Anak dengan Autisme
1. Pengertian anak dengan Autisme
Sejarah pengenalan autisme dimulai sejak tahun 1911 ketika Bleuler (Feinstein , (2010)) memperkenalkan cara berpikir logis atau realistis dan cara berpikir autistik yang merupakan cara berpikir yang biasa dimiliki oleh anak-anak dan dewasa dan kedua hal tersebut bukanlah suatu kelainan. Dalam anggapan Bleuler, cara berpikir realistik atau logik muncul terlebih dahulu baru diikuti dengan cara berpikir autistik dan Bleuler juga memasukkan autisme sebagai salah satu bentuk schizophrenia. Tetapi kedua cara berpikir yang dikemukakan oleh Bleuler adalah hal yang berbeda dengan apa yang kita kenal sekarang sebagai autisme.
Pada tahun 1943, Leo Kanner, seorang ahli ilmu jiwa anak -anak, memperkenalkan kata ‘autis’ dalam tulisannya untuk mendeskripsikan 11 pasiennya di Universitas John Hopkins, Amerika Serikat (Mesibov dan Howley, 2003). Anak-anak tersebut memiliki sedikit ketertarikan kepada orang lain, berbahasa secara aneh, melakukan rutinitas yang sama, menunjukkan gerakan anggota badan yang berbeda dari anak yang lain dan mengulang tingkah laku yang sama.
Pada intinya, Kanner menerangkan bahwa 11 pasien yang digambarkan dalam laporannya mengalami kesulitan pada tiga area utama yaitu sosial, komunikasi dan pemikiran. Pada perkembangan selanjutnya, ketiga aspek utama dalam autisme disebut sebagai ‘triad of impairments’ dan memunculkan istilah ‘Autism Spectrum Disorders’ (Wing (1996) dalam Volkmar, et.al.(2005)) atau dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai Gangguan Spektrum Autisme ( Ginanjar, 2007). Istilah Autism Spectrum Disorders lebih banyak digunakan dari pada istilah yang digunakan pada awal kemunculan autisme yaitu Pervasive Developmental Disorders.
Autisme bukanlah kata baru dalam kehidupan sehari-hari walaupun kata tersebut baru dikenal dan digunakan secara luas di Indonesia sejak tiga dekade terakhir . Bahkan terkadang kata autis digunakan secara kurang benar dan tidak pada tempatnya sehingga penggunaan kata ini mengundang sakit hati bagi keluarga individu autis. Sebagai contohnya para pengguna smart phone model tertentu yang terlalu asyik dengan smart phone-nya disebut sebagai autis.
Untuk mengetahui lebih dalam secara benar tentang autis dan atau autisme, maka paragraf selanjutnya dalam modul ini akan membahas pengertian aut isme. Menurut Longman Dictionary of American English (Mayor, dkk., 2009) autisme adalah sebuah permasalahan dalam cara kerja otak yang menyebabkan seseorang tidak mampu berkomunikasi secara normal, atau untuk membentuk hubungan secara normal.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (kbbi.web.id, September, 2019) autisme adalah gangguan perkembangan pada anak yang berakibat tidak dapat berkomunikasi dan tidak dapat mengek spresik an perasaan dan keinginannya sehingga perilaku hubungan dengan orang lain terganggu.
Autisme juga merupakan suatu keadaan dimana seseorang anak berbuat semaunya sendiri baik cara berfikir maupun berperilaku. Keadaan ini mulai terjadi sejak usia masih sangat muda atau bayi. Sedangkan menurut Rimland (Ginanjar, 2007) autisme adalah gangguan yang disebabkan oleh kesalah an pada syaraf otak. Autisme juga bisa diartikan sebagai disabilitas perkembangan yang secara signifikan berpengaruh terhadap kemampuan berkomunikasi anak secara verbal dan nonverbal, interaksi sosial, dan kinerja pe ndidikan. Autisme bukan suatu gejala penyakit tetapi berupa sindroma (kumpulan gejala) dimana terjadi penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa, dan kepedulian terhadap sekitar sehingga anak autisme seperti hidup dalam dunianya sendiri (Handojo, 2003).
