Anak dengan Autisme


1.   Pengertian anak dengan Autisme

Sejarah pengenalan autisme dimulai sejak tahun 1911 ketika Bleuler (Feinstein , (2010))  memperkenalkan  cara berpikir  logis atau realistis dan cara berpikir autistik yang merupakan cara berpikir yang biasa dimiliki oleh anak-anak dan dewasa  dan kedua hal tersebut  bukanlah  suatu kelainan. Dalam anggapan Bleuler, cara berpikir  realistik atau logik muncul terlebih  dahulu baru diikuti dengan cara berpikir autistik dan Bleuler juga memasukkan autisme sebagai salah satu bentuk schizophrenia. Tetapi kedua cara berpikir yang dikemukakan oleh Bleuler adalah hal yang berbeda dengan apa yang kita kenal sekarang sebagai autisme.

Pada   tahun   1943,   Leo   Kanner,   seorang   ahli   ilmu   jiwa   anak -anak, memperkenalkan kata ‘autis’ dalam tulisannya untuk mendeskripsikan 11 pasiennya di Universitas John Hopkins, Amerika Serikat (Mesibov dan Howley, 2003).  Anak-anak  tersebut  memiliki  sedikit  ketertarikan  kepada  orang lain, berbahasa secara aneh, melakukan rutinitas yang sama, menunjukkan gerakan anggota badan yang berbeda dari anak yang lain dan mengulang tingkah laku yang sama.

Pada intinya, Kanner menerangkan bahwa 11 pasien yang digambarkan dalam laporannya mengalami kesulitan pada tiga area utama yaitu sosial, komunikasi dan pemikiran.  Pada perkembangan selanjutnya, ketiga aspek utama dalam autisme disebut sebagai ‘triad of impairments’ dan memunculkan istilah ‘Autism Spectrum Disorders’ (Wing (1996)  dalam Volkmar,  et.al.(2005))  atau dalam Bahasa  Indonesia  disebut sebagai Gangguan  Spektrum Autisme  ( Ginanjar, 2007). Istilah  Autism Spectrum Disorders lebih banyak digunakan dari pada istilah   yang   digunakan   pada   awal  kemunculan   autisme   yaitu   Pervasive Developmental Disorders.

Autisme bukanlah kata baru dalam kehidupan sehari-hari walaupun kata tersebut baru dikenal dan digunakan secara luas di Indonesia sejak tiga dekade terakhir . Bahkan terkadang kata autis digunakan secara kurang benar dan tidak pada tempatnya sehingga penggunaan kata ini mengundang sakit hati bagi keluarga individu autis. Sebagai contohnya para pengguna smart phone model tertentu yang  terlalu  asyik  dengan  smart  phone-nya  disebut  sebagai  autis.  

Untuk mengetahui lebih dalam secara benar tentang autis dan atau autisme, maka paragraf selanjutnya dalam modul ini akan membahas pengertian aut isme. Menurut  Longman Dictionary of American English (Mayor, dkk., 2009) autisme adalah  sebuah  permasalahan  dalam  cara  kerja  otak  yang  menyebabkan seseorang tidak mampu berkomunikasi secara normal, atau untuk membentuk hubungan secara normal. 

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (kbbi.web.id, September, 2019) autisme adalah gangguan perkembangan pada anak    yang    berakibat    tidak    dapat    berkomunikasi   dan    tidak    dapat mengek spresik an perasaan  dan keinginannya  sehingga  perilaku hubungan dengan orang lain terganggu.

Autisme juga merupakan suatu keadaan dimana seseorang anak berbuat semaunya sendiri baik cara berfikir maupun berperilaku. Keadaan ini mulai terjadi sejak usia masih sangat muda atau bayi. Sedangkan menurut Rimland (Ginanjar, 2007) autisme adalah gangguan yang disebabkan oleh kesalah an pada syaraf otak. Autisme juga bisa diartikan sebagai disabilitas perkembangan yang secara  signifikan berpengaruh terhadap kemampuan berkomunikasi anak secara verbal dan nonverbal, interaksi sosial, dan kinerja pe ndidikan. Autisme bukan suatu gejala penyakit tetapi berupa sindroma (kumpulan gejala) dimana terjadi penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa, dan kepedulian terhadap sekitar sehingga anak autisme seperti hidup dalam dunianya sendiri (Handojo, 2003).

Autisme atau bisa juga disebut sebagai Gangguan Spektrum Autisme (GSA) bukanlah suatu penyakit sehingga belum ada obat yang bisa digunakan untuk menyembuhkan gangguan yang ditimbulkan. GSA akan menetap pada pemiliknya selama mereka hidup dan karakteristiknya bisa diminimalisir bahkan dihilangkan  dengan  pemberian  perlakuan  tertentu.  GSA 4 kali lebih banyak  terjadi  pada  laki-laki  dibanding  pada  perempuan.  Jumlah  individu  dengan autisme di Indonesia masih belum jelas, sehingga perlu adanya pendataan yang menyeluruh. Sedangkan di Amerika Serikat saat ini prevalensi kejadian autisme pada komunitas adalah 1 orang diantara 88 orang.

Sebagai  kesimpulan,  Autism Spectrum Disorders  atau Gangguan  Spektrum Autisme (GSA) atau autisme merupakan suatu gangguan per kembangan yang kompleks yang muncul pada masa awal perkembangan anak yang ditandai dengan adanya gangguan pada kemampuan komunikasi sosial dan tingkah laku. Autisme akan menetap pada anak sampai mereka dewasa yang gejalanya bisa terkurangi  dengan  memberikan  berbagai macam perlakuan  yang konsisten kepada anak.

2. Penyebab anak dengan autisme

Pada zaman dulu orang tua, terutama ibu, dianggap sebagai penyebab terjadinya  autisme  pada anak. Sampai ada penyebutan  orang tua sebagai ‘referigerator  mother’ atau ‘ibu ku lkas’. Hal ini disebabkan karena orang tua merespon  keadaan  anak secara ambivalen,  tidak konsisten  dan penolakan (Mesibov & Howley, 2003). Namun anggapan ini banyak ditentang oleh orang tua dan tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Sedangkan Tinbergen dan Tinbergen (Jones, 2002) menganggap ada kerusakan dalam proses ikatan antara ibu dan anak.

Disabilitas  pada bagian tertentu  di otak, juga dipercaya  sebagai penyebab autisme. Menurut penelitian (Handoyo, 2002) bagian lobus parietal, temporal dan oksipital pada otak anak dengan autisme bervolume lebih besar dari anak pada umumnya. Selain itu, neuron pada sistem limbik otak anak dengan autisme juga terlihat lebih kecil dan saling berdempetan, sedangkan di area lain mungkin lebih besar atau lebih kecil dari umumnya.

Faktor genetik juga dicurigai sebagai penyebab terjadinya autisme pada individu . Namun, model penurunan atau pewarisan faktor gen dari orang tua ke anak masih belum diketahui dengan jelas. Fokus penelitian tentang penyebab autisme saat ini adalah genetik individu autis, dan banyak hasil penelitian yang menunjukkan  bahwa faktor  gen yang bermutasi menjadi penyebab autisme. 

Autisme bisa mengenai siapa saja, baik sosio -ekonomi mapan maupun kurang, yang dimulai dari masa kanak-kanak yang menetap hingga dewasa dan semua etnis. Autisme tidaklah disebabkan oleh vaksinasi MMR ( Fitzpatrick, 2004 ) yang selama ini masih dipercayai oleh sebagian orang sehingga vaksinasi MMR tidak perlu dihindari.

Penyebab autisme yang lainnya adalah kekurangan nutrisi dan oksigen dal am tubuh anak dengan autisme yang disebabkan oleh kebocoran usus . Usus yang bocor pada anak dengan autisme menyebabkan mereka menjadi kekurangan nutrisi karena sistem pencernaan tidak bisa membedakan antara nutrisi dan racun. Sehingga kedua zat ini terserap dan beredar secara bersamaan dalam tubuh.  Penyebab  yang juga masih banyak dipercayai adalah polusi. Polusi menyebabkan mengendapnya zat berbahaya seperti merkuri dan timbal di dalam tubuh. Kedua zat berbahaya ini banyak juga ditemukan pada darah dan rambut anak dengan autisme.

3. Karakteristik anak dengan autisme

Anak dengan autisme sangatlah berbeda antara satu dengan  yang lain. Masing- masing punya karakteristik yang unik dan kuantitas karakteristik yang dimiliki sangat  berbeda  pula.  Sebagaimana  diketah ui  bahwa  autisme  merupakan spektrum sehingga  pada masing-masing  anak kuantitas karakteristik sangat beragam dari yang paling banyak menunjukkan ciri-ciri autisme sampai yang hampir tidak kelihatan ciri-cirinya.

Yang pertama,  anak dengan  autisme  memiliki ga ngguan perilaku dalam hal ‘insistence of sameness’. Anak dengan autisme cenderung mengulangi hal yang sama setiap waktu. Misalnya ketika sedang mandi ada anak dengan autisme lebih suka semua pintu yang ada harus tertutup rapat, kamar mandi harus dipenuhi dengan busa. Ketika pintu kamar mandi secara sengaja dibuka oleh orang lain maka dia akan langsung menutup pintu tersebut dan pintu lainnya yang terbuka. Lain perilaku dimunculkan oleh anak yang lain, seperti perjalanan menuju sekolah harus selalu melewati jalan yang sama. Kalau berangkat melalui jalan A dan pulang melalui jalan B, maka hal ini harus dilakukan setiap hari. Jika tidak maka anak kemungkinan akan bingung dan bahkan tantrum. 

Hal ini terjadi dikarenakan anak dengan autisme kurang mampu memperkir akan apa yang terjadi selanjutnya (Jones, 2002) sehingga pikirannya menjadi bingung.

Berikutnya adalah bahwa anak dengan autisme kurang mampu bersosialisasi dengan orang lain. Mereka kurang mampu untuk memulai kegiatan sosialisasi. Bahkan menurut Jones (2002) kemampuan sosial anak dengan autisme kemungkinan merupakan gangguan yang terparah. Anak dengan autisme kurang memahami peraturan sosial yang ada yang sifatnya abstrak seperti kesopanan , giliran atau antri dan aturan permainan. Mereka tidak belajar secara otomatis tentang  hal-hal  tersebut.  Hal  ini disebabkan  karena kemampuan  pemikiran mereka  yang  tidak  mampu  mencerna  hal-hal  atau  kata-kata  yang bersifat abstrak. Namun ketika mereka diajari hal-hal tersebut mereka akan bisa dengan membutuhkan  waktu yang cukup lama.

Karakteristik  berikutnya  yang ditunjukkan oleh anak dengan autisme adalah terkadang  mereka  juga mengalami gangguan sensori. Gangguan ini seperti ditunjukkan dengan kepekaan yang sangat terhadap hal -hal tertentu misalnya suara dan sentuhan. Anak dengan autisme yang sangat peka terhadap suara, dia akan menutup telinga atau akan menjerit -jerit jika mendengar uara seperti suara balon yang berudara ketika dibentuk menjadi boneka atau benda lainya . Tetapi sebaliknya jika anak tidak peka maka dia tidak akan peduli dengan suara sekeras  apapun.  Demikian  juga  dengan  anak -anak  yang sensitif terhadap sentuhan,  jika dia disentuh maka dia akan menangis kesakitan tetapi ketika dipukul dia tidak merasakan apapun.

Ciri   yang   paling   menonjol  lainnya   pada   anak  dengan   autisme   adalah kemampuannya berkomunikasi. Pada sebagian anak dengan autisme, ada yang bisa berbicara dengan lancar dan tidak mengalami keterlambatan bicara namun sebagian lainnya ada yang mampu berbicara pada masa kecilnya dan kemudian hilang. Pada sebagian yang hilang ini, ada yang kemungkinan bisa berbicara kembali tetapi sebagian lagi kemungkinan tidak bisa berbicara selamanya.

Berkenaan dengan  komunikasi bahwa komunikasi anak autisme berkembang melalui empat tahapan:

a. The own agenda stage ( Tahapan asyik dengan dunianya sendiri) 

Pada tahapan ini anak lebih suka bemain sendiri dan tampaknya tidak tertarik pada orang-orang di sekitarnya. Kita harus memperhatikan gerak tubuh dan ekspresi wajah anak, agar dapat mengetahui keinginannya. Anak seringkali mengambil sendiri bendabenda yang diinginkannya.

b. The requester stage (Tahapan meminta)

Pada tahapan ini anak mulai menyadari bahwa tingkah lakunya dapat mempengaruhi orang di sekitarnya. Bila menginginkan sesuatu, anak biasanya menarik tangan kita dan mengarahkannya ke benda yang diinginkannya. Sebagian anak telah mampu mengulangi kata -kata atau suara tetapi bukan untuk berkomunikasi melainkan untuk menenangkan dirinya dan juga anak muulai bisa mengikuti perintah sederhana tapi responnya belum ko nsisten.

c. The early communication stage (Tahapan komunikasi awal)

Pada tahapan ini anak telah menyadari bahwa ia bisa menggunakan satu bentuk komunikasi tertentu secara konsisten pada situasi khusus. Namun demikian, inisiatif berkomunikasi masih terbatas pada pemenuhan kebutuhannya. Anak mulai  memahami  isyarat  visual/gambar  komunikasi  dan  memahami kalimatkalimat sederhana yang kita ucapkan. Bila terlihat perkembangan bahwa anak  mulai  memanggil   nama,   menunjuk   sesuatu   yang   diinginkan,  atau melakukan kontak mata untuk menarik perhatian, maka berarti anak udah siap untuk melakukan komunikasi dua arah.

d. The partner stage (Tahapan komunikasitimbal balik)

Pada tahapan ini merupakan fase yang paling efektif yakni dua arah, tetapi biasanya anak masih terpaku pada kalimat-kalima yang telah dihapalkan dan sulit menemukan topik pembicaraan yang tepat pada situasi baru. Bagi anak - anak yang masih mengalami kesulitan untuk berbicara, komunikasi dapat dilakukan dengan menggunakan rangkaian gambar atau menyusun kartu kartu bertulis.

Pada anak dengan autisme yang bisa berbicara, gaya bicaranya kadang tampak aneh. Seperti pada anak dengan Asperger Syndrome (salah satu tipe autisme ), gaya bicara mereka sangat monoton dan kaku, hampir tidak ada irama sama sekali. Anak-anak ini kurang mengerti bahasa kiasan, mereka hanya mengerti makna bahasa secara denotatif. Misalnya untuk kata ‘makan hati’ secara denotatif kata ini berarti ‘sedang makan lauk hati ayam’ tetapi secara konotatif maknanya adalah ‘sakit secara psikologis’.

Pada anak dengan autisme lain yang bisa berbicara, terkadang mereka berbicara secara echolalia. Mereka cenderung mengulang, persis sama, kata kata orang lain yang mengajaknya berbicara. Ada anak yang mengulangnya secara langsung  dihadapan  orang  yang  mengajak nya  berbicara,  ada  juga  yang mengulangnya saat berikutnya ketika dirumah atau di tempat lain.

Sedangkan individu autis lainnya yang tidak bisa berbicara, mereka berkomunikasi  dengan  bahasa  tubuh atau gestur, bahasa  isyarat, gambar - gambar dan cerita bermakna (social story). Biasanya anak dengan autisme akan mengambil, memegang dan mengarahkan tangan orang yang dikenalnya jika menginginkan sesuatu. Sedangkan menukarkan atau memberikan gambar kepada  orang  lain adalah bentuk komunikasi pada sebagian  anak dengan autisme.

4.   Klasifikasi anak dengan autisme

Seperti tersirat pada nama yang dimilikinya, Gangguan Spektrum Autisme memiliki berbagai macam sub tipe. Gangguan ini ditemukan dari mulai yang paling berat yang berarti memiliki tanda -tanda atau karakteristik autistik sangat banyak sampai yang paling ringan dengan karakteristik yang hampir tidak bisa dilihat  sama  sekali.  Berikut  ini  adalah  tipe -tipe  autisme  menurut Diagnosis Statistical Manual  IV (DSM IV) dan International  Classification of Deseases 10 (ICD 10) adalah Pervasive Developmental Disorders-Not Otherwise Specified (PDD-NOS) atau Atypical Autism, Asperger’s disorder atau Asperger Syndr ome , Childhood  Disintegrative  Disorder,  Rett’s disorder  atau Rett Syndrome, dan Autistic disorder atau Childhood autism (Volkmar dan Klin, 2005). Untuk lebih jelasnya, silahkan perhatikan tabel berikut ini.

Klasifikasi autisme menurut ICD 10 dan DSM IV

ICD 10 

•    Childhood autism

•    Atypical Autism

•    Rett Syndrome

•    Other childhood Develpmental Disorder

•    Overactive disorder with Retardation Mental

•    Asperger’s Syndrome

•    Other  Pervasive Developmental  Disorders

•    Pervasive Developmental Disorders (PDD), unspesified  

DSM IV

•   Autistic disorder

•   PDD-NOS

•   Rett’s disorder

•    Childhood Developmental  Disorder

•    No corresponding category with stereotyped movements

•    Asperger’s disorder

•     Pervasive Developmental Disorders-Not Otherwise Specified (PDD NOS)

•     Pervasive Developmental Disorders-Not Otherwise Specified (PDD NOS) 

Klasifikasi tersebut di atas merupakan klasifikasi sebelum munculnya DSM 5 di tahun 2013. Berikut ini adalah klasifikasi yang berlaku saat ini setelah DSM 5 dipublikasikan

Klasifikasi autisme menurut DSM 5

Tingkat berat ringannya

 

autisme

 

Komunikasi sosial

Minat yang terbatas dan

 

perilaku berulang

Level 3

 

Membutuhkan     dukungan yang sangat banyak’

Defisit     yang     parah dalam       keterampilan komunikasi           sosial secara     verbal     dan nonverbal              yang menyebabkan gangguan  fungsi  yang parah; inisiasi interaksi sosial     yang     sangat terbata dan  respons

Keasyikan,    ritual    yang kaku   dan/ata perilaku berulan secar nyata mengganggu keberfungsian  di  semua bidang Nampak  terlihat sangat menderit ketika ritual    atau    rutinitasnya terganggu sanga sulit untuk            mengalihkan

 

minimal           terhadap

 

tawaran     sosial     dari orang lain.

perhatian  dari  hal  yang

 

sangat                  menarik perhatiannya             atau mengembalikannya dengan cepat.

Level 2

 

Membutuhkan          banyak dukungan

Defisit yang moderat dalam keterampilan komunikasi  sosial verbal dan nonverbal; gangguan sosial yang jelas bahkan dengan dukungan di tempat; inisiasi terbatas dalam berinteraksi  sosial dan kurang atau abnormal respons terhadap tawaran  sosiadari orang lain.

Perilaku       ritual       dan berulang    dan    /    atau keasyikan     atau    minat yang     melekat    muncul cuku serin dan  jelas bagi pengamat biasa dan mengganggu keberfungsian         dalam berbagai              konteks. Kesedihan  atau  frustrasi terlihat    ketika    perilaku ritual      dan      berulang terganggu;    sulit    untuk dialihkan dari minat yang melekat.

Level 1

 

Membutuhkan dukungan

Tanpa dukungan di tempat, defisit dalam komunikasi sosial yang menyebabkan disabilitas    komunikasi yang nyata. Memiliki kesulitan  dalam memulai interaksi sosial dan menunjukkan contoh-contoh  yang jelas tentang tanggapan yang tidak lazim atau tidak benar terhadap tawaran sosial orang lain. Mungkin menampakkan minat yang     rendah     pada

interaksi sosial

 

Perilaku ritual dan berulang menyebabkan gangguan yang signifik an terhadap keberfungsian dalam satu atau lebih konteks. Menolak upaya orang lain untuk mengganggu perilaku ritual dan berulang atau untuk dialihkan dari minat yang melekat

5. Identifikasi dan Asesmen Autisme pada Individu

a. Identifikasi

Istilah identifikasi dan asesmen sering dipergunakan secara bergantian. Namun pada dasarnya identifikasi berbeda dengan asesmen. Identifikasi mer upakan tahapan awal yang masih bersifat global/kasar dari asesmen yang lebih rinci dan detail. Tujuan dari identifikasi dan asesmen juga berbeda berkaitan dengan kompetensi dan profesionalisme.

Identifikasi merupakan proses penjaringan seawal mungkin yang dilakukan oleh orang tua, guru, maupun tenaga kependidikan lainnya terhadap individu yang mengalami kelainan/penyimpangan (fisik, intelektual, sosial, emosional/ tingkah laku) dalam rangka pemberian  layanan pendidikan yang sesuai. Hasil dari identifikasi adalah ditemukannya anak-anak berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan  layanan  pendidikan  khusus, dalam hal ini adalah anak -anak dengan autisme.

Silahkan  baca lampiran  yang ada di halaman setelah daftar pustaka pada Kegiatan  Belajar  1 ini yang merupakan kriteria untuk Gangguan Spektrum Autisme menurut DSM-IV, yang bisa dijadikan sebagai dasar melakukan identifikasi apakah individu yang dicurigai, memiliki autisme atau tidak. Sedangkan menurut DSM 5, silahkan baca lampiran berikutnya untuk memahami kriteria autisme.

b. Asesmen

Asesmen adalah sebuah proses penilaian dan evaluasi yang komprehensif yang dilakukan terhadap siswa untuk mengetahui kemampuan yang dimiliki oleh seorang peserta didik baik yang bersifat kekuatan maupun kelemahan. Hasil data yang diperoleh dari proses asesmen akan disimpulkan yang bisa dijadikan rujukan bagi berbagai profesional dalam rangka menegakkan diagnosis yang berhubungan dengan kebutuhan khusus seorang siswa atau peserta didik. Asesmen merupakan kegiatan yang tak terpisahkan dari proses belajar mengajar. Bagi seorang guru, asesmen merupakan landasan pertama dalam menentukan setiap pembelajaran yang bermakna yang akan diberikan terutama bagi anak berkebutuhan khusus. Instrumen asesmen yang baik akan memberikan data dan informasi yang diperlukan oleh guru dalam penentuan proses pembelajaran.

Asesmen dalam pendidikan luar biasa adalah suatu proses yang komprehensip untuk menentukan kekuatan dan kebutuhan khusus yang dimiliki oleh seorang anak  dan  untuk  menentukan  apakah  seorang  anak b erhak mendapatkan layanan pendidikan khusus (Pierangelo & Giuliani, 2008). Asesmen ini adalah sebuah proses dalam mengumpulkan data tentang siswa untuk tujuan pembuatan keputusan. Swanson dan Watson (1989 dalam Pierangelo & Giuliani, 2008)) menyatakan bahwa asesmen bisa dipandang sebagai proses pemecahan masalah yang melibatkan berbagai macam cara dalam mengumpulkan data tentang siswa. 

Mengapa  asesmen  itu penting? Menurut TEACCH Center (2006) asesmen sangat penting karena hasil data yang telah disimpulkan dari proses asesmen bisa meningkatkan kemudahan dalam pengembangan rencana perlakuan yan g efektif dan sesuai dengan individu. Kemudian hasil dari asesmen juga memberikan informasi kepada kita tentang tingkat kemampuan anak pada saat ini dan juga menentukan aspek perilaku yang mungkin bisa diubah pada anak . Demikian juga dengan sumber pembelajaran yang dapat menunjang perubahan kearah yang lebih baik bagi anak bisa ditentukan  setelah  adanya  proses asesmen. Dan yang terakhir mengapa asesmen itu penting adalah bahwa kita sebagai guru bisa mengurangi jumlah kesalahan yang mungkin terjadi dalam sebuah proses pembelajaran.

Beberapa hal yang diases pada anak adalah intelegensi, kemampuan berbahasa atau komunikasi, kemampuan persepsi, perhatian, pencapaian akademik, tingkah laku, emosi dan perkembangan sosial. Pada area intelegensi, asesmen lebih banyak dilakukan oleh psikolog dengan tes psikologinya. Sementara guru mengases area intelegensi melalui kemampuan berkomunikasi atau berbahasa, pencapaian akademik, tingk ah laku, emosi dan perkembangan sosial yang ditunjukkan oleh siswa dalam kesehariannya baik di dalam maupun  di luar kelas. Namun  perlu diingat bahwa proses asesmen bukan hanya sekedar tes tetapi ditunjang dengan kegiatan observasi, wawancara, portofolio dan lain sebagainya. Tes hanyalah salah satu cara untuk melakukan asesmen.

Ada berbagai macam tujuan melakukan  asesmen.  Dalam hal ini asesmen digunakan untuk pengembangan Individual Education Plan atau program pembelajaran  yang diindividualisasikan  (PPI)  dan penempatan  murid pada kelas yang sesuai dengan kemampuan atau kekuatan dan kebutuhan khususnya. Sebagai tambahan asesmen bisa juga digunakan untuk merencanakan proses pembelajaran dan evaluasi pembelajaran yang tepat yang sesuai dengan tingkat kemampuan anak.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa asesmen adalah suatu proses yang sistematis dalam upaya mencari hambatan perkembangan dan belajar, serta kelebihan/potensi individu guna dijadikan bahan dalam penyusunan program pembelajaran dan kompensatoris sesuai dengan kebutuhannya 

6. Dampak Autisme terhadap Perkembangan Belajar

Pada dasarnya, autisme memberikan dampak pada perkembangan individu dalam  hal  komunikasi  sosial  dan  tingkah  laku.  Menurut  Jordan  (2013) gangguan pada kemampuan komunikasi sosial dan tingkah laku secara murni tidak bisa dijadikan dasar keputusan untuk menolak individu autis dalam proses pembelajaran. Ada beberapa kondisi komorbiditas yang umum yang terjadi bersamaan  dengan  autisme pada individu seperti kesulitan belajar spesi fik khususnya disleksia dan dispraksia. Gangguan -gangguan yang seperti ini perlu diperhatikan oleh guru pada saat pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan  akademik  pada peserta  didik autis. Tentu saja, peningkatan keterampilan akademik pada peserta did ik autis sangat bergantung kepada level intelektual, bakat dan minat tertentu dan pendekatan pengajaran yang ramah autis.

Pendekatan pengajaran yang ramah autis adalah pendekatan pengajaran yang memperhatikan karakteristik, kekuatan dan kelemahan yang dimi liki oleh pesert a didik autis. Untuk mengetahui ketiga hal tersebut guru perlu melakukan asesmen terhadap peserta didiknya sehingga guru akan mampu menggunakan pendekatan pengajaran yang tepat.

Ada beberapa kebutuhan khusus secara umum yang dimiliki oleh peserta didik autis yang harus diperhatikan oleh guru antara lain:

a. Kebutuhan khusus dalam hal komunikasi

Keterampilan komunikasi peserta didik sangat bervariasi dari mulai yang sama sekali tidak berbicara sampai yang mahir berbicara tetapi tidak menggunak an kemampuan berbicara secara benar. Bagi mereka yang tidak berbicara, guru bisa membantu mereka dengan menggunakan berbagai kartu bergambar ataupun kartu kata untuk berkomunikasi. Kartu bergambar dan kartu kata ini sebenarnya banyak tersedia di pasaran te tapi perlu diingat bahwa mungkin kartu- kartu tersebut tidak dibuat secara khusus untuk peserta didik autis tertentu. Sehingga untuk mengatasi kelemahan kartu yang ada, guru sebaiknya berusaha mengkreasi kartu yang sesuai dengan karakteristik peserta didiknya.

Sedangkan bagi peserta didik autis yang masih mempunyai modal berbicara walaupun hanya satu atau dua kata yang muncul, guru juga perlu mengembangkan  modal  yang  sudah  ada  menjadi  percakapan  yang  lebih 

bermakna. Hal ini bisa dilakukan dengan menggunakan metode seperti sonrise dimana ketika anak mengucapkan sebuah kata, guru bisa langsung menanggapi perkataan walaupun mungkin tidak mendapatkan tanggapan balik dari peserta didik.

Bagi peserta didik yang mampu berbahasa secara verbal tetapi kurang mampu menggunakannya secara benar, maka guru bisa menggunakan metode social story untuk mengajarkan komunikasi yang benar.

b.     Kebutuhan khusus dalam hal interaksi sosial

Bagi peserta  didik autis, interaksi sosial atau segala hal yang berhubungan dengan kegiatan sosial sangatlah membingungkan. Banyak dari mereka yang tidak bisa memulai kegiatan berhubungan dengan orang lain. Banyak juga yang mampu memulai berinteraksi, tetapi ketika sudah berinteraksi kadang ada juga yang tidak bisa menyelesaikan interaksi. Sehubungan dengan ketidakmampuan dalam berinteraksi sosial, guru harus paham dengan keadaan murid, pada taha p yang mana mereka membutuhkan bantuan. Ketika guru sudah memiliki data pendukung tentang kemampuan interaksi sosial, guru bisa memilih metode yang biasa digunakan dalam meningkatkan kemampuan interaksi sosial seperti theor y of mind, joint attention, social stories, PMII ataupun LEAP.

c.   Kebutuhan khusus dalam hal perilaku

Dalam hal perilaku, jelas sekali bahwa banyak peserta didik autis yang membutuhkan bantuan sehingga perilaku yang mengganggu bisa terkurangi. Sebagai contoh adalah ketika sedang mengikuti proses pembelajaran, ada salah satu peserta didik yang tiba-tiba tantrum. Guru harus paham apa yang menyebabkan  peserta  didiknya  tantrum  dan  apa  saja  yang bi sa membuat tantrum itu segera berhenti. Salah satu metode yang bisa digunakan dalam memenuhi kebutuhan khusus yang berhubungan dengan perilaku adalah time out. .

7.   Progsus Bagi Anak dengan Autisme

Program kebutuhan khusus bagi anak dengan autisme  yaitu Pen gembangan Komunikasi, Interaksi Sosial, dan Perilaku.    Pengembangan interaksi, komunikasi,  dan perilaku  bagi peserta didik autis merupakan segala usaha, bantuan  yang berupa bimbingan,  latihan, secara terencana dan terprogram terhadap peserta didik autis, dalam rangka membangun diri baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial, sehingga terwujudnya kemampuan untuk hidu p mandiri di tengah masyarakat.

Adapun  tujuan dari Pengembangan Komunikasi, Interaksi Sosial, dan Perilaku bagi peserta didik Autis antara lain untuk:

Mengembangkan kecakapan berkomunikasi baik lisan maupun tertulis melalui pembiasaan dan latihan yang terus-menerus tentang pentingnya berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari.

Meningkatkan  kemampuan  bersosialisasi  peserta  didik  autis deng an lingkungan sekitarnya.

•   Mengurangi kecenderungan munculnya tingkah laku antisosial

Mewujudkan  manusia  yang  berakhlak  mulia,  mandiri,  jujur,  disiplin, bertanggung jawab dan toleransi.

Rangkuman

Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang muncul pada masa awal perkembangan anak yang ditandai dengan adanya gangguan pada kemampuan komunikasi sosial dan tingkah laku.

Penyebab autisme walaupun belum bisa dinyatakan secara pasti namun para ahli menyebutkan yaitu disabilitas pada bagian tertentu di otak, kekurangan nutrisi dan oksigen dalam tubuh anak dengan autisme yang disebabkan oleh kebocoran usus dan juga masih banyak dipercayai adalah polusi.

Karakteristik autisme yaitu cenderung mengulangi hal yang sama setiap waktu , kurang mampu bersosialisasi dengan orang lain, terkadang mereka juga mengalami gangguan sensori dan memiliki gangguan dalam komunikasi.

Klasifikasi autis diantaranya: Developmental Disorders -Not Otherwise specied (PDD-NOS) atau Atypical Autism, Asperger’s disorder atau Asperger Syndr ome , Childhood  Disintegrative  Disorder,  Rett’s disorder  atau Rett Syndrome, dan Autistic disorder atau Childhood autism.

Pada dasarnya,  autisme  memberikan  dampak pada perkembangan  individu dalam hal komunikasi sosial dan tingkah laku. Menurut Jordan (2013) gang g ua n pada kemampuan komunikasi sosial dan tingkah laku secara murni tidak bisa dijadikan dasar keputusan untuk menolak individu autis dalam proses pembelajaran Program kebutuhan khusus bagi anak dengan autisme  yaitu Pengembangan Komunikasi, Interaksi Sosial, dan Perilaku.



Sumber Utama : Suprihatin, Ed.D dan Leliana Lianty, M.Pd. 2019.  Modul 6 Pendidikan Anak Dengan Autisme Dan Kesulitan Belajar Spesifik. Kemdikbud


Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar