Identifikasi dan Asesmen Anak Dengan Hambatan Penglihatan
a. Pengertian
Istilah identifikasi secara harfiah dapat diartikan menemukan atau menemukenali. Identifkasi anak dengan hambatan penglihatan dimaksudkan merupakan suatu usaha seseorang (orang tua, dokter mata, guru, maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan atau hambatan dalam penglihatan dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya (anak-anak normal).
Dalam istilah sehari-hari, identifikasi sering disebut dengan istilah penjaringan, sedangkan asesmen disebut dengan istilah penyaringan. Kegiatan identifikasi sifatnya masih sederhana dan tujuannya lebih ditekankan pada menemukan (secara kasar) apakah seorang anak tergolong anak yang mengalami gangguan penglihatan/tunanetra atau bukan. Maka biasanya identifikasi dapat dilakukan oleh orang -orang yang dekat (sering berhubungan/bergaul) dengan anak, seperti orang tuanya, pengasuhnya, gurunya, dan pihak-pihak yang terkait dengannya. Sedangkan langkah berikutnya, yang sering disebut asesmen, bila diperlukan dapat dilakukan oleh tenaga profesional, seperti dokter mata, psikolog, neurolog, orthopedagog, dan lain-lain. Jadi tahap ini merupakan tahap awal untuk menemukenali anak-anak yang diduga mengalami gangguan penglihatan atau tunanetra.
b. Tujuan
Tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi yang lengkap tentang identitas dan data diri anak, orang tua, dan untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami kelainan penglihatan dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya yang awas/normal. Mengetahui kemampuan melihat yang masih dimiliki, mengetahui penyebab ketunanetraan, dll. Hasil identifikasi ini akan dijadikan data untuk dilanjutkan pada asesmen yang akan dijadikan dasar untuk penyusunan program pembelajaran sesuai dengan kondisi penglihatannya.
c. Sasaran Identifikasi
Secara umum sasaran identifikasi anak dengan hambatan penglihatan adalah seluruh anak usia pra-sekolah dan usia sekolah dasar . Sedang k an secara khusus (operasional), sasaran identifikasi anak dengan hambatan penglihatan adalah:
• Anak-anak usia sekolah yang terdaftar di rumah sakit mata sebagai pasien yang mengalami gangguan penglihatan;
• Anak yang sudah bersekolah di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
• Anak yang akan masuk ke Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
• Anak yang belum/tidak bersekolah karena orangtuanya merasa anakn y a tergolong anak yang mengalami ketunanetraan sedangkan lokasi SLB jauh dari tempat tinggalnya; sementara itu, semula SD terdekat belum/tidak mau menerimanya;
• Anak yang drop-out Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah karena factor akademik.
a) Petugas Identifikasi
Untuk mengidentifikasi seorang anak apakah tergolong anak dengan hambatan penglihatan atau bukan, dapat dilakukan oleh: Guru kelas, Orang tua anak; dan/atau Tenaga professional terkait
b) Instrumen Identifikasi
Secara sederhana ada beberapa aspek informasi yang perlu mendapatkan perhatian dalam pelaksanaan identifikasi. Contoh alat identifikasi sederhana untuk membantu guru dan orang tua dalam rangka menemukenali anak dengan hambatan penglihatan antara lain sebagai berikut :
• Instrumen untuk mengumpulkan data/Informasi riwayat perkembangan anak;
• Instrumen untuk mengumpulkan data/informasi orangtua anak/wali siswa;
• Instrumen untuk mengumpulkan data/informasi profil kondisi penglihatan anak.
d. Gejala-gejala gangguan Penglihatan
1) Gejala-gejala buta total:
❖ Corena tidak bening atau tidak rata;
❖ Cairan aquous keruh;
❖ Pupil tidak dapat berakomodasi secara normal;
❖ Iris tidak bekerja sesuai fungsinya;
❖ Lensa keruh dan tidak berakomodasi;
❖ Cairan vitreous tidak bening;
❖ Retina macula tidak sensitive terhadap cahaya;
❖ Bola mata terlalu besar atau terlalu kecil;
❖ Bola mata tertutup selaput putih;
❖ Syaraf mata tidak berfungsi normal;
❖ Otot-otot mata tidak berakomodasi secara normal;
2) Gejala-gejala Low Vision:
❖ Mencoba “melihat” apa yang didekatnya;
❖ Mencoba “melihat titik-titik;
❖ Dapat bergerak dengan percaya diri di lingkungannya;
❖ Orientasi “visual” apabila ada rangsang cahaya pada mata;
❖ Menunjukkan respon terhadap adanya cahaya dan warna;
❖ Melirikkan mata terhadap sesuatu yang kena sinar;
❖ Dapat menghindari rintangan-rintangan/benda yang besar;
❖ Menunjukkan perhatian kepada sesuatu yang bergerak di sekitarnya;
❖ Terkejut apabila sesuatu yang mendekat secara tiba-tiba;
❖ Memiringkan kepala secara tidak wajar apabila melakukan suatu pekerjaan;
❖ Menunjukkan tanda-tanda dapat mengikuti sesuatu dengan penglihatannya;
❖ Menunjukkan respon terhadap bayangan;
❖ Mencari sesuatu yang jatuh menggunakan penglihatannya;
❖ Menjadi penuntun bagi teman-temannya yang buta (totally blind);
❖ Tertarik terhadap permainan yang menggunakan penglihatan;
❖ Menggerak-gerakkan tangannya apabila sedang berbicara
3) Asesmen Ketunanetraan
a. Pengukuran Visus
Pengukuran dilakukan menggunakan Snelen Chart.
Visus normal
adalah 20/20 (ukuran feet), atau 6/6 (dengan satuan ukuran meter). Penghitungan Visus menggunakan rumus: V = d/D.
(V = visus atau ketajaman penglihatan; d = jarak antara kartu Snelen dengan mata orang yang sedang diukur; D = jarak baca penglihatan normal. )
1) Pengukuran lapang pandang/penglihatan
Lapang pandang yang normal adalah 1800 yang diukur dengan alat campimetri.
2) Pengukuran Penglihatan Warna
Buta warna yang paling sering terjadi adalah terhadap warna merah d an atau hijau dan biasanya menurun pada anak laki -laki. Meskipun demikian buta warna juga terjadi terhadap warna biru dan atau kuning. Ada beberapa tes yang dapat digunakan untuk melakukan tes buta warna akan tetapi tes yang paling dikenal oleh guru adalah tes warna Ishihara. Tes ini berupa kartu yang berisi bercak-bercak warna yang membentuk huruf atau angka tertentu yang dilatarbelakangi oleh warna-warna lain sebagai pengecoh. Testee diminta untuk melihat kartu tersebut dan mengatakan apakah melihat angka atau tidak pada kartu tersebut. Jika testee mengalami buta warna maka dia tidak melihat atau angka huruf pada kartu.
4) Asesmen Kemampuan Akademik Anak dengan hambatan penglihatan
Assesmen akademik adalah penilaian yang dilakukan terhadap diri anak dalam upaya mendapatkan gambaran yang jelas dan lengkap tentang kemampuan akademik anak sebagai anggota keluarga. Apakah kemampuan akademik ini sesuai dengan usianya? Hal ini akan membantu dan dipakai pertimbangan dalam penempata n anak tersebut . oleh karena itu asesmen ini dimaksudkan untuk menentukan penempatan anak pada jenjang atau program pendidikan dan rehabilitasi yang tepat, sehingga anak dapat mempelajari hal-hal baru berdasarkan kemampuan akademik yang dimiliki. Asesmen ini dapat dilakukan dengan tes dan non tes (wawancara).
5) Asesmen Keterampilan Anak dengan hambatan penglihatan
Asesmen keterampilan adalah penilaian yang dilakukan terhadap diri anak dalam upaya mendapatkan gambaran ya ng jelas tentang keterampilan yang dimilikinya, terutama keterampilan kegiatan kehidupan sehari -hari. Asesmen ini dimaksudkan agar guru dapat melatih dan mengajarkan keterampilan-keterampilan baru berdasarkan keterampilan yang telah dimiliki dan dikuasai serta untuk mengoreksi dan mengevaluasi keterampilan-keterampilan yang dikembangkan anak sendiri secara kurang tepat. Asesmen ini dapat dilakukan dengan tes perbuatan dan atau observasi.
Dampak anak dengan Hambatan Penglihatan pada Fungsi Kognitif
Anak dengan hambatan penglihatan memiliki dampak terhadap belajar , perkembangan, ketreampilan sosial dan perilakunya. Kemampuan kognitif berbeda dengan anak lainnya. Kemampuan berpindah tempat mereka amat terbatas sehingga pengalaman sebagai faktor pembentuk kemampuan kognitif mereka juga sangat terbatas, Didi Tarsidi dalam tulisannya yang berjudul “Dampak Ketunanetraan terhadap Fungsi Kognitif Anak” mengemukakan bahwa individu tunanetra menyandang kelainan dalam struktur fisiologisnya, dan mereka harus menggantikan fungsi indera penglihatan dengan indera-indera lainnya untuk mempersepsi lingkunganya. Selanjutnya beliau Banyak di antara mereka tidak pernah mempunyai pengalaman visual, sehingga konsepsi mereka tentang dunia ini sejauh tertentu mungkin berbeda dari konsepsi orang awas pada umumnya. Satu perbedaan penting lainnya antara perabaan dan penglihatan adalah bahwa perabaan menuntut jauh lebih banyak upaya sadar untuk memfungsikannya. Sebagaimana diamati oleh Lowenfeld (Hallahan & Kauffman, 1991 ), indera perabaan pada umumnya hanya berfungsi bila aktif dipergunakan untuk keperluan kognisi, sedangkan penglihatan aktif dan berfungsi selama mata terbuka. Oleh karena itu, untuk memperkaya kognisinya, anak tunanetra harus sering didorong untuk mempergunakan indera perabaannya untuk keperluan kognisi. Akan tetapi, di dalam masyarakat kita, di mana obyek - obyek tertentu ditabukan untuk diraba, dorongan untuk mempergunakan
indera perabaan itu sering harus dibatasi demi menghindari perilaku ya ng bertentangan dengan norma-norma sosial. Lebih jauh belaiu mengatakan Seberapa besar perbedaannya dari anak awas, perkembangan konsep anak tunanetra itu akan sangat tergantung pada dua faktor, yaitu tingkat ketunanetraannya dan usia terjadinya ketunanetraan itu (Hallahan & Kauffman, 1991). Anak yang berkesempatan memperoleh pengalaman visual sebelum menjadi tunanetra, sejauh tertentu akan dapat memanfaatkannya untuk memahami konsep -konsep baru. Anak yang tunanetra sejak lahir pada umumnya akan lebih berga ntung pada indera taktualnya untuk belajar tentang lingkungannya daripada mereka yang ketunanetraannya terjadi kemudian. Demikian pula, anak yang buta total akan lebih bergantung pada indera taktual untuk pengembangan konsepnya daripada mereka yang masih memiliki sisa penglihatan yang fungsional ( low vision).
Progsus Bagi Anak dengan Hambatan Penglihatan
Program kebutuhan khusus merupakan suatu layanan intervensi dan/atau pengembangan yang dilakukan sebagai bentuk kompensasi atau penguatan akibat kelainan yang dialami anak berkebutuhan khusus dengan tujuan meminimalkan hambatan dan meningkatan akses dalam mengikuti pendidikan dan pembelajaran yang lebih optimal. Program kebutuhan khusus bukan mata pelajaran, tetapi wajib diberikan sesuai kebutuhan peserta didik.
Program kebutuhan khusus bagi anak dengan hambatan penglihatan yaitu Pengembangan Orientasi, Mobilitas, Sosial dan Komunikasi (POMSK) .
a. Pengembangan Orientasi dan Mobilitas
Pengembangan kemampuan orientasi mobilitas adalah merupakan pengembangan kemampuan, kesiapan dan kemampuan bergerak dari satu posisi/tempat ke satu posisi/tempat lain yang dikehendaki dengan baik, tepat, efektif, dan selamat. Melalui Pengembangan Orientasi Mobilitas, Peserta didik diharapkan mampu memasuki setiap lingkungan yang dikenal maupun tidak dikenal dengan efektif, aman, dan baik, tanpa banyak meminta bantuan orang lain.
b. Pengembangan Sosial
Pengembangan Kemampuan sosial merupakan pengembangan kemampuan membina hubungan antar manusia dan lingkungannya serta perilaku manusia dalam melaksanakan aktivitasnya sehari-hari secara mandiri tanpa banyak dibantu orang lain. Tujuan Pengembangan sosial ini adalah agar peserta didik mampu berinteraksi, beradaptasi dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan pribadi dan sosial di lingk ungan keluarga di sekolah dan masyarakat luas.
c. Pengembangan Komunikasi
Pengembangan komunikasi bagi peserta didik tunanetra bertujuan agar mereka mampu bersikap baik dan benar dalam berkomunikasi lisan, tulisan dan isyarat secara ekspresif menyenangkan baik menggunakan alat komunikasi manual maupun elektronik.
Sumber Utama : Marja. 2019. Pendalaman Materi : Pendidkan Khusus (PKh)/Pendidikan Luar Biasa (PLB) Modul 2 : Pendidikan Bagi Anak Dengan Hambatan Penglihatan, Kemendikbud.
Bagikan Artikel
Komentar
Posting Komentar