Autisme atau bisa juga disebut sebagai Gangguan Spektrum Autisme (GSA) bukanlah suatu penyakit sehingga belum ada obat yang bisa digunakan untuk menyembuhkan gangguan yang ditimbulkan. GSA akan menetap pada pemiliknya selama mereka hidup dan karakteristiknya bisa diminimalisir bahkan dihilangkan dengan pemberian perlakuan tertentu. GSA 4 kali lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding pada perempuan. Jumlah individu dengan autisme di Indonesia masih belum jelas, sehingga perlu adanya pendataan yang menyeluruh. Sedangkan di Amerika Serikat saat ini prevalensi kejadian autisme pada komunitas adalah 1 orang diantara 88 orang.
Sebagai kesimpulan, Autism Spectrum Disorders atau Gangguan Spektrum Autisme (GSA) atau autisme merupakan suatu gangguan per kembangan yang kompleks yang muncul pada masa awal perkembangan anak yang ditandai dengan adanya gangguan pada kemampuan komunikasi sosial dan tingkah laku. Autisme akan menetap pada anak sampai mereka dewasa yang gejalanya bisa terkurangi dengan memberikan berbagai macam perlakuan yang konsisten kepada anak.
2. Penyebab anak dengan autisme
Pada zaman dulu orang tua, terutama ibu, dianggap sebagai penyebab terjadinya autisme pada anak. Sampai ada penyebutan orang tua sebagai ‘referigerator mother’ atau ‘ibu ku lkas’. Hal ini disebabkan karena orang tua merespon keadaan anak secara ambivalen, tidak konsisten dan penolakan (Mesibov & Howley, 2003). Namun anggapan ini banyak ditentang oleh orang tua dan tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Sedangkan Tinbergen dan Tinbergen (Jones, 2002) menganggap ada kerusakan dalam proses ikatan antara ibu dan anak.
Disabilitas pada bagian tertentu di otak, juga dipercaya sebagai penyebab autisme. Menurut penelitian (Handoyo, 2002) bagian lobus parietal, temporal dan oksipital pada otak anak dengan autisme bervolume lebih besar dari anak pada umumnya. Selain itu, neuron pada sistem limbik otak anak dengan autisme juga terlihat lebih kecil dan saling berdempetan, sedangkan di area lain mungkin lebih besar atau lebih kecil dari umumnya.
Faktor genetik juga dicurigai sebagai penyebab terjadinya autisme pada individu . Namun, model penurunan atau pewarisan faktor gen dari orang tua ke anak masih belum diketahui dengan jelas. Fokus penelitian tentang penyebab autisme saat ini adalah genetik individu autis, dan banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa faktor gen yang bermutasi menjadi penyebab autisme.
Autisme bisa mengenai siapa saja, baik sosio -ekonomi mapan maupun kurang, yang dimulai dari masa kanak-kanak yang menetap hingga dewasa dan semua etnis. Autisme tidaklah disebabkan oleh vaksinasi MMR ( Fitzpatrick, 2004 ) yang selama ini masih dipercayai oleh sebagian orang sehingga vaksinasi MMR tidak perlu dihindari.
Penyebab autisme yang lainnya adalah kekurangan nutrisi dan oksigen dal am tubuh anak dengan autisme yang disebabkan oleh kebocoran usus . Usus yang bocor pada anak dengan autisme menyebabkan mereka menjadi kekurangan nutrisi karena sistem pencernaan tidak bisa membedakan antara nutrisi dan racun. Sehingga kedua zat ini terserap dan beredar secara bersamaan dalam tubuh. Penyebab yang juga masih banyak dipercayai adalah polusi. Polusi menyebabkan mengendapnya zat berbahaya seperti merkuri dan timbal di dalam tubuh. Kedua zat berbahaya ini banyak juga ditemukan pada darah dan rambut anak dengan autisme.
3. Karakteristik anak dengan autisme
Anak dengan autisme sangatlah berbeda antara satu dengan yang lain. Masing- masing punya karakteristik yang unik dan kuantitas karakteristik yang dimiliki sangat berbeda pula. Sebagaimana diketah ui bahwa autisme merupakan spektrum sehingga pada masing-masing anak kuantitas karakteristik sangat beragam dari yang paling banyak menunjukkan ciri-ciri autisme sampai yang hampir tidak kelihatan ciri-cirinya.
Yang pertama, anak dengan autisme memiliki ga ngguan perilaku dalam hal ‘insistence of sameness’. Anak dengan autisme cenderung mengulangi hal yang sama setiap waktu. Misalnya ketika sedang mandi ada anak dengan autisme lebih suka semua pintu yang ada harus tertutup rapat, kamar mandi harus dipenuhi dengan busa. Ketika pintu kamar mandi secara sengaja dibuka oleh orang lain maka dia akan langsung menutup pintu tersebut dan pintu lainnya yang terbuka. Lain perilaku dimunculkan oleh anak yang lain, seperti perjalanan menuju sekolah harus selalu melewati jalan yang sama. Kalau berangkat melalui jalan A dan pulang melalui jalan B, maka hal ini harus dilakukan setiap hari. Jika tidak maka anak kemungkinan akan bingung dan bahkan tantrum.
Hal ini terjadi dikarenakan anak dengan autisme kurang mampu memperkir akan apa yang terjadi selanjutnya (Jones, 2002) sehingga pikirannya menjadi bingung.
Berikutnya adalah bahwa anak dengan autisme kurang mampu bersosialisasi dengan orang lain. Mereka kurang mampu untuk memulai kegiatan sosialisasi. Bahkan menurut Jones (2002) kemampuan sosial anak dengan autisme kemungkinan merupakan gangguan yang terparah. Anak dengan autisme kurang memahami peraturan sosial yang ada yang sifatnya abstrak seperti kesopanan , giliran atau antri dan aturan permainan. Mereka tidak belajar secara otomatis tentang hal-hal tersebut. Hal ini disebabkan karena kemampuan pemikiran mereka yang tidak mampu mencerna hal-hal atau kata-kata yang bersifat abstrak. Namun ketika mereka diajari hal-hal tersebut mereka akan bisa dengan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Karakteristik berikutnya yang ditunjukkan oleh anak dengan autisme adalah terkadang mereka juga mengalami gangguan sensori. Gangguan ini seperti ditunjukkan dengan kepekaan yang sangat terhadap hal -hal tertentu misalnya suara dan sentuhan. Anak dengan autisme yang sangat peka terhadap suara, dia akan menutup telinga atau akan menjerit -jerit jika mendengar uara seperti suara balon yang berudara ketika dibentuk menjadi boneka atau benda lainya . Tetapi sebaliknya jika anak tidak peka maka dia tidak akan peduli dengan suara sekeras apapun. Demikian juga dengan anak -anak yang sensitif terhadap sentuhan, jika dia disentuh maka dia akan menangis kesakitan tetapi ketika dipukul dia tidak merasakan apapun.
Ciri yang paling menonjol lainnya pada anak dengan autisme adalah kemampuannya berkomunikasi. Pada sebagian anak dengan autisme, ada yang bisa berbicara dengan lancar dan tidak mengalami keterlambatan bicara namun sebagian lainnya ada yang mampu berbicara pada masa kecilnya dan kemudian hilang. Pada sebagian yang hilang ini, ada yang kemungkinan bisa berbicara kembali tetapi sebagian lagi kemungkinan tidak bisa berbicara selamanya.
Berkenaan dengan komunikasi bahwa komunikasi anak autisme berkembang melalui empat tahapan:
a. The own agenda stage ( Tahapan asyik dengan dunianya sendiri)
Pada tahapan ini anak lebih suka bemain sendiri dan tampaknya tidak tertarik pada orang-orang di sekitarnya. Kita harus memperhatikan gerak tubuh dan ekspresi wajah anak, agar dapat mengetahui keinginannya. Anak seringkali mengambil sendiri bendabenda yang diinginkannya.
b. The requester stage (Tahapan meminta)
Pada tahapan ini anak mulai menyadari bahwa tingkah lakunya dapat mempengaruhi orang di sekitarnya. Bila menginginkan sesuatu, anak biasanya menarik tangan kita dan mengarahkannya ke benda yang diinginkannya. Sebagian anak telah mampu mengulangi kata -kata atau suara tetapi bukan untuk berkomunikasi melainkan untuk menenangkan dirinya dan juga anak muulai bisa mengikuti perintah sederhana tapi responnya belum ko nsisten.
c. The early communication stage (Tahapan komunikasi awal)
Pada tahapan ini anak telah menyadari bahwa ia bisa menggunakan satu bentuk komunikasi tertentu secara konsisten pada situasi khusus. Namun demikian, inisiatif berkomunikasi masih terbatas pada pemenuhan kebutuhannya. Anak mulai memahami isyarat visual/gambar komunikasi dan memahami kalimatkalimat sederhana yang kita ucapkan. Bila terlihat perkembangan bahwa anak mulai memanggil nama, menunjuk sesuatu yang diinginkan, atau melakukan kontak mata untuk menarik perhatian, maka berarti anak udah siap untuk melakukan komunikasi dua arah.
d. The partner stage (Tahapan komunikasitimbal balik)
Pada tahapan ini merupakan fase yang paling efektif yakni dua arah, tetapi biasanya anak masih terpaku pada kalimat-kalima yang telah dihapalkan dan sulit menemukan topik pembicaraan yang tepat pada situasi baru. Bagi anak - anak yang masih mengalami kesulitan untuk berbicara, komunikasi dapat dilakukan dengan menggunakan rangkaian gambar atau menyusun kartu kartu bertulis.
Pada anak dengan autisme yang bisa berbicara, gaya bicaranya kadang tampak aneh. Seperti pada anak dengan Asperger Syndrome (salah satu tipe autisme ), gaya bicara mereka sangat monoton dan kaku, hampir tidak ada irama sama sekali. Anak-anak ini kurang mengerti bahasa kiasan, mereka hanya mengerti makna bahasa secara denotatif. Misalnya untuk kata ‘makan hati’ secara denotatif kata ini berarti ‘sedang makan lauk hati ayam’ tetapi secara konotatif maknanya adalah ‘sakit secara psikologis’.
Pada anak dengan autisme lain yang bisa berbicara, terkadang mereka berbicara secara echolalia. Mereka cenderung mengulang, persis sama, kata kata orang lain yang mengajaknya berbicara. Ada anak yang mengulangnya secara langsung dihadapan orang yang mengajak nya berbicara, ada juga yang mengulangnya saat berikutnya ketika dirumah atau di tempat lain.
Sedangkan individu autis lainnya yang tidak bisa berbicara, mereka berkomunikasi dengan bahasa tubuh atau gestur, bahasa isyarat, gambar - gambar dan cerita bermakna (social story). Biasanya anak dengan autisme akan mengambil, memegang dan mengarahkan tangan orang yang dikenalnya jika menginginkan sesuatu. Sedangkan menukarkan atau memberikan gambar kepada orang lain adalah bentuk komunikasi pada sebagian anak dengan autisme.
4. Klasifikasi anak dengan autisme
Seperti tersirat pada nama yang dimilikinya, Gangguan Spektrum Autisme memiliki berbagai macam sub tipe. Gangguan ini ditemukan dari mulai yang paling berat yang berarti memiliki tanda -tanda atau karakteristik autistik sangat banyak sampai yang paling ringan dengan karakteristik yang hampir tidak bisa dilihat sama sekali. Berikut ini adalah tipe -tipe autisme menurut Diagnosis Statistical Manual IV (DSM IV) dan International Classification of Deseases 10 (ICD 10) adalah Pervasive Developmental Disorders-Not Otherwise Specified (PDD-NOS) atau Atypical Autism, Asperger’s disorder atau Asperger Syndr ome , Childhood Disintegrative Disorder, Rett’s disorder atau Rett Syndrome, dan Autistic disorder atau Childhood autism (Volkmar dan Klin, 2005). Untuk lebih jelasnya, silahkan perhatikan tabel berikut ini.
Klasifikasi autisme menurut ICD 10 dan DSM IV
ICD 10
• Childhood autism
• Atypical Autism
• Rett Syndrome
• Other childhood Develpmental Disorder
• Overactive disorder with Retardation Mental
• Asperger’s Syndrome
• Other Pervasive Developmental Disorders
• Pervasive Developmental Disorders (PDD), unspesified
DSM IV
• Autistic disorder
• PDD-NOS
• Rett’s disorder
• Childhood Developmental Disorder
• No corresponding category with stereotyped movements
• Asperger’s disorder
• Pervasive Developmental Disorders-Not Otherwise Specified (PDD NOS)
• Pervasive Developmental Disorders-Not Otherwise Specified (PDD NOS)
Klasifikasi tersebut di atas merupakan klasifikasi sebelum munculnya DSM 5 di tahun 2013. Berikut ini adalah klasifikasi yang berlaku saat ini setelah DSM 5 dipublikasikan
Klasifikasi autisme menurut DSM 5
Tingkat berat ringannya
autisme |
Komunikasi sosial |
Minat yang terbatas dan
perilaku berulang |
Level 3
‘Membutuhkan dukungan yang sangat banyak’ |
Defisit yang parah dalam keterampilan komunikasi sosial secara
verbal dan nonverbal yang menyebabkan
gangguan fungsi
yang parah; inisiasi interaksi sosial yang sangat terbatas
dan
respons |
Keasyikan,
ritual
yang
kaku dan/atau perilaku berulang secara nyata mengganggu
keberfungsian di
semua
bidang. Nampak terlihat sangat menderita ketika ritual atau rutinitasnya terganggu; sangat sulit untuk mengalihkan |
|
minimal terhadap
tawaran sosial
dari orang lain. |
perhatian dari
hal yang
sangat menarik perhatiannya atau mengembalikannya dengan cepat. |
Level 2
‘Membutuhkan banyak dukungan’ |
Defisit yang
moderat dalam
keterampilan komunikasi
sosial
verbal dan
nonverbal;
gangguan sosial
yang jelas bahkan
dengan dukungan di tempat; inisiasi terbatas dalam berinteraksi
sosial dan kurang atau abnormal respons
terhadap tawaran sosial dari orang lain. |
Perilaku ritual dan berulang
dan /
atau keasyikan atau minat yang melekat muncul cukup
sering
dan
jelas bagi pengamat biasa dan mengganggu
keberfungsian
dalam berbagai konteks. Kesedihan
atau frustrasi
terlihat ketika perilaku ritual
dan berulang terganggu;
sulit
untuk dialihkan dari minat yang melekat. |
Level 1
Membutuhkan dukungan’ |
Tanpa dukungan di
tempat, defisit
dalam komunikasi sosial
yang
menyebabkan disabilitas komunikasi yang nyata. Memiliki
kesulitan dalam memulai interaksi
sosial dan menunjukkan contoh-contoh
yang jelas tentang tanggapan yang tidak lazim atau tidak benar
terhadap tawaran sosial orang lain. Mungkin menampakkan minat yang rendah pada interaksi
sosial
|
Perilaku ritual dan berulang menyebabkan
gangguan yang signifik an terhadap keberfungsian dalam satu atau lebih
konteks. Menolak upaya orang lain untuk mengganggu perilaku ritual dan
berulang atau untuk dialihkan dari minat yang melekat |
5. Identifikasi dan Asesmen Autisme pada Individu
a. Identifikasi
Istilah identifikasi dan asesmen sering dipergunakan secara bergantian. Namun pada dasarnya identifikasi berbeda dengan asesmen. Identifikasi mer upakan tahapan awal yang masih bersifat global/kasar dari asesmen yang lebih rinci dan detail. Tujuan dari identifikasi dan asesmen juga berbeda berkaitan dengan kompetensi dan profesionalisme.
Identifikasi merupakan proses penjaringan seawal mungkin yang dilakukan oleh orang tua, guru, maupun tenaga kependidikan lainnya terhadap individu yang mengalami kelainan/penyimpangan (fisik, intelektual, sosial, emosional/ tingkah laku) dalam rangka pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Hasil dari identifikasi adalah ditemukannya anak-anak berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan layanan pendidikan khusus, dalam hal ini adalah anak -anak dengan autisme.
Silahkan baca lampiran yang ada di halaman setelah daftar pustaka pada Kegiatan Belajar 1 ini yang merupakan kriteria untuk Gangguan Spektrum Autisme menurut DSM-IV, yang bisa dijadikan sebagai dasar melakukan identifikasi apakah individu yang dicurigai, memiliki autisme atau tidak. Sedangkan menurut DSM 5, silahkan baca lampiran berikutnya untuk memahami kriteria autisme.
b. Asesmen
Asesmen adalah sebuah proses penilaian dan evaluasi yang komprehensif yang dilakukan terhadap siswa untuk mengetahui kemampuan yang dimiliki oleh seorang peserta didik baik yang bersifat kekuatan maupun kelemahan. Hasil data yang diperoleh dari proses asesmen akan disimpulkan yang bisa dijadikan rujukan bagi berbagai profesional dalam rangka menegakkan diagnosis yang berhubungan dengan kebutuhan khusus seorang siswa atau peserta didik. Asesmen merupakan kegiatan yang tak terpisahkan dari proses belajar mengajar. Bagi seorang guru, asesmen merupakan landasan pertama dalam menentukan setiap pembelajaran yang bermakna yang akan diberikan terutama bagi anak berkebutuhan khusus. Instrumen asesmen yang baik akan memberikan data dan informasi yang diperlukan oleh guru dalam penentuan proses pembelajaran.
Asesmen dalam pendidikan luar biasa adalah suatu proses yang komprehensip untuk menentukan kekuatan dan kebutuhan khusus yang dimiliki oleh seorang anak dan untuk menentukan apakah seorang anak b erhak mendapatkan layanan pendidikan khusus (Pierangelo & Giuliani, 2008). Asesmen ini adalah sebuah proses dalam mengumpulkan data tentang siswa untuk tujuan pembuatan keputusan. Swanson dan Watson (1989 dalam Pierangelo & Giuliani, 2008)) menyatakan bahwa asesmen bisa dipandang sebagai proses pemecahan masalah yang melibatkan berbagai macam cara dalam mengumpulkan data tentang siswa.
Mengapa asesmen itu penting? Menurut TEACCH Center (2006) asesmen sangat penting karena hasil data yang telah disimpulkan dari proses asesmen bisa meningkatkan kemudahan dalam pengembangan rencana perlakuan yan g efektif dan sesuai dengan individu. Kemudian hasil dari asesmen juga memberikan informasi kepada kita tentang tingkat kemampuan anak pada saat ini dan juga menentukan aspek perilaku yang mungkin bisa diubah pada anak . Demikian juga dengan sumber pembelajaran yang dapat menunjang perubahan kearah yang lebih baik bagi anak bisa ditentukan setelah adanya proses asesmen. Dan yang terakhir mengapa asesmen itu penting adalah bahwa kita sebagai guru bisa mengurangi jumlah kesalahan yang mungkin terjadi dalam sebuah proses pembelajaran.
Beberapa hal yang diases pada anak adalah intelegensi, kemampuan berbahasa atau komunikasi, kemampuan persepsi, perhatian, pencapaian akademik, tingkah laku, emosi dan perkembangan sosial. Pada area intelegensi, asesmen lebih banyak dilakukan oleh psikolog dengan tes psikologinya. Sementara guru mengases area intelegensi melalui kemampuan berkomunikasi atau berbahasa, pencapaian akademik, tingk ah laku, emosi dan perkembangan sosial yang ditunjukkan oleh siswa dalam kesehariannya baik di dalam maupun di luar kelas. Namun perlu diingat bahwa proses asesmen bukan hanya sekedar tes tetapi ditunjang dengan kegiatan observasi, wawancara, portofolio dan lain sebagainya. Tes hanyalah salah satu cara untuk melakukan asesmen.
Ada berbagai macam tujuan melakukan asesmen. Dalam hal ini asesmen digunakan untuk pengembangan Individual Education Plan atau program pembelajaran yang diindividualisasikan (PPI) dan penempatan murid pada kelas yang sesuai dengan kemampuan atau kekuatan dan kebutuhan khususnya. Sebagai tambahan asesmen bisa juga digunakan untuk merencanakan proses pembelajaran dan evaluasi pembelajaran yang tepat yang sesuai dengan tingkat kemampuan anak.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa asesmen adalah suatu proses yang sistematis dalam upaya mencari hambatan perkembangan dan belajar, serta kelebihan/potensi individu guna dijadikan bahan dalam penyusunan program pembelajaran dan kompensatoris sesuai dengan kebutuhannya
6. Dampak Autisme terhadap Perkembangan Belajar
Pada dasarnya, autisme memberikan dampak pada perkembangan individu dalam hal komunikasi sosial dan tingkah laku. Menurut Jordan (2013) gangguan pada kemampuan komunikasi sosial dan tingkah laku secara murni tidak bisa dijadikan dasar keputusan untuk menolak individu autis dalam proses pembelajaran. Ada beberapa kondisi komorbiditas yang umum yang terjadi bersamaan dengan autisme pada individu seperti kesulitan belajar spesi fik khususnya disleksia dan dispraksia. Gangguan -gangguan yang seperti ini perlu diperhatikan oleh guru pada saat pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan akademik pada peserta didik autis. Tentu saja, peningkatan keterampilan akademik pada peserta did ik autis sangat bergantung kepada level intelektual, bakat dan minat tertentu dan pendekatan pengajaran yang ramah autis.
Pendekatan pengajaran yang ramah autis adalah pendekatan pengajaran yang memperhatikan karakteristik, kekuatan dan kelemahan yang dimi liki oleh pesert a didik autis. Untuk mengetahui ketiga hal tersebut guru perlu melakukan asesmen terhadap peserta didiknya sehingga guru akan mampu menggunakan pendekatan pengajaran yang tepat.
Ada beberapa kebutuhan khusus secara umum yang dimiliki oleh peserta didik autis yang harus diperhatikan oleh guru antara lain:
a. Kebutuhan khusus dalam hal komunikasi
Keterampilan komunikasi peserta didik sangat bervariasi dari mulai yang sama sekali tidak berbicara sampai yang mahir berbicara tetapi tidak menggunak an kemampuan berbicara secara benar. Bagi mereka yang tidak berbicara, guru bisa membantu mereka dengan menggunakan berbagai kartu bergambar ataupun kartu kata untuk berkomunikasi. Kartu bergambar dan kartu kata ini sebenarnya banyak tersedia di pasaran te tapi perlu diingat bahwa mungkin kartu- kartu tersebut tidak dibuat secara khusus untuk peserta didik autis tertentu. Sehingga untuk mengatasi kelemahan kartu yang ada, guru sebaiknya berusaha mengkreasi kartu yang sesuai dengan karakteristik peserta didiknya.
Sedangkan bagi peserta didik autis yang masih mempunyai modal berbicara walaupun hanya satu atau dua kata yang muncul, guru juga perlu mengembangkan modal yang sudah ada menjadi percakapan yang lebih
bermakna. Hal ini bisa dilakukan dengan menggunakan metode seperti sonrise dimana ketika anak mengucapkan sebuah kata, guru bisa langsung menanggapi perkataan walaupun mungkin tidak mendapatkan tanggapan balik dari peserta didik.
Bagi peserta didik yang mampu berbahasa secara verbal tetapi kurang mampu menggunakannya secara benar, maka guru bisa menggunakan metode social story untuk mengajarkan komunikasi yang benar.
b. Kebutuhan khusus dalam hal interaksi sosial
Bagi peserta didik autis, interaksi sosial atau segala hal yang berhubungan dengan kegiatan sosial sangatlah membingungkan. Banyak dari mereka yang tidak bisa memulai kegiatan berhubungan dengan orang lain. Banyak juga yang mampu memulai berinteraksi, tetapi ketika sudah berinteraksi kadang ada juga yang tidak bisa menyelesaikan interaksi. Sehubungan dengan ketidakmampuan dalam berinteraksi sosial, guru harus paham dengan keadaan murid, pada taha p yang mana mereka membutuhkan bantuan. Ketika guru sudah memiliki data pendukung tentang kemampuan interaksi sosial, guru bisa memilih metode yang biasa digunakan dalam meningkatkan kemampuan interaksi sosial seperti theor y of mind, joint attention, social stories, PMII ataupun LEAP.
c. Kebutuhan khusus dalam hal perilaku
Dalam hal perilaku, jelas sekali bahwa banyak peserta didik autis yang membutuhkan bantuan sehingga perilaku yang mengganggu bisa terkurangi. Sebagai contoh adalah ketika sedang mengikuti proses pembelajaran, ada salah satu peserta didik yang tiba-tiba tantrum. Guru harus paham apa yang menyebabkan peserta didiknya tantrum dan apa saja yang bi sa membuat tantrum itu segera berhenti. Salah satu metode yang bisa digunakan dalam memenuhi kebutuhan khusus yang berhubungan dengan perilaku adalah time out. .
7. Progsus Bagi Anak dengan Autisme
Program kebutuhan khusus bagi anak dengan autisme yaitu Pen gembangan Komunikasi, Interaksi Sosial, dan Perilaku. Pengembangan interaksi, komunikasi, dan perilaku bagi peserta didik autis merupakan segala usaha, bantuan yang berupa bimbingan, latihan, secara terencana dan terprogram terhadap peserta didik autis, dalam rangka membangun diri baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial, sehingga terwujudnya kemampuan untuk hidu p mandiri di tengah masyarakat.
Adapun tujuan dari Pengembangan Komunikasi, Interaksi Sosial, dan Perilaku bagi peserta didik Autis antara lain untuk:
• Mengembangkan kecakapan berkomunikasi baik lisan maupun tertulis melalui pembiasaan dan latihan yang terus-menerus tentang pentingnya berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
• Meningkatkan kemampuan bersosialisasi peserta didik autis deng an lingkungan sekitarnya.
• Mengurangi kecenderungan munculnya tingkah laku antisosial
• Mewujudkan manusia yang berakhlak mulia, mandiri, jujur, disiplin, bertanggung jawab dan toleransi.
Rangkuman
Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang muncul pada masa awal perkembangan anak yang ditandai dengan adanya gangguan pada kemampuan komunikasi sosial dan tingkah laku.
Penyebab autisme walaupun belum bisa dinyatakan secara pasti namun para ahli menyebutkan yaitu disabilitas pada bagian tertentu di otak, kekurangan nutrisi dan oksigen dalam tubuh anak dengan autisme yang disebabkan oleh kebocoran usus dan juga masih banyak dipercayai adalah polusi.
Karakteristik autisme yaitu cenderung mengulangi hal yang sama setiap waktu , kurang mampu bersosialisasi dengan orang lain, terkadang mereka juga mengalami gangguan sensori dan memiliki gangguan dalam komunikasi.
Klasifikasi autis diantaranya: Developmental Disorders -Not Otherwise specied (PDD-NOS) atau Atypical Autism, Asperger’s disorder atau Asperger Syndr ome , Childhood Disintegrative Disorder, Rett’s disorder atau Rett Syndrome, dan Autistic disorder atau Childhood autism.
Pada dasarnya, autisme memberikan dampak pada perkembangan individu dalam hal komunikasi sosial dan tingkah laku. Menurut Jordan (2013) gang g ua n pada kemampuan komunikasi sosial dan tingkah laku secara murni tidak bisa dijadikan dasar keputusan untuk menolak individu autis dalam proses pembelajaran Program kebutuhan khusus bagi anak dengan autisme yaitu Pengembangan Komunikasi, Interaksi Sosial, dan Perilaku.
Sumber Utama : Suprihatin, Ed.D dan Leliana Lianty, M.Pd. 2019. Modul 6 Pendidikan Anak Dengan Autisme Dan Kesulitan Belajar Spesifik. Kemdikbud
Bagikan Artikel
Komentar
Posting Komentar