menelusuri kembali kapan sebenarnya hari jadi Dompu . Setelah melalui berbagai proses, akhirnya Prof.DR. Helyus Syamsuddin, PhD (guru besar IKIP Bandung, pakar sejarah asal Dompu ) hadir ke Dompu sekaligus digelar kegiatan seminar bersama tim perumus hari jadi Dompu yang saat itu dibawah komando Ketua Komisi 'E' DPRD Dompu H. Yusuf Djamaluddin dan kawan-kawan untuk membahas soal penetapan hari jadi Dompu tersebut bertempat di gedung DPRD Dompu Pada hari Jum'at Tanggal 18 Bulan Juni tahun 2004. Dalam seminar yang dihadiri Oleh sejumlah Tokoh agama, tokoh masyarakat , tokoh pemuda, Tokoh Wanita serta dari berbagai unsur dan komponen masyarakat tersebut juga diikuti pula oleh seluruh anggota DPRD Dompu saat itu di bawah Ketua dewan Drs. H. Farouk ABD Rahim. Setelah melalui perdebatan dan pembahasan yang cukup sengit, akhirnya pada hari Sabtu tanggal 19 juni tahun 2004, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Dompu menyetujui soal penetapan hari jadi Dompu yang jatuh pada bari Selasa 11 April Tabun 1815 atau bertepatan dengan tahun Islam yakni 1 Jumadil awal Tabun 1230 H. Keputusan tersebut selanjutnya dituangkan dalam Keputusan sebuah Produk hukum daerah yakni berupa Peraturan daerah (Perda). Lantas apa yang melatar belakangi sehingga peristiwa meletusnya Gunung Tambora pada 11 April tahun 1815 itu dijadikan acuan untuk menetapkan hari Jadi Dompu Oleh Ahli sejarah yakni Prof.DR. Helyus Syamsuddin, PHd.
          Dalam makalahnya yang berjudul "Hari Jadi Daerah Dompu sebuah Usul alternatif" dipaparkan antara Iain bahwa, ada dua ilustrasi sejarah Indonesia mungkin bermanfaat untuk ditambahkan bahwa peristiwa bencana alam, politik atau peperangan dapat saja dijadikan patokan-patokan sejarah yang amat penting. (1). Dalam sejarah Indonesia di Jawa misalnya, malapetaka yang ditimbulkan oleh letusan dahsyat Gunung Merapi di Jawa Tengah telah memaksa pusat pemerintahan Mataram Kuno (Hindu) pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada sekitar abad ke-10.
        Peristiwa yang dianggap sebuah Pralaya (kehancuran dunia pada masa akhir kaliyuga) tersebut ini sesuai dengan kepercayaan kosmogonis Jawa bahwa  Kerajaan kuno harus di ganti dan di bangun kerajaan baru termasuk dinastinya. Itulah yang terjadi dengan Mpu Sindok pada sekitar tahun (929-947) yang menjadi pendiri dinasti Isana. Analogi dengan itu, ketika menggambarkan malapetaka yang menimpa daerah DOMPU-BIMA mengutip tulisan J.Olivier (1816) bahwa keterangan terakhir memberikan kunci kepada kita bahwa mengapa Istana Dompu yang dahulu semula berada di 'BATA' Istana DORO BATA karena tertimbun abu dan tidak bisa lagi didiami (dihuni) lalu ditinggalkan? Jadi Istana BATA dulu merupakan sebuah Situs sejarah penting di Dompu yaitu situs tua Istana tua Dompu ( ASI NTOI) yang letaknya di selatan Sori Na'E (Sekarang Kelurahan Kandai I Kecamatan Dompu) yang kemudian dipindahkan ke sebelah Utara sungai. Disinilah selanjutnya didirikan Istana Baru (ASI BOU) letaknya dulu di lokasi Masjid Raya sekarang (Masjid Agung Baiturahman Dompu). 
       Letusan Gunung Tambora lah yang memaksa ini semua terjadi perpindahan Istana lama ke Istana Baru, meskipun tidak seperti di jawa yakni pusat pemerintahan pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur Karena letusan Gunung MERAPI, di Dompu pusat pemerintahan pindah dari selatan Sungai ke sebelah utara sungai (Sori Na E) karena letusan Gunung Tambora. Apakah ini tidak merupakan suatu simbol KELAHIRAN BARU (Rebirt) pemerintahan meskipun Sultan Dompu yang memerintah masih Sultan ABDUL RASUL saat itu (1808-1840) juga? Jadi kita melihat ada perubahan dan keberlanjutan. Sultan inilah yang mendapat gelar "Sultan Ma Ntau Bata Bou (collective Korn)
       (2). Tahun 1815 cukup penting dalam sejarah Indonesia masa transisi Interegenum pemerintahan Inggris (Th.S.Rafless) ke Hindia Belanda. Laporan tentang gunung Tambora yang meletus justru terjadi ketika Inggris dalam proses mundur dari Indonesia. Kita anggap ini saat Kevakuman kekuasaan diluar Jawa. Meskipun tidak persis sama namun ada semacam analogi saat kevakuman kekuasaan setelah Jepang kalah dan mundur serta usaha Belanda untuk kembali berkuasa di Indonesia. Betapapun besarnya korban jiwa dan material, musibah meletusnya gunung Tambora (10.000. jiwa lebih) musibah ini harus dilihat juga sebagai rahmat Tuhan yang tersembunyi ada hikmahnya bagi Dompu khususnya dan pulau sumbawa pada umumnya. Mengutip sebuah hadits Qudsi "Dibalik kemarahan KU tersimpan kasih ku'  maka dengan rasa optimis rakyat dan kerajaan Dompu saat itu harus memulai sejarah baru, berjuang keras agar tetap hidup. Jika puncak letusan itu dianggap sebagai puncak malapetaka bagi seluruh rakyat di pulau sumbawa khususnya Dompu yang bertetangga dekat dengan wilayah Gunung Tambora, maka titik-titik itu pula harus menjadi awal dan kebangkitan. Dompu lama sebelum letusan Tambora pada 1815 dilanjutkan oleh Dompu Baru yang bangkit kembali sesudah letusan Gunung Tambora itu. Sebuah perubahan dratis dan radikal dapat saja terjadi karena ulah tangan manusia sendiri melalui revolusi atau peperangan, tetapi perubahan yang terbesar juga terjadi karena melalui bencana alam yang kita maknai sebagai suatu peringatan bagi hambanya untuk selalu mengikuti perintahNYa dan menjauhi segala larangannya.
        Dasar pertimbangan ditinjau dari segi Geografis sejarah. Melihat perubahan geografis teritorial dalam sejarah, Daerah Dompu sebelum dan sesudah meletus Tambora sanggatlah berbeda sekali, sebelum gunung Tambora meletus wilayah Kerajaan DOMPU relatif kecil karena masih ada saat itu lima kerajaan lain di wilayah sekitar Tambora yakni: Kerajaan Sumbawa, Bima ,PaPekat (Pekat), Tambora dan Kerajaan Sanggar. Setelah Tambora meletus dalam perjalanan waktu sebagai salah satu dampaknya, kerajaan Dompu mendapat tambahan wilayah kekuasaan yaitu bekas seluruh Kerajaan Papekat (juga ada bagian tertentu dari Kerajaan Tambora). Wilayah itulah yang kini menjadi bagian wilayah kabupaten Dompu hingga sekarang. (Intinya: Jika tidak ada letusan Tambora mungkin Dompu wilayah nya sangat kecil, akan tetapi setelah ada malapetaka meletusnya gunung Tambora maka wilayah Dompu bertambah luas seperti yang kita saksikan sampai sekarang ini). Peristiwa meletusnya gunung Tambora pada 1815 itu merupakan garis pemisah yang dratis dan tajam antara DOMPU SEBELUM dan DOMPU SESUDAH Letusan.
        Dasar pertimbangan Demografis - sosiologis. Dompu karena malapetaka tersebut sangat kekurangan penduduk ,dalam perjalanan waktu puluhan bahkan ratusan tahun kemudian Dompu terpaksa menerima imigrasi penduduk dari kerajaan sekitarnya khususnya dari wilayah Kerajaan Bima (Mbojo). Orang orang Bima kemudian menetap dan tinggal di Dompu kemudian terbentuklah komunitas-komunitas Bima di Dompu. Atas persetujuan Sultan Dompu dan Bima didatangkanlah rakyat kolonisasi (Pembojong) dati Bima dengan syarat bahwa rakyat itu menjadi rakyat Kerajaan Dompu. Karena itu bertambah jumlah kampung dan jiwa di Dompu seperti : Kampung Bolonduru, Bolobaka, Monta baru, rasanaE baka, Buncu, Monta baka dan Iain-hinnya. 
        Menurut Prof.DR. Helyus Syamsuddin,Phd. Penentuan hati jadi menurut saat letusan Tambora berdasarkan juga alasan — alasan rasional. (1). Tidak relevan lagi memilih waktu penanda tanganan kontrak antara Sultan-Sultan Dompu dengan Kompeni (VOC) atau Hindia Belanda sebagai dasar penentuan hari jadi Dompu meskipun jelas-jelas disebutkan hari, tanggal, bulan dan tahunnya. (2). Tanpa berniat mengecilkan apalagi melupakan sama sekali jasa-jasa para Raja (Sultan) Dompu bagi kebesaran dan kemakmuran rakyat sejak terbentuknya Kerajaan/Kesultanan dari embrio sampai dengan berakhirnya struktur kerajaan dan atau Kesultanan, kita juga tidak dapat menyebutkan kapan persisnya hari,tanggal,bulan dan tahun peristiwa pembentukan pemerintahan mereka sehingga sulit untuk menjadikan awal hari jadi Dompu yang strategis. (3). Dengan mengambil tahun 1815 sebagai hari jadi Dompu, tidak berarti kita lantas meniadakan atau menghapus sejarah Dompu sejak awal-awal tertua ketika sumber-sumber lisan menuturkannya atau sumber-sumber tertulis mencatatnya.
       Bagaimanapun juga ada hukum sejarah bahwa sejarah itu adalah rangkaian dinamis dan dialogis antara keberlanjutan dan perubahan. DOMPU NTOI  sebelum Tambora Meletus dan DOMPU BARU setelah Tambora Meletus adalah DOMPU yang satu itu juga, tetapi telah berubah. Perubahan itulah : KELAHIRAN KEMBALI yang merupakan perwujudan revivalisasi, reaktualisasi dan revitalisasi ELENVITAL masyarakat Dompu dari masa ke masa, dari generasi ke generasi.  
          Semua ini sebagai RATIONALE untuk memilih tanggal 11 April 1815 sebagai awal dari Hari Kebangkitan kembali Dompu. Tahun 1815 , memang tidak terlalu tua jika dibandingkan dengan 1331, ketika Dompu telah disebut sebut dalam ''Sumpah Palapa ” Gajah Mada, atau 1357,atau 1365 disebut-sebutu dalam kitab Negarakertagama. Tetapi tahun-tahun ini adalah penaklukan dompu Oleh Majapahit dan Dompu masuk dalam daftar wilayah Majapahit meskipun hanya nominal. Kita semua tidak tahu tanggal dan bulan penaklukkan itu terjadi Kalau dijadikan hari jadi, janggal juga karena jauh sebelum itu Dompu atau DOMPO sudah ada, meskipun kita tidak tahu kapan terjadinya atau terbentuknya. Begitu juga tahun 1815 tidaklah terlalu tua jika dibandingkan dengan Bima yang telah mendapatkan/menetapkan hari jadinya yakni tanggal 5 Juli tahun 1640. memang dokumentasi kita tentang Dompu sangat relatif kurang dan Ini merupakan pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua.
      Meskipun demikian tahun 1815 juga tidak terlalu muda .jika kita mau mengambil patokan tahun 1945 atau 1947, misalnya. Bagi yang belum biasa,memang mungkin terasa sebagai sesuatu yang ganjil jika peristiwa alam letusan Gunung Tambora sebagai Hari Jadi Daerah Dompu, akan tetapi ini merupakan suatu keunikan tersendiri. Dalam hal-hal yang baik Dompu harus berani tampil beda dan lebih baik. Menurut Prof.DR. Helyus Syamsuddin, Dompu menjadi satu-satunya Kabupaten di Indonesia yang menjadikan Hari Jadi Wilayahnnya berdasarkan saat letusan Gunung Berapi. Ini sungguh Unik.


________________
HM Agus Suryanto, & Kisman pengeran, 2006, Napas tilas leluhur, pemerintah kabupaten Dompu.


Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar