Kelebihan dan Kekurangan Pendidikan Segregasi serta Pelaksanaan Pendidikan Segregasi di Indonesia


Kelebihan dan Kekurangan Pendidikan Segregasi  serta Pelaksanaan Pendidikan Segregasi di Indonesia

Kelebihan dan Kekurangan Pendidikan Segregasi

Kelebihan:

a)  Ada rasa ketenangan pada anak luar biasa, karena keadaan yang homogen

b)   Komunikasi yang mudah dan lancar.

c)  Metode pembelajaran yang khusus sesuai dengan kondisi dan kemampuan anak.

d)   Guru dengan latar belakang pendidikan luar biasa/pendidikan khusus

e)   Mudahnya kerjasama dengan multidisipliner.

f)    Sarana dan prasarana yang sesuai.

g)  Merasa diakui kesamaan haknya dengan anak normal terutama dalam memperoleh pendidikan.

h)  Dapat mengembangakan bakat ,minta dan kemampuan secara optimal

i)     Lebih banyak mengenal kehidupan orang normal.

j)  Mempunyai kesempatan untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi.

k)    Harga diri anak luar biasa meningkat.

l)     Dapat menumbuhkan motipasi dalam belajar.

m)   Guru lebih mudah untuk merencanakan dan melakukan pembelajaran karena siswanya homogen.

n)   Siswa tidak menjadi bahan ejekan dari siswa lain yang normal.

Kekurangan :

a)  Perkembangan sosial dan emosi anak kurang optimal, karena sosialisasi terbatas

b)   Penyelenggaraan pendidikan yang relative mahal 

c)    Bebas bersaing

d)   Egoistik, menumbuhkan kesenjangan kualitas pendidikan

e)   Efektif dan efisien untuk kepentingan individu 

f)    Menumbuhkan disintegrasi

g)   Tidak terikat

h)   Mahal dan butuh fasilitas banyak spesifik dan spesialis 

i)     Memperlemah persatuan nasional

j)     Potensial untuk pengembangan otonomi.

Pelaksanaan Pendidikan Segregasi di Indonesia

Pelaksanaan layanan pendidikan segregasi yang disebut sekolah luar biasa atau sekolah khusus, pada dasarnya dikembangkan berdasarkan pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No.2 tahun 1989. Bentuk pelaksanaannya diatur melalui pasal-pasal dari Peraturan Pemerintah  (PP)    No.  72/91.  Pasal  4  menyebutkan  bahwa  Satuan

Pendidikan Dasar berupa: Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) , Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB), serta Satuan Pendidikan Menengah  adalah Sekolah  Menengah  Luar Biasa (SMLB) . Berkaitan dengan lamanya pendidikan dari tiap -tiap satuan pendidikan luar biasa sesuai dengan PP No.. 72 tahun 1991 pasal 5 dan pasal 6, dijelaskan bahwa TKLB, SDLB, SLTPLB, dan SMLB terdiri dari berbagai jenis sesuai dengan hambatan atau kelainan masing -masng. Hal ini diperlukan u n t u k memudahkan program pembelajaran.

Jenis-jenis satuan pendidikan luar biasa yang dimaksud, terdiri dari :  SLB A,  SLB  B,SLB  C,  SLB D, SLB E dan SLB Tunaganda  (G). Adapun banyaknya siswa dalam satu kelas dibatasi antara 5 sampai 10 siswa. Kelas yang kecil jumlahnya dikarenakan setiap siswa memerlukan program perorangan selain program bersama. Mengacu pada  bentuk - bentuk    layanan pendidikan khusus, ada dua jenis pelaksanaan pendidikan segregasi di Indonesia yaitu Sekolah Khusus Harian (Sp e c ia l Day  School)  dan  Sekolah  Khusus  Berasrama  ( Residential  School) Berdasarkan PP no. 72 tahun 1991, jenjang dan lama pendidik a n d a lam satuan PLB sama dengan sekolah biasa. Kurikulum yang dipakai a d a lah kurikulum pendidikan khusus 2013,   dan juga kurikulum biasa dengan penyesuaian  hambatan  yang  dimiliki peserta  didik dengan  kebtuhan khusus.

Sesuai dengan tuntutan masyarakat, perubahan kurik ulum telah terjadi beberapa kali yang akhirnya memunculkan Undang -Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang -undang tersebut Pasal 2 dan pasal 4 dijelaskan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, social, dan atau memililk potensi kecerdasan dan bakat istimewa. 

Adapun tujuan pendidika khusus mengacu pada pada tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Implementasi Undang -undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang  Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan dalam sejumlah peraturan  antara lain PP Nomor  19 Tahun 2005 tentang  Standar  Nasional pendidikan. Peraturan Pemerintah (PP) ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan,  standar  sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.

Pada tanggal 23 Mei 2006, menteri Pendidikan Nasional menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentan Standar Isi (SI) Nomor 22 Tahun 2006 dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) Nomor 23 Tahun 2006 untuk Satuan Pendidikan  Dasar  dan  Menengah.  Kurikulum  ini  dikenal dengan  Kurikulum Tingkat Satuan  Pendidikan  Dasar  dan Menengah  (KTSP). Untuk memenuhi tuntutan kebutuhan bagi pendidikan khusus, dikeluarkanlah Struktur Kurikulum Satuan Pendidikan Khusus, yang dikembangkan dengan memperhatikan fa k t o r - faktor sebagai berikut: Kurikulum untuk peserta didik berkebutuhan khusus tanpa disertai  dengan  kemampuan  intelektual  di  bawah  rata -rata,  menggunakan sebutan kurikulum SDLBA, B, D, E; SMPLBA, B, D, E; dan SMALBA, B, D, E (A = Tunanetra, B = Tunarungu, D = Tunadaksa ringan, E = Tunalaras). Ku r ik u lum untuk peserta didik berkebutuhan khusus yang disertai dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata, menggunakan sebutan Kurikulum SDLBC, C1, D1, G; SMPBC, C1, D1, G; SMALBC, C1, D1, G; (C = Tunagrahita ringan, C1 = Tunagrahita sedang, dan D1 = Tunadaksa sedang, G = Tunaganda).

Kurikulum satuan pendidikan SDLB A, B, D, E, relative sama dengan kurikulum Sekolah Dasar (SD)   umum. Pada satuan pendidikan SMPLB A, B, D, E dan SMALB A, B, D, E dirancang untuk peserta didik yang tidak memungkinkan dan/atau tidak berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang pendidikan tinggi. Proporsi muatan isi kurikulum satuan pendi dikan SMPLB A, B, D,  E,  terdiri  atas  60  %/70%  aspek  akademik  dan  40%/30%  berisi  aspek keterampilan. Muatan isi kurikulum satuan pendidikan SMALB A, B, D, E terdiri atas 40%/50% aspek akademik dan 60%/50% aspek keterampilan vokasional. Kurikulum  satuan  pendidikan  SDLB,  SMPLB,  SMALB  C,  C1,  D1,  dan  G, dirancang sangat sederhana sesuai dengan batas -batas kemampuan peserta didik  dan  sifatnya  lebih  individual.  

Pembelajaran  untuk  satuan  pendidikan SDLB,SMPLB,  dan  SMALB  C,  C1,  D1,  dan  G,  menggunakan  pendekatan tematik. Standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) mata pelajaran umum SDLB, SMPLB, SMALB A, B, D, dan E mengacu kepada SK dan KD sekolah umum yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan khusus paserta didik, dikembangkan oleh BNSP, sedangkan SK dan KD untuk mata pelajaran program khusus, dan keterampilan dikembangkan oleh satuan pendidikan khusus dengan memperhatikan jenjang dan jenis satuan pendidik a n . Pengembangan SK dan KD untuk semua mata pelajaran pada SDLB, SMPLB, dan SMALB C, C1, D1, G diserahkan kepada satuan pendidikan khusus yang bersangkutan dengan mempertimbangkan tingkat dan jenis satuan pendidik an . Struktur kurikulum pada satuan pendidikan khusus SDLB dan SMPLB mengacu pada struktur kurikulum SD dan SMP dengan penambahan program khusus sesuai jenis kelainan, dengan alokasi waktu 2 jam per minggu. Untuk jenjang SMALB, program khusus bersifat kasuistik sesuai dengan kondisi dan kebutuhan peserta  didik tertentu  dan tidak dihitung sebagai beban belajar. Penjelasan tentang kurikulum pendidikan khusus dijelaskan dalam Permendikbud RI No. 157 tahun  2014.  Dalam  permendikbud  tersebut  di jelasakan  bahwa    Kurikulum Pendidikan Khusus adalah kurikulum bagi peserta didik berkelainan atau berkebutuhan khusus yang mengikuti pendidikan pada satuan pendidikan khusus atau satuan pendidikan reguler di kelas khusus.

Penambahan program khusus disesuaikan dengan jenis hambatan peserta didik meliputi sebagai berikut; (a) Orientasi dan Mobilitas untuk peserta didik Tunanetra (b) Bina Komunikasi, Persepsi Bunyi d an Irama untuk peserta didik Tunarungu (c) Bina Diri untuk peserta didik Tunagrahita Ringan dan Sed a ng ( d ) Bina Gerak untuk peserta didik Tunadaksa Ringan (e) Bina Pribadi dan Sosial untuk peserta didik tunalaras (f) Bina Diri dan Bina Gerak untuk peserta didik Tunadaksa  Sedang  dan Tunaganda.  Adapun  begiatan  pembelajaran  dapat dilakukan  secara  indinidual,  kelompok,  dan  klasikal. Sistem pengajarannya mengarah pada individualisasi pengajaran (individualized instruction ) . Se b e lu m individualisasi pengajaran dilaksanakan, terlebih dahulu