Sejarah dan Mitos Tentang Otak Manusia


Sejarah dan Mitos Tentang Otak Manusia


Manusia secara biologis dirancang dengan kelengkapan yang cukup untuk dapat mempertahankan hidupnya. Satu-satunya keunggulan daya saing yang dimiliki manusia yang tidak dimiliki makhluk hidup lain yang juga memiliki otak adalah kemampuannya untuk belajar. Berbicara mengenai otak manusia, maka kita akan dihadapkan pada berbagai mitos yang selama beribu-ribu tahun telah menjadi keyakinan hampir seluruh manusia.

Mitos tersebut mengungkapkan "you are born with a genetically determined brain of a certain size and potential, and that's it. There's little or no way to alter its capabilities and functioning; thus, your chances in life are predestined, your fate sealed". Otak merupakan organ manusia yang sudah ditentukan permanen secara genetis oleh Sang Maha Pencipta tak dapat berkembang dan berubah lagi, baik dalam hal ukuran maupun potensinya.

Dapat dikatakan bahwa dewasa ini orang dari berbagai kalangan, baik sebagai peneliti pendidikan, psikologi, kesehatan, bisnis, olahraga, dan sebagainya, telah melihat "otak" selama ini sebagai "the sleeping giant" atau raksasa tidur. Kenyataan ilmiah baru mengungkapkan bahwa " The brain is a growing, changing organ, its capabilities and vitality dependent to a large degree on how you nourish and treat it. Thus, you can dramatically influence your brain's functioning and your own destiny. The long-neglected brain is now being exposed to intense biological scrutiny, and the news is good for all of us". Otak merupakan organ tubuh yang mampu tumbuh dan mengalami berbagai perubahan. Kekuatan dan kemampuannya sangat tergantung pada bagaimana manusia mampu memelihara dan membangun kekuatannya (brain power).

Penelitian mengenai otak manusia selama ini dilakukan untuk kepentingan kedokteran. Penelitian ini sebenarnya bukan barang baru karena sekitar 2.500 tahun yang lalu Hippocrates telah melakukan penelitian tentang otak dan sekaligus menjadi koreksi atas asumsi-asumsi sebelumnya yang menyatakan bahwa jantung adalah organ yang berfungsi sebagai pusat berpikir dan perasaan manusia. "Some people say that the heart is the organ with which we think and that it feels pain and anxiety. But it is no so. Men ought to know that from the brain and from the brain only, arise our pleasures, joys, laughter, and tears. Through it, in particular, we think, see, hear, and distinguish the ugly from the beautiful, the bad from the good, and the pleasant from the unpleasant. To consciousness the brain is messenger".

Pendapat ini kemudian didukung oleh filsuf Yunani kuno, Plato. Namun Aristoteles sebagai murid Plato justru menentangnya. Dia justru berpendapat bahwa hati manusialah yang menjadi sumber kecerdasan manusia dan menjadi pusat sistem saraf manusia. Otak hanya berperan sebagai pusat pengatur suhu tubuh saja. Beratus-ratus tahun akhirnya kontroversi otak (rasio) versus hati (emosi) ini terus berjalan.

Tahun 1268, Sir Roger Bacon mengemukakan teorinya bahwa manusia menggunakan dua cara pemahaman, yaitu melalui argumentasi dan melalui pengalaman, atau dengan kata lain melalui cara verbal dan non-verbal. Kemudian pada tahun 1500-an, Leonardo da Vinci membuat terobosan lebih jauh yakni membedakan antara otak (brain) dengan pikiran (mind). Ini merupakan dasar dalam melihat otak secara fisikal atau anatomis dan secara fungsional atau fisiologis. Pada tahun 1684, Sir Thomas Browne mempublikasikan bahwa kedua belahan otak masing-masing berperan terhadap perilaku manusia. 140 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1844, A.L. Wigan seorang dokter mengemukakan teori “The Duality of The Mind" yang menekankan dua belahan otak manusia. Dan pada tahun 1874, seorang ahli saraf John Hughlings-Jackson memperkenalkan gagasannya bahwa salah satu dari belahan otak manusia adalah belahan yang lebih berperan untuk mengatur sehingga disebut sebagai "the leading hemisphere"

Memasuki abad ke-20, penelitian mengenai otak berkembang begitu pesat. Pada tahun 1937, James Papez mengembangkan teori emosi yang merupakan fungsi dari sistem limbik. Hasil penelitiannya ini dijadikan dasar dalam memahami lebih jauh mengenai fungsi dan cara kerja dari sistem limbik pada manusia dan berperan besar dalam penelitian mengenai "Kecerdasan Emosional" atau EQ yang akhir-akhir ini tengah menjadi fokus pengembangan teori tentang kecerdasan. Demikian halnya dengan teori dualitas otak yang sudah tidak lagi menjadi bahan perdebatan dan terus mengalami pengembangan hingga pada tahun 1960, Robert Sperry, dapat menunjukkan bahwa ada spesialisasi yang jelas antara belahan otak kiri (left hemisphere) dan belahan otak kanan (right hemisphere). Pada tahun 1975, penelitian tersebut dilanjutkan oleh seorang psikolog, Robert Ornstein dan menemukan bahwa pada otak manusia normal spesialisasi belahan otak tersebut dapat diprediksi dan dapat diukur dengan menggunakan electroencephalogaphic (EEG). Setahun kemudian, seorang yang awam mengenai kedokteran, Henry Mintzberg, profesor manajemen dari McGill University, Canada, mengemukakan sebuah pertanyaan yang menjadi peletak dasar peranan otak dan perannya menyangkut kreativitas dalam dunia bisnis. Dia mengemukakan suatu pertanyaan, "Mengapa seseorang bisa pandai dan bodoh dalam waktu yang bersamaan?". Hipotesis mengenai otak ini kemudian menjadi dasar berkembangnya disiplin ilmu neuropsikologi sampai saat ini.



Sufyan ramadhy & Dadi Permadi, Bagaimana mengembangkan kecerdasan?, 2016, sarana panca karya nusa, Bandung.

Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar