Karakteristik dan Klasifikasi Anak Dengan Hambatan Penglihatan


Karakteristik Anak Dengan Hambatan Penglihatan

1)    Karakteristik  Anak  Dengan  Hambatan  Penglihatan   dalam  Aspek Akademis

Hambatan penglihatanan secara langsung berpengaruh pada perkembangan dan belajar dalam hal yang bervariasi. Lowenfeld menggambarkan   dampak  kebutaan  dan  low  vision  terhadap perkembangan kognitif, dengan mengidentifikasi keterbatasan yang mendasar pada anak dalam tiga area berikut ini:

a) Tingkat dan keanekaragaman pengalaman

Ketika seorang anak mengalami hambatan penglihatanan, maka pengalaman harus diperoleh dengan mempergunakan indera-indera yang masih berfungsi, khususnya perabaan dan penglihatan.

b) Kemampuan untuk berpindah tempat.

Penglihatan memungkinkan kita untuk bergerak dengan leluasa dalam suatu lingkungan, tetapi hambatan penglihatan mempunyai keterba tasan dalam melakukan gerakan tersebut..

c) Interaksi dengan lingkungan.

Jika    anda  berada disuatu  tempat  yang  ramai, anda  dengan segera  bisa melihat  ruangan dimana anda berada, melihat orang -orang disekitar, dan anda bisa dengan bebas bergerak di lingkungan tersebut.

Menurut Tillman & Obsorg (1969), ada beberapa perbedaan antara anak hambatan penglihatan dan anak awas yaitu:

a)    Anak-anak hambatan penglihatan menyimpan pengalaman -pengalaman khusus seperti anak awas, tetapi pengalaman -pengalaman tersebut kurang terintegrasikan.

b)    Anak-anak hambatan penglihatan mendapat angka yang ha mp ir s a ma dengan anak awas dalam hal berhitung, informasi, dan kosa kata, tetapi kurang baik dalam hal pemahaman (comprehension) dan persamaan.

c)    Kosa kata anak-anak  hambatan penglihatan cenderung merupakan kata-kata yang definitif, sedangkan anak awas menggunakan arti yang le b ih luas. Contoh, bagi anak hambatan penglihatan kata malam berarti gelap atau hitam, sedangkan  bagi anak awas, kata malam memp unyai makna cukup luas, seperti malam penuh bintang atau malam yang indah dengan sinar purnama.

Studi yang dilakukan oleh Kephart & Schwartz (1974), juga menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami gangguan penglihatan yang berat cenderung memperoleh kemampuan berkomunikasi secara lisan, dan mampu berprestasi, seperti anak awas (ada beberapa tes standar). Di lain pihak  kemampuan  mereka  untuk  memproses  informasi  sering berakhir dengan pengertian yang terpecah-pecah atau kurang terintegrasi, sekalipu n dalam konsep yang sederhana.

Dengan   demikian, berbagai pendapat di atas menunjukkan bahwa hambatan  penglihatanan  dapat  mempengaruhi  prestasi  akademik para penyandangnya. Disamping itu peningkatan dalam penggunaan media pembelajaran yang bersifat auditory d an taktil dapat mengurangi h a mb a t an dalam kegiatan akademik siswa. Disamping itu penglihatan merupakan indra mereka yang dapat digunakan untuk mencapai kesuksesan. Kesuksesan yang mereka peroleh karena mereka mempunyai bakat (talented) diantaranya dalam bidang musik.

2)   Karakteristik  Anak  Hambatan  penglihatan  dalam  Aspek Pribadi dan Sosial

Beberapa literatur mengemukakan karakteristik yang mungkin terjadi pada anak hambatan penglihatan yang tergolong buta sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari kebutaannya adalah: 

a) Curiga pada orang lain

Keterbatasan rangsangan visual/penglihatan, menyebabkan anak hambatan penglihatan kurang mampu untuk berorientasi pada lingkungannya sehingga kemampuan mobilitasnya pun terganggu.

b) Mudah tersinggung

Pengalaman sehari-hari yang sering menimbulkan rasa kecewa dapat mempengaruhi  hambatan  penglihatan  sehingga  tekanan -tekanan  suara tertentu  atau singgungan  fisik yang tidak sengaja dari orang lain dapat menyinggung perasaannya.

c)  Ketergantungan pada orang lain

Sifat ketergantungan pada orang lain mungkin saja terjadi pada hambatan penglihatan. Hal tersebut mungkin saja terjadi karena ia belum berusaha sepenuhnya dalam mengatasi kesulitannya sehingga selalu mengha ra pk a n pertolongan orang lain.

3) Karakteristik  Anak Hambatan penglihatan dalam Aspek Fisik/sensoris danMotorik/perilaku

a) Aspek fisik dan sensoris

Dilihat secara fisik, akan mudah ditentukan bahwa orang tersebut mengalami hambatan penglihatan. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi matanya dan sikap tubuhnya yang kurang ajeg serta agak kaku. Pada umu mn y a k o n d is i mata hambatan penglihatan dapat dengan jelas dibedakan dengan mata orang awas. Mata orang hambatan  penglihatan  ada yang terlihat putih semua, tidak ada bola matanya atau bola matanya agak menonjol keluar. Namun ada juga yang secara anatomis matanya, seperti orang awas sehingga kadang-kadang kita ragu kalau dia itu seorang hambatan penglihatan,  tetapi kalau ia sudah bergerak atau berjalan akan tampak bahwa ia hambatan penglihatan.

Dalam segi indra, umumnya anak hambatan penglihatan menunjukkan kepekaan yang lebih baik ada indra penglihatan dan perabaan dibanding anak awas. Namun kepekaan tersebut tidak diperolehnya secara otomatis , melainkan melalui proses latihan.

b) Aspek Motorik/Perilaku

Ditinjau dari aspek motorik/perilaku anak hambatan penglihatan menunjukkan karakteristik sebagai berikut:

❖ Gerakannya agak kaku dan kurang fleksibel

Oleh karena keterbatasan penglihatannya anak hambatan penglihatan tidak bebas  bergerak,  seperti halnya  anak awas. Dalam melakukan  aktivitas motorik, seperti jalan, berlari atau melompat,  cenderung  menampakkan gerakan yang kaku dan kurang fleksibel.

❖ Perilaku stereotipee (stereotypic behavior)

Sebagian anak hambatan penglihatan ada yang suka mengulang -ngulang gerakan  tertentu,  seperti  mengedip -ngedipkan  atau  menggosok-gosok matanya.  Perilaku  seperti  itu  disebut  perilaku  stereotipee  ( stereotypic behavior). Perilaku stereotipe lainnya adalah menepuk-nepuk tangan.

Disamping  karakteristik  di atas, berikut ini aka n dikemukakan  aktivitas- aktivitas motorik yang sering ditunjukkan oleh anak kurang lihat ( low vision).

❖ Selalu melihat suatu benda dengan memfokuskan pada titik -titik benda. Dengan mengerutkan dahi, ia mencoba melihat benda yang ada di sekitarnya.

❖ Memiringkan kepala apabila akan memulai melakukan suatu pekerjaan.

Hal itu dilakukan untuk mencoba menyesuaikan cahaya yang ada dan daya lihatnya.

❖ Sisa penglihatannya mampu mengikuti gerak benda. Apabila ada benda

bergerak di depannya, ia akan mengikuti arah gerak benda tersebut sampai benda tersebut tidak tampak lagi. 

Klasifikasi Hambatan Penglihatan

1) Klasifikasi berdasarkan Tingkat Ketajaman Penglihatan

a)  Hambatan  penglihatan  Ringan ( defective  Vision), yaitu mereka  yang mengalami kekurangan daya penglihatan ringan, seperti: rabun senja, juling, dan myopia. Kelompok ini dapat mengikuti program pendidikan biasa di sekolah-sekolah umum dan dapat menggunakan    media    tulisan    pika ukuran  12.  Kelompok   ini  juga  masih   bisa melakukan pekerjaan yang membutuhkan penglihatan dengan baik.

b)     Hambatan penglihatan    Setengah    Berat    ( partially    sighted/low vision),      yaitu      mereka     yang kehilangan  sebagian  penglihatannya. Seseorang dikatakan mempunyai penglihatan  low vision  atau kurang lihat apabila hambatan penglihatanannya berhubungan dengan kemamp u a n ny a dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Saluran utama dalam belajar mempergunakan penglihatan dan alat bantu baik  yang  direkomendasik a n oleh  dokter  maupun  bukan.  Media   huruf  yang dipergunakan sangat bervariasi tergantung pada sisa penglihatan dan alat bantu yang dipergunakannya. Latihan orientasi dan mobilitas diperlukan oleh siswa low vision untuk mempergunakan sisa penglihatannya.

c) Hambatan penglihatan Berat (totally blind), yaitu mereka yang sama sekali tidak dapat melihat atau kemampuan melihatnya  sangat parah, sehingga masyarakat pada umumnya menyebut buta. Seseorang   dikatakan   buta apabila     mempergunakan     kemampuan    perabaan    dan penglihatan sebagai    saluran    utama   dalam   belajar.   Orang seperti   ini   biasanya mempergunakan     huruf     Braille     sebagai     media    membaca    dan memerlukan latihan orientasi dan mobilitas.

2)   Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Sisa Penglihatan 

a) Buta Total (visus 0);

b) Masih memiliki persepsi cahaya (visus 2/200 sd 5/200); 

c) Masih memiliki persepsi objek (visus 5/200 sd 10/200); 

d) Kurang lihat (low vision/partially sighted).

Klasifikasi   berdasarkan  tingkat  sisa  penglihatan  ini  dapat  digunakan untuk menentukan bentuk pelayanan pendidikan.

3) Klasifikasi Berdasarkan waktu terjadinya, yaitu hambatan penglihatanan: 

a) Sebelum lahir/prenatal (sejak dalam kandungan)hambatan penglihatanan terjadi karena kasus ibu hamil yang mengidap penyakit menular ke janin, saat hamil terjatuh, keracunan makanan atau obat, usaha engguguran/aborsi, serangan virus misalnya taxoplasma, bisa juga karena herediter.

b) Sekitar saat kelahiran (natal)

Hambatan  penglihatanan  bisa  terjadi  pada  proses kelahiran  yang sulit sehingga menggunakan alat bantu kelahiran alat sedot, penjepit, dll, prose s kelahiran yang lama sehingga bayi terjepit dan kekurangan oksigen, terkena virus GO Blenorhoe (sipilis) yang dialami oleh ibu.

c) Masa balita

d) Usia Sekolah; 

e) Masa Remaja; 

f)   Masa Dewasa; 

g) Masa Tua

Klasifikasi   berdasarkan  waktu  terjadinya  ini  dapat  digunakan   untuk menentukan bentuk penanganan psikologis hambatan penglihatanan.

4) Klasifikasi Berdasarkan lapangan penglihatan, terdapat tiga kategori yaitu memiliki kemampuan melihat:

a) Ke samping (peripheral vision);

b) Ke tengah(central vision);

c)  Cerobong  (tunnel vision).

Klasifikasi ini menentukan bentuk pelayanan pendidikan.

5)   Klasifikasi Pedagogis

a) Anak hambatan penglihatan pra sekolah, yaitu anak -anak yang berusia kurang dari lima tahun atau disebut anak hambatan penglihatan balita;

b) Anak  hambatan penglihatan  usia  sekolah,  yaitu  anak   hambatan

penglihatan    yang    berusia    enam   tahun sampai delapan belas tahun yang mengikuti pendidikan formal;

c) Anak hambatan penglihatan yang berusia lima belas tahun ke atas yang sudah atau belum pernah    mengikuti    pendidikan   formal   serta   belum bekerja.    Mereka    memerlukan pendidikan   untuk   mempersiapkan   diri agar  kelak  dapat  bekerja,  mandiri,  dan bertanggungjawab. 

Identifikasi dan Asesmen Anak Dengan Hambatan Penglihatan

a. Pengertian

Istilah identifikasi secara harfiah dapat diartikan menemukan atau menemukenali. Identifkasi anak dengan hambatan penglihatan dimaksudkan merupakan suatu usaha seseorang (orang tua, dokter mata, guru, maupun tenaga  kependidikan  lainnya)  untuk mengetahui  apakah  seorang  anak mengalami kelainan/penyimpangan atau hambatan dalam penglihatan dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya (anak-anak normal).

Dalam istilah sehari-hari, identifikasi sering disebut dengan istilah penjaringan, sedangkan asesmen disebut dengan istilah penyaringan. Kegiatan identifikasi sifatnya masih sederhana dan tujuannya lebih ditekankan pada menemukan (secara kasar) apakah seorang anak tergolong anak yang mengalami gangguan penglihatan/tunanetra atau bukan. Maka biasanya identifikasi dapat dilakukan oleh orang -orang yang dekat (sering berhubungan/bergaul) dengan anak, seperti orang tuanya, pengasuhnya, gurunya,  dan pihak-pihak  yang terkait dengannya.  Sedangkan  langkah berikutnya, yang sering disebut asesmen, bila diperlukan dapat dilakukan oleh tenaga profesional, seperti dokter mata, psikolog, neurolog, orthopedagog, dan lain-lain. Jadi tahap ini merupakan tahap awal untuk menemukenali anak-anak yang diduga mengalami gangguan penglihatan atau tunanetra.

b. Tujuan

Tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi yang lengkap tentang  identitas dan data diri anak, orang tua, dan untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami kelainan penglihatan dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya yang awas/normal. Mengetahui kemampuan melihat yang masih dimiliki, mengetahui penyebab ketunanetraan, dll. Hasil identifikasi ini  akan dijadikan data untuk dilanjutkan pada asesmen yang akan  dijadikan  dasar  untuk  penyusunan  program pembelajaran  sesuai dengan kondisi penglihatannya.

c. Sasaran Identifikasi 

Secara  umum  sasaran  identifikasi  anak dengan  hambatan  penglihatan adalah seluruh anak usia pra-sekolah dan usia sekolah dasar . Sedang k an secara khusus (operasional), sasaran identifikasi anak dengan hambatan penglihatan adalah:

Anak-anak  usia sekolah  yang terdaftar  di rumah sakit mata sebagai pasien yang mengalami gangguan penglihatan;

•  Anak yang sudah bersekolah di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;

•   Anak yang akan masuk ke Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;

Anak yang belum/tidak bersekolah karena orangtuanya merasa anakn y a tergolong anak yang mengalami ketunanetraan sedangkan lokasi SLB jauh   dari  tempat   tinggalnya;   sementara   itu,  semula  SD  terdekat belum/tidak mau menerimanya;

•  Anak yang drop-out Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah karena factor akademik.

a) Petugas Identifikasi

Untuk mengidentifikasi seorang anak apakah tergolong anak dengan hambatan penglihatan atau bukan, dapat dilakukan oleh: Guru kelas, Orang tua anak; dan/atau Tenaga professional terkait

b) Instrumen Identifikasi

Secara sederhana ada beberapa aspek informasi yang perlu mendapatkan perhatian dalam pelaksanaan identifikasi. Contoh alat identifikasi sederhana untuk membantu guru dan orang tua dalam rangka menemukenali anak dengan hambatan penglihatan antara lain sebagai berikut :

•  Instrumen untuk mengumpulkan data/Informasi riwayat perkembangan anak;

•  Instrumen untuk mengumpulkan data/informasi orangtua anak/wali siswa;

•  Instrumen untuk mengumpulkan data/informasi profil kondisi penglihatan anak.

d. Gejala-gejala gangguan Penglihatan

1) Gejala-gejala buta total:

❖ Corena tidak bening atau tidak rata;

❖ Cairan aquous keruh;

❖ Pupil tidak dapat berakomodasi secara normal;

❖ Iris tidak bekerja sesuai fungsinya;

❖ Lensa keruh dan tidak berakomodasi;

❖ Cairan vitreous tidak bening;

❖ Retina macula tidak sensitive terhadap cahaya;

❖ Bola mata terlalu besar atau terlalu kecil;

❖ Bola mata tertutup selaput putih;

❖ Syaraf mata tidak berfungsi normal;

❖ Otot-otot mata tidak berakomodasi secara normal;

2) Gejala-gejala Low Vision:

❖ Mencoba “melihat” apa yang didekatnya;

❖ Mencoba “melihat titik-titik;

❖ Dapat bergerak dengan percaya diri di lingkungannya;

❖ Orientasi “visual” apabila ada rangsang cahaya pada mata;

❖ Menunjukkan respon terhadap adanya cahaya dan warna;

❖ Melirikkan mata terhadap sesuatu yang kena sinar;

❖ Dapat menghindari rintangan-rintangan/benda yang besar;

❖ Menunjukkan perhatian kepada sesuatu yang bergerak di sekitarnya;

❖ Terkejut apabila sesuatu yang mendekat secara tiba-tiba;

❖ Memiringkan  kepala  secara  tidak  wajar  apabila  melakukan  suatu pekerjaan;

❖ Menunjukkan  tanda-tanda  dapat  mengikuti sesuatu  dengan penglihatannya;

❖ Menunjukkan respon terhadap bayangan;

❖ Mencari sesuatu yang jatuh menggunakan penglihatannya;

❖ Menjadi penuntun bagi teman-temannya yang buta (totally blind);

❖ Tertarik terhadap permainan yang menggunakan penglihatan;

❖ Menggerak-gerakkan tangannya apabila sedang berbicara

3)   Asesmen Ketunanetraan 

a. Pengukuran Visus

Pengukuran  dilakukan  menggunakan  Snelen Chart.  

Visus  normal

adalah  20/20  (ukuran feet), atau 6/6 (dengan satuan ukuran meter). Penghitungan Visus menggunakan rumus: V = d/D.

(V = visus atau ketajaman penglihatan; d = jarak antara kartu Snelen dengan mata orang yang sedang diukur; D = jarak baca penglihatan normal. )

1) Pengukuran lapang pandang/penglihatan

Lapang  pandang  yang  normal  adalah  1800   yang  diukur  dengan  alat campimetri.

2) Pengukuran Penglihatan Warna

Buta warna yang paling sering terjadi adalah terhadap warna merah d an atau hijau dan biasanya menurun pada anak laki -laki. Meskipun demikian buta warna juga terjadi terhadap warna biru dan atau kuning. Ada beberapa tes yang dapat digunakan untuk melakukan tes buta warna akan tetapi tes yang paling dikenal oleh guru adalah tes warna Ishihara. Tes ini berupa kartu yang berisi bercak-bercak warna yang membentuk huruf atau angka tertentu yang dilatarbelakangi  oleh warna-warna  lain sebagai pengecoh. Testee diminta untuk melihat kartu tersebut dan mengatakan apakah melihat angka atau tidak pada kartu tersebut. Jika testee mengalami buta warna maka dia tidak melihat atau angka huruf pada kartu.

4) Asesmen Kemampuan Akademik Anak dengan hambatan penglihatan

Assesmen   akademik  adalah  penilaian  yang  dilakukan  terhadap   diri anak     dalam     upaya mendapatkan gambaran yang jelas dan lengkap tentang  kemampuan  akademik anak sebagai anggota keluarga.  Apakah kemampuan akademik ini sesuai dengan usianya? Hal ini akan membantu dan  dipakai  pertimbangan  dalam  penempata n  anak  tersebut .   oleh karena  itu asesmen ini dimaksudkan untuk menentukan penempatan anak pada jenjang atau program pendidikan    dan    rehabilitasi    yang    tepat, sehingga      anak     dapat     mempelajari     hal-hal     baru berdasarkan kemampuan akademik yang dimiliki. Asesmen ini dapat dilakukan dengan tes dan non tes (wawancara). 

5)   Asesmen Keterampilan Anak dengan hambatan penglihatan

Asesmen keterampilan adalah penilaian yang dilakukan terhadap diri anak dalam upaya mendapatkan  gambaran  ya ng  jelas  tentang  keterampilan yang dimilikinya,    terutama keterampilan kegiatan kehidupan sehari -hari. Asesmen ini dimaksudkan agar guru dapat melatih dan mengajarkan keterampilan-keterampilan   baru  berdasarkan  keterampilan  yang  telah dimiliki dan dikuasai serta untuk mengoreksi dan mengevaluasi keterampilan-keterampilan yang dikembangkan anak sendiri secara kurang tepat.   Asesmen ini dapat dilakukan dengan tes perbuatan dan atau observasi.

Dampak anak dengan Hambatan Penglihatan pada Fungsi Kognitif

Anak dengan hambatan penglihatan memiliki dampak terhadap belajar , perkembangan, ketreampilan sosial dan perilakunya. Kemampuan kognitif berbeda dengan anak lainnya. Kemampuan berpindah tempat mereka amat terbatas sehingga pengalaman sebagai faktor pembentuk kemampuan kognitif mereka juga sangat terbatas, Didi Tarsidi dalam tulisannya  yang berjudul “Dampak Ketunanetraan terhadap Fungsi Kognitif Anak” mengemukakan bahwa individu tunanetra menyandang kelainan dalam struktur fisiologisnya, dan mereka harus menggantikan fungsi indera penglihatan dengan indera-indera lainnya untuk mempersepsi lingkunganya. Selanjutnya beliau Banyak di antara mereka tidak pernah mempunyai pengalaman  visual, sehingga  konsepsi mereka tentang dunia ini sejauh tertentu mungkin berbeda dari konsepsi orang awas pada umumnya. Satu perbedaan penting lainnya antara perabaan dan penglihatan adalah bahwa perabaan menuntut jauh lebih banyak upaya sadar untuk memfungsikannya. Sebagaimana diamati oleh Lowenfeld (Hallahan & Kauffman, 1991 ), indera perabaan pada umumnya hanya berfungsi bila aktif dipergunakan untuk keperluan kognisi, sedangkan penglihatan aktif dan berfungsi selama mata terbuka. Oleh karena itu, untuk memperkaya kognisinya, anak tunanetra harus sering didorong untuk mempergunakan indera perabaannya untuk keperluan kognisi. Akan tetapi, di dalam masyarakat kita, di mana obyek - obyek tertentu ditabukan untuk diraba, dorongan untuk mempergunakan 

indera perabaan itu sering harus dibatasi demi menghindari perilaku ya ng bertentangan dengan norma-norma sosial. Lebih jauh belaiu mengatakan Seberapa besar perbedaannya dari anak awas, perkembangan konsep anak tunanetra itu akan sangat tergantung pada dua faktor, yaitu tingkat ketunanetraannya  dan  usia  terjadinya  ketunanetraan  itu  (Hallahan  & Kauffman,  1991).  Anak  yang  berkesempatan  memperoleh  pengalaman visual sebelum menjadi tunanetra, sejauh tertentu akan dapat memanfaatkannya  untuk  memahami  konsep -konsep  baru.  Anak  yang tunanetra sejak lahir pada umumnya akan lebih berga ntung pada indera taktualnya untuk belajar tentang lingkungannya daripada mereka yang ketunanetraannya terjadi kemudian. Demikian pula, anak yang buta total akan lebih bergantung pada indera taktual untuk pengembangan konsepnya daripada mereka yang masih memiliki sisa penglihatan yang fungsional ( low vision).

Progsus Bagi Anak dengan Hambatan Penglihatan

Program kebutuhan khusus merupakan suatu layanan intervensi dan/atau pengembangan yang dilakukan sebagai bentuk kompensasi atau penguatan akibat kelainan yang dialami anak berkebutuhan khusus dengan tujuan meminimalkan hambatan dan meningkatan akses dalam mengikuti  pendidikan  dan pembelajaran  yang lebih optimal. Program kebutuhan khusus bukan mata pelajaran, tetapi wajib diberikan sesuai kebutuhan peserta didik.

Program kebutuhan  khusus bagi anak dengan hambatan penglihatan yaitu Pengembangan Orientasi, Mobilitas, Sosial dan Komunikasi (POMSK) .

a. Pengembangan Orientasi dan Mobilitas

Pengembangan kemampuan orientasi mobilitas adalah merupakan pengembangan kemampuan, kesiapan dan kemampuan bergerak dari satu posisi/tempat ke satu posisi/tempat lain yang dikehendaki dengan baik, tepat, efektif, dan selamat. Melalui Pengembangan Orientasi Mobilitas, Peserta didik diharapkan mampu memasuki setiap lingkungan yang dikenal maupun tidak dikenal dengan efektif, aman, dan baik, tanpa banyak meminta bantuan orang lain.

b. Pengembangan Sosial

Pengembangan Kemampuan sosial merupakan pengembangan kemampuan  membina  hubungan  antar  manusia  dan lingkungannya serta perilaku  manusia dalam melaksanakan aktivitasnya sehari-hari secara mandiri tanpa banyak dibantu orang lain. Tujuan Pengembangan sosial ini adalah agar peserta didik mampu berinteraksi, beradaptasi dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan pribadi dan sosial di lingk ungan keluarga di sekolah dan masyarakat luas.

c. Pengembangan Komunikasi

Pengembangan komunikasi bagi peserta didik tunanetra bertujuan agar mereka mampu bersikap baik dan benar dalam berkomunikasi lisan, tulisan dan  isyarat  secara  ekspresif  menyenangkan  baik  menggunakan  alat komunikasi manual maupun elektronik.



Sumber Utama :   Marja. 2019. Pendalaman Materi : Pendidkan Khusus (PKh)/Pendidikan Luar Biasa (PLB) Modul 2 : Pendidikan Bagi Anak Dengan Hambatan Penglihatan, Kemendikbud.

Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar