Anak dengan Hambatan Pendengaran /Tunarungu


1. Pengertian Ketunarunguan

Secara etimologis istilah tunarungu berasal dari kata “tuna” dan “rungu”, tuna artinya kurang atau tidak memiliki dan rungu artinya mendengar atau pendengaran. Jadi secara bahasa tunarungu dapat diartikan sebagai seseorang yang tidak mampu mendengar.

Menurut Donald F. Morees dalam Somad dan Herawati (1996: 26), mendefinisikan tunarungu sebagai berikut:

Hearing impairment a generic term indicating a hearing disability that may range in severity from mild to profound it concludes the sub sets of deaf a n d hard of hearing. A deaf person in one whose hearing disability preclude succesful processing of linguistic information through audition, with or without a hearing aid. A hard of hearing is one one who generally with use of hearing aid,  has  residual  hearing  sufficient  to  enable  succesful processing  og linguistic information through auditon.

Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa tunarungu adalah suatu istilah umum yang menunjukkan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai berat, digolongkan ke dalam tuli dan kurang dengar. Orang tuli adalah yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat bantu dengar di mana batas pendengaran yang dimilikinya cukup memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengaran.

Pengertian  selanjutnya  menurut Boothroyd  dalam Bunawan  dan Yuwati mengemukakan istilah hambatan pendengaran/tunarungu ditujukan kepada seseorang yang mengalami segala gangguan dalam daya dengar, terlepas dari sifat, faktor penyebab, dan tingkat/derajat ketunarunguan. Seseorang yang  mengalami  gangguan  kemampuan  daya dengar  walaupun  tingkat derajatnya  bervariasi  dalam  menangkap  bunyi akan dikatakan  sebagai tunarungu.

Berdasarkan berbagai pengertian tentang   ketunarunguan/hambatan pendengaran  maka dapat  disimpulkan  bahwa ketunarunguan/hambatan pendengaran merupakan suatu keadaan dimana individu mengalami kerusakan pada indera pendengaran yang mengakibatkan mengalami gangguan kemampuan dalam daya dengar, yang meliputi seluruh gradasi baik ringan, sedang sampai berat walaupun den gan atau tanpa alat bantu dengar tetap mengalami kesulitan dalam percakapan (berbahasa) sehin g ga membutuhkan layanan pendidikan khusus untuk memaksimalkan kemampuan yang ada sehingga mampu berinteraksi dengan lingkungan sekitar.

Untuk lebih memperdalam penguasaan anda dalam memahami peserta didik tunarungu/hambatan pendengaran, sehingga dalam melakukan proses pembelajaran dapat sesuai dengan kebutuhan peserta didiknya, berikut akan dibahas tentang karakteristik dari peserta didik tunarungu/hambatan pendengaran.

2.   Penyebab Ketunarunguan

Ada banyak penyebab yang dapat mengakibatkan terjadinya tunarungu/hambatan pendengaran, namun pada kali ini akan dibahas 2 (dua) faktor penyebab saja yaitu:

1) Faktor Internal Diri Anak

Faktor  dari dalam diri anak terdapat  beberapa hal yang menyebabkan ketunarunguan:

a) Faktor genetik dari salah satu atau kedua orang tua yang mengalami hambatan pendengaran/ketunarunguan. Kondisi genetik yang berbeda disebabkan oleh gen yang dominan represif dan berhubungan dengan je n is kelamin.  Misalnya  apabila  seoang  ibu  mempunyai  darah  dengan  Rh - mengandung janin Rh+, maka sistem pembuangan pada antibod i p a d a ib u sampai pada sirkulasi janin. Virus tersebut dapat membunuh pertumbuhan sel-sel dan menyerang jaringan-jaringan pada mata, telinga, dan atau organ lainnya.

b) Penyakit  Campak  Jerman  (Rubella)  yang  diderita  ibu  yang  sedang mengandung. Pada masa kandungan tiga bulan pertama, penyakit ini akan berpengaruh buruk pada janin. Penelitian oleh Hardy (1968) mengungkapkan   199  anak  yang  ibunya  terkena  virus  Rubella  saat mengandung  selama  tahun 1964-1965.  Hasilnya,  50 % dari anak-anak tersebut mengalami kelainan pendengaran.

c) Keracunan  darah  atau  Toxaminia  yang  diderita  ibu  yang  sedang mengandung. Hal ini bisa mengakibatkan kerusakan pada plasenta yang mempengaruhi pertumbuhan janin. Jika saraf atau alat pendengaran yang terserang, bayi akan lahir dalam keadaan tunarungu.

2)  Faktor Eksternal Diri Anak

a) Anak mengalami infeksi pada saat dilahirkan. Misal, anak tertular Herpes implex yang menyerang alat kelamin ibu. Begitu juga denga n penyakit kelamin yang lain, jika virusnya masih aktif dapat ditularkan . Penyakit-penyakit yang ditularkan ibu kepada anak yang dilahirkannya  dapat menyebabkan  kerusakan pada alat -alat atau syaraf pendengaran.

b) Meningitis atau radang selaput otak yang disebabkan oleh bakteri yang  menyerang  labyrinth  (telinga  dalam)  melalui sistem sel-sel udara apada telinga tengah.

c) Radang telinga bagian tengah (otitis media) pada anak. Radang ini mengeluarkan nanah, yang mengumpul dan menggangguh antaran bunyi. Jika radang ini tidak segera diobati dapat menimbulkan kehilangan  pendengaran  yang tergolong  ringan sampai sedang. Radang ini sering terjadi pada masa kanak-kanak sebelum mencapai usia enam tahun. Hambatan pendengaran/tunarungu yang disebabkan otitis media bisanya terjadi karena penyakit pernapasan yang  berat  atau  pilek  dan  penyakit  anak -anak  seperti  campak, sehingga dapat menyebabkan kehilangan pendengaran.

d) Kecelakaan,  seperti terjatuh  dalam posisi yang mengenai tulang belakang dan tulang ekor yang berakibat kepada syaraf pendengaran.

3. Karakteristik Peserta Didik Tunarungu/Hambatan Pendengaran

Apa yang dimaksud dengan karakteristik? Tentunya sudah sering anda mendengarnya,  namun untuk lebih memberikan  persepsi yang sama tentang karakteristik tersebut, maka di bawah ini penjelasannya: Karakteristik  menurut  KKBI adalah  sifat,  tabiat  khas  sesuai  dengan perwatakan  tertentu.  Karakteristik  tunarungu  berarti sifat, tabiat yang sering muncul secara konsisten dan teratur hingga membentuk perilaku kebiasaan individu tunarungu akibat dari ketunarunguan yang dialaminya.

Karakteristik tunarungu/hambatan pendengaran menurut Van Uden dan Meadow  dalam  Bunawan  dan  Yuwati  sifat  atau  ciri -ciri  yang  sering ditemukan pada peserta didik tunarungu/hambatan pendengaran sering menunjukkan hal-hal sebagai berikut:

1)   Sifat ego-sentris yang lebih besar daripada anak mendengar

Sifat   ini   menunjukan   bahwa   peserta   didik   tunarungu /hambatan pendengaran akan lebih terarah  kepada dirinya sendiri yang membuat mereka sukar menempatkan diri pada cara berpikir dan perasaan orang lain, dan kurang menyadari atau peduli efek perilakunya terhadap orang lain. Dalam tindakannya  dikuasai oleh perasaan  dan pemikiran yang berlebihan sehingga sulit menyesuaikan diri. Hal ini disebabkan karena kemampuan bahasa yang terbatas sehingga akan membatasi pula kemampuan  untuk mengintegrasikan  pengalaman  dan akan semakin memperkuat sifat egosentrisnya.

2) Memiliki sifat impulsif

Sifat   ini   menunjukan   bahwa   peserta   didik   tunarungu /hambatan pendengaran dalam tindakannya tidak didasarkan pada perencanaan yang hati-hati dan jelas, serta tanpa mengantisipasi akibat yang mun gkin ditimbulkan oleh perbuatannya. Apa yang mereka inginkan biasanya perlu segera dipenuhi karena sulit bagi mereka  untuk merencanakan atau menunda suatu pemuasan kebutuhannya dalam jangka panjang.

3) Sifat kaku (rigidity) 

Sifat ini menunjuk pada sikap kaku atau kurang luwes dalam memandang dunia dan tugas-tugas dalam kehidupan sehari-hari. Karena miskin bahasa mengakibatkan suatu kekakuan da lam menerapkan suatu suatu aturan (yang pernah dipelajari) tanpa melihat situasi atau kondisi yang dihadapinya.

4) Sifat lekas marah dan tersinggung

Sifat ini merujuk pada kemiskinan bahasa yang dialami oleh tunarungu yang mengakibatkan tidak dapat menjelaska n maksudnya dengan baik dan sebaliknya kurang dapat memahami apa yang dikatakan or an g la in . Keadaan ini menyebabkan kekecewaan, ketegangan, dan frustasi pada akhirnya menyebabkan ledakan kemarahan.

5)   Perasaan ragu-ragu dan khawatir

Sifat ini terjadi seiring dengan makin banyaknya pengalaman yang dialami anak secara terus-menerus. Mereka juga memiliki keinginan untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Sehingga dibutuhkan kemampuan bahasa agar anak dapat termotivasi untuk berkomunikasi dengan lingkungan sekitar sehingga kepercayaan diri anak dapat tumbuh.

Karakteristik tunarungu tidak terbatas pada 5 (lima) yang telah dijela s k a n di atas, akan tetapi bisa saja peserta  didik hambatan  pendengaran/ tunarungu  memiliki karakteristik lainnya yang muncul d an menjadi ciri khas dari individu tersebut. Namun demikian ciri-ciri lainnya hanyalah kasusistik saja tidak dapat disamakan untuk semua peserta didik hambatan pendengaran, misalnya individu peserta didik hambatan pendengaran  /tunarungu  yang pembawaannnya  tenang, tidak mudah tersinggung dan percaya diri, hal ini disebabkan karena pengaruh pola asuh keluarga yang sudah mendidik dengan nilai-nilai yang positif.

4. Klasifikasi Tunarungu

Pada kesempatan ini pengklasifikasian tunarungu/hambatan pendengaran akan dikelompokkan berdasarkan:

1) Saat terjadinya ketunarunguan, yaitu:

1. Ketunarunguan/hambatan pendengaran bawaan, artinya ketika lahir anak sudah mengalami/menyandang hambatan pedengaran/tunarungu dan indera pendengarannya sudah tidak berfungsi lagi.

2. Ketunarunguan/hambatan    pendengaran    setelah    lahir,    artinya terjadinya hambatan pendengaran/tunarungu setelah anak lahir dan diakibatkan oleh kecelakaan atau suatu penyakit.

2) Tingkatan Derajat Pendengaran, yaitu:

Menurut   Boothroyd,   klasifikasi   tunarungu/hambatan  pendengaran berdasarkan tingkatan derajat pendengaran dapat dilihat pada table di bawah ini:


Kelompok I

Kehilangan 15-30 dB, mil hearing losses atau ketunarunguan ringan Daya tangkap terha d ap s u a ra percakapan manusia

Kelompok II

Kehilangan 31- 60 dB, moderate  hearing losses atau ketunarunguan sedang; daya tangkap terhadap suara percakapan manusia hanya sebagian.

Kelompok III

Kehilangan  61-90  dB  :  severe  hearing  losses  atau

 

ketunarunguan  berat,  Daya tangkap  terhadap  suara percakapan manusia tidak ada

Kelompok IV

Kehilangan 91-120 dB : profound hearing losses

 

atau ketunarunguan    sangat berat; daya tangkap terhadap suara percakapan manusia tidak ada sama sekali.

Kelompok V

Kehilangan lebih dari 120 dB : total hearing loss e s a t a u ketunarunguan total; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali.


3)   Taraf Penguasaan Bahasa 

a)   Tunarungu/Hambatan Pendengaran Pra Bahasa

Mereka yang menjadi tunarungu sebelum dikuasainya bahasa, artinya anak baru menggunakan tanda tertentu seperti mengamati, menunjuk , meraih,  memegang  suatu  benda  atau  orang  dan  mulai  mengerti lambang tetapi belum membentuk suatu sistem lambang bahasa. Tingkatan ini biasanya terjadi saat anak berusia dibawah 16 bulan.

b)   Tunarungu/Hambatan Pendengaran Purna Bahasa

Mereka yang menjadi tunarungu setelah menguasai sesuatu bahasa yaitu telah menerapkan dan memahami sistem lambang bahasa yang berlaku di lingkungan. Biasanya hal ini terjadi karena seseorang terkena suatu penyakit yang merusak fungsi pendengarannya.

4)      Tempat kerusakan pendengaran

a) Tunarungu/hambatan pendengaran konduktif yaitu kerusakan terjadi pada bagian telinga luar dan tengah, sehingga menghambat bunyi- bunyian  yang akan masuk ke dalam telinga.

b) Tunarungu/hambatan pendengaran sensoris yaitu: kerusakan terjadi pada telinga bagian dalam sehingga tidak dapat mendengar bunyi/suara.

c) Tunarungu/hambatan pendengaran campuran yaitu: kerusakan terjadi pada telinga luar, telinga tengah dan telinga bagian dalam,dan merupakan kerusakan gabungan pada bagian konduktif dan sensoris.

5.    Identifikasi dan Asesmen Anak Dengan Hambatan Pendengaran

a. Identifikasi

Dudi   Gunawan   menyebutkan   secara   umum   identifikasi   adalah   untuk menghimpun  data apakah  seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris neurologis) dalam pertumbuhan/perkembangannya dibandingkan dengan anak -anak lain seusianya (anak-anak  normal), yang hasilnya  akan dijadikan dasar untuk penyusunan program pembelajaran sesuai dengan keadaan dan kebutuhannya. Dalam rangka mengidentifikasi (menemukan) anak berkebutuhan khusus, diperlukan 

pengetahuan  tentang  berbagai jenis dan tingkat kelainan anak, diantaranya adalah kelainan  fisik, mental, intelektual, sosial dan emosi.   Masing- masing memiliki ciri dan tanda-tanda khusus atau karakteristik yang dapat digunakan oleh guru untuk mengidentifikasi anak dengan kebutuhan pendidikan khusus. guru di sekolah luar biasa perlu dibekali berbagai pengetahuan tentang anak berkebutuhan  khusus. Diantaranya  mengetahui  siapa dan bagaimana  anak berkebutuhan  khusus serta karakteristiknya.  Dengan  pengetahuan  tersebut diharapkan guru mampu melakukan identifikasi, Dengan mengidentifikasi ini guru sekolah luar biasa dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan dengan menyusun srategi pembelajaran yang sistematis, menempatkan anak, Menentukan prosedur perencanaan program, pelaksanaan program, merefleksi progam,mereview kasus dan melakukan evaluasi.

Istilah identifikasi erat hubungannya dengan kata mengenali, menandai, dan menemukan. Kegiatan mengidentifikasi adalah kegiatan untuk mengenal dan menandai sesuatu. Dalam pendidikan luar biasa, identifikasi merupakan langk ah awal yang sangat penting untuk menandai anak-anak yang mengalami kelainan atau anak dengan kebutuhan khusus.

Menemukan dan mengenali anak-anak berkebutuhan khusus sudah barang tentu membutuhkan  perhatian  serius. Ada anak-anak  yang dengan  mudah dapat dikenali sebagai anak berkebutuhan khusus, tetapi ada juga yang membutuhk an pendekatan  dan peralatan  khusus untuk menentukan, bahwa anak tersebut tergolong  anak-berkebutuhan  khususPengamatan  yang seksama  mengenai kondisi dan perkembangan anak sangat diperlukan dalam melakukan identifikasi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah oleh guru, dan ini dapat dilakukan guru pada awal siswa masuk sekolah. Untuk dapat memperoleh informasi yang lebih lengkap, maka usaha identifikasi perlu dilakukan dengan berbagai cara, selain melakukan pengamatan secara seksama, perlu juga dilakukan wawancara dengan  orangtua  ataupun  keluarga  lainnya. Informasi yang telah diperoleh selanjutnya dapat digunakan untuk menemukenali dan menentukan anak -anak mengalami kelainan/penyimpangan yang dialami. Anda  seyogyanya membuat instrumen identifikasi untuk menemukenali anak dengan hambatan pendengaran, misalnya kita dengan mengamati gejala yang diamati: 

(1)Tidak mampu mendengar, 

(2) Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar, 

(3) Banyak perhatian terhadap getaran,   

(4) Tidak ada reaksi terhadap bunyi/suara didekatnya  

(5)  Terlambat  perkembangan  bahasa  

(6) Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi, 

(7) Kurang/tidak tanggap bila diajak bicara.

Dengan identifikasi tersebut kita dapat diketahui apakah tersebut menga lami hambatan pendengaran atau tidak.

b.  Asesmen

Asesmen  adalah proses yang sistimatis dalam mengumpulkan data seorang anak. Dalam kontek pendidikan asesmen berfungsi untuk melihat kemampuan dan  kesulitan   yang   dihadapi  seseorang  saat  itu,  sebagai  bahan  untuk menentukan apa yang sesungguhnya dibutuhkan. Berdasarkan informasi itulah seorang guru akan dapat menyusun program pembelajaran yang bersifat realistis sesuai dengan kenyataan obyektif dari anak tersebut. Sebagai contoh; dari hasil asesmen  diperoleh informasi bahwa anak itu mengalami kesulitan dalam hal bicara, dan bukan kepada pelabelan bahwa anak itu Autis. Selanjutnya instrumen asesmen  disusun  untuk menemukan  hal-hal yang sangat spesifik berkaitan dengan masalah bicara tadi dan bukan untuk menemukan pelabelan. Dengan demikian program pendidikan didasarkan kepada kebutuhan, dan bukan pada kecacatan seorang anak.

Assesmen sering didefinisikan dengan berbagai macam cara, tergantung dari sudut  pandang  yang  digunakan.  Beberapa  buah  diantara  definisi terseb ut menyatakan  bahwa assesmen  adalah suatu proses pengumpulan  informasi tentang seorang anak yang akan digunakan untuk membuat pertimbangan dan keputusan yang berhubungan dengan anak tersebut. Kemudian sejalan dengan definisi  tersebut,   McLoughin   dan  Lewin   ( dalam  Yosfan   Azwandi,   2005) merumuskan batasan yang menyatakan bahwa assesmen dalam pendidikan luar biasa  adalah  proses  yang  sistematis  dalam  mengajukan  pertanyaan  yang relevan secara kependidikan untuk digunakan sebagai dasar penempatan dan pembelajaran.

Asesmen bagi penyandang kelainan pendengaran mempunyai fungsi yang le b ih luas, ialah untuk pengobatan atau pemberian bantuan dan juga untuk membantu perencanaan  pendidikan.  Kegiatan  ini harus melibatkan tenaga profesional, seperti dokter THT atau tenaga medis, dan atau petugas speack trerapy. Jika ditemukan adanya gejala klinis mengenai tanda -tanda adanya penyakit pada organ telinga, baik yang secara fungsional telah mengganggu yang ditemukan tersebut secara klinis tidak merupakan suatu penyakit, mungkin me merlukan bantuan alat pendengaran atau alat bantu dengar yang sesuai.

Ada anak yang setelah  dilakukan tindakan medis maupun non medis dapat mengfungsikan kembali pendengarannya secara optimal, tetapi tidak sedikit anak yang memang mengalami kelainan penden garan sehingga tidak memungkinkan lagi untuk menggunakan fungsi pendengaran.

Hasil  dari  asesmen  dapat membantu  kita memutuskan  tentang  pemecahan permasalahan pada pembelajaran siswa tunarungu dan jika permasalahan itu diidentifikasi maka kita akan dapat melakukannya.

Kegiatan assesmen dimaksudkan untuk mengidentifikasi karakteristik anak menentukan penempatan anak dalam suatu sistem layanan bantuan, mengevaluasi kemajuan anak, dan memprediksi bantuan akademik dan non akademik anak.

6.   Dampak  ketunarunguan/hambatan pendengaran terhadap perkembangan bahasa dan komunikasi, kognisi, psikologis, serta sosial emosi

 Ketunarunguan/hambatan pendengaran yang berarti tidak memiliki ke ma mp u a n mendengar,  tentunya  akan membawa dampak juga pada kemampuan untuk memperoleh  pendidikan  bagi penyandang  tersebut.   Sementara  pendidikan memiliki peran penting dalam kemampuan berpikir seseorang. Dalam hal ini, masa kanak-kanak merupakan masa yang penting dalam proses pendidikan. Sebagaimana yang diutarakan Bloom (2003) bahwa separuh pe rkembangan intelektual  anak  berlangsung  sebelum  usia  empat  tahun.  Lebih  jelas  lagi, menurut Landshears (2004), pada usia empat tahun, perkembangan intelektual mencapai 50 %, selebihnya 30 % untuk 4-8 tahun, dan 20 % usia 9-17 tahun. Dari  semua kendala  yang ada, maka dampak paling besar pada hambatan pendengaran/ketunarunguan adalah terjadinya kemiskinan bahasa (Uden , 1977 dan Meadow, 1980 dalam Bunawan dan Yuwati, 2000), adalah suatu kenyataan bahwa kebanyakan orang beranggapan bahwa hambatan pendengaran/ketunarunguan hanya mengakibatkan tidak berkembangnya kemampuan berbicara. Padahal lebih dari itu, dampak ketunarunguan adalah kemiskinan dalam penguasaan bahasa secara keseluruhan (Leigh, 1994 dalam Nugroho, 2004). Artinya tanpa pendidikan khusus, terlebih bagi anak hambatan pendengaran/tunarungu berat, mereka tidak akan mengenal lambang bahasa atau nama guna mewakili suatu benda, kegiatan, peristiwa, dan perasaan serta tidak akan memahami aturan/sistem bahasa yang berlaku dan digunakan dalam lingkungannya.

Penguasaan  bahasa  pada  anak  mendengar  terjadi  secara  wajar,  yakni di lingkungan keluarga selama usia balita. Pada usia empat tahun, mereka pada umumnya sudah memasuki tahap purna bahasa ( postlingual) yaitu mengenal dan memahami lambang bahasa serta tanpa disadari sudah mampu menerapkan aturan  bahasa  yang  digunakan  di  lingkungannya.  Sedangkan  bagi  anak hambatan pendengaran/tunarungu, pada umumnya baru akan memasuki tahap purna bahasa pada usia 12 tahun. Itupun hanya akan terjadi bila anak dan orangtua mereka mengikuti program bimbingan dan intervensi dini (paling lambat sejak anak berusia 1,5 tahun, dengan intelegensi normal serta tidak mempunyai kecacatan lain) yang ditangani secara profesional oleh ahli yang bersangkutan. Proses pendidikan  di semua lembaga  pendidikan,  termasuk SLB tunarungu bertopang  pada  kemampuan  berbahasa  peserta  didiknya.  Dapat dikatakan bahwa dalam segala kegiatan pembelajaran, kegiatan berbahasa memegang peran   baik  dalam  bentuk   lisan,   tulisan   maupun   isyarat.   Apabila   anak, mengerjakan tugas yang menuntut daya logika dan abstraksi yang lebih tinggi, maka diharapkan keterampilan berbahasa akan membawa peserta didik belajar berfikir runtut dan logis.

Keterlambatan dan kemiskinan perkembangan kemampuan berbahasa peserta didik hambatan pendengaran/tunarungu sebagai akibat dari kelainannya, seyogyanya menjadi acuan bagi para guru dan pengambil kebijakan , karena d i situlah terletak kebutuhan pendidikan khusus mereka. Dan selanjutnya, segala upaya pengembangan pendidikan peserta didik hambatan pendengara/tunarungu sejak usia dini, sudah sepatutnya dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan khusus tersebut. 

7.   Progsus Bagi Anak dengan Hambatan Penglihatan

Program kebutuhan khusus bagi anak dengan hambatan pendengaran  yaitu Pengembangan Komunikasi, Persepsi Bunyi, dan Irama (PKPBI).

Pengembangan Persepsi Bunyi dan Irama adalah pembinaan penghayatan b u ny i yang dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja, sehingga kemampuan den ga r yang masih dimiliki serta perasaan vibrasi yang dimiliki peserta didik tun arungu dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk berintegrasi dengan dunia sekelilingny a yang penuh bunyi bermakna.

Sesuai dengan tahapan proses mendengar manusia, maka ruang lingkup program pengembangan kemampuan persepsi bunyi dan irama bagi peserta didik tunarungu  meliputi tiga tahap yaitu; tahap deteksi bunyi adalah kemampuan menyadari ada dan tidak ada bunyi, tahap diskriminasi bunyi adalah kemampuan membedakan  bunyi, dan tahap identifikasi bunyi yaitu kemampuan mengenal bunyi

Adapun Tujuan PKPBI yaitu agar peserta didik tunarungu sebagai berikut:

dapat mempergunakan kemampuan dengar yang masih dimiliki serta perasaan vibrasi yang dimiliki sebaik-baiknya untuk berintegrasi dengan dunia sekelilingnya.

•   memiliki dasar kemampuan ucapan yang benar

mampu membentuk bunyi bahasa (vocal dan konsonan) dengan benar, sehingga dapat dimengerti orang lain.

memiliki keyakinan bahwa bunyi/suara yang diproduksi melalui alat biacaranya memiliki makna.

•   memiliki keterampilan pengucapan fonem,

•   memiliki keterampilan pengucapan kata,

•   memiliki keterampilan pengucapan kalimat,

•   memiliki keterampilan komunikasi timbal balik secara lisan. 

Rangkuman


Dari berbagai uraian materi di atas, maka dapat dirangkum tentang konsep dasar hambatan pendengaran/ketunarunguan sebagai berikut:

Hambatan pendengaran/ketunarunguan adalah suatu kondisi kehilangan kemampuan mendengar  pada tingkat sangat ringan, ringan, sedang, berat, dan sangat berat, sehingga ia tidak dapat mengerti pembicaraan orang lain me la lu i pendengarannya sendiri, tanpa atau menggunakan alat bantu mendengar o le h karena hal tersebut peserta didik hambatan pendengaran/tunarungu memerlukan layanan pendidikan khusus.

Akibat dari hambatan pendengaran/ketunarunguan tersebut maka peserta didik hambatan pendengaran/tunarungu memiliki karakt eristik sebagai berikut: sifat ego-sentris yang lebih besar daripada anak mendengar, memiliki sifat imp u ls if , sifat kaku (rigidity), menunjukkan sikap kurang luwes dalam memandang duunia dan tugas-tugas dalam kesehariannya, sifat lekas marah dan mudah tersinggung, serta memiliki perasaan ragu-ragu dan khawatir yang leb ih besar dibandingkan anak pada umumnya.

Klasifikasi hambatan pendengaran/tunarungu dapat terbagi berdasark an : saat terjadinya hambatan pendengaran/ketunarunguan, tingkatan derajat pendengaran  ,  penguasaan  bahasa,  dan  berdasarkan  tempat kerusakan pendengaran. Selanjutnya penyebab terjadinya hambatan pendengaran/tunarungu terbagi menjadi 2 (dua) faktor yaitu internal dari da la m diri anak yang menjadi penyebab terjadinya hambatan pendengaran/ketunarunguan, seperti genetik dan penyakit yang diderita ibuny a saat mengandung, dan faktor eksternal yaitu faktor -faktor yang menyebabkan terjadinya hambatan pendengaran/ketunarunguan dari luar diri anak, seperti penyakit  saat  anak  usia  perkembangan  dan  kecel akaan  yang  mengenai langsung syaraf pendengaran.

Permasalahan yang ditimbulkan akibat dari hambatan pendengaran/ketunarunguan adalah sebagai berikut:   a.masalah dalam persepsi auditif, b.masalah dalam bahasa dan komunikasi, c.masalah dalam kognisi  dan  intelektual,  d.masalah  dalam  pendidikan,  e.masalah  dalam 
vokasional, f.masalah dalam keluarga dan masyarakat, g.masalah sosia l , d a n h.masalah emosi. Dari permasalahan tersebut maka akibatnya hambatan pendengaran/ketunarunguan  yang  dialami  akan membawa  dampak  dalam proses perkembangan bahasa dan komunikasi, kognisi, psikologis, serta sosia l emosi. Untuk itu diperlukan kebijakan pemerintah dalam memberikan layanan pendidikan bagi peserta didik hambatan pendengaran/tunarungu yg sesuai dengan karakteristiknya dengan menggunakan strategi dan metode pembelajaran yang tepat, sehingga pembelajaran yang untuk peserta didik tunarungu lebih berkualitas dan tercapai tujuan yang diharapkan y a it u ma mp u berbahasa dan berkomunikasi.

Program kebutuhan khusus bagi anak dengan hambatan pendengaran  yaitu Pengembangan Komunikasi, Persepsi Bunyi, dan Irama (PKPBI).



Sumber Utama: Dr.Murni Winarsih, M.Pd. 2019. Modul PPG Progam Studi Plb Konsep Dasar Hambatan Pendengaran. Kemendikbud.


Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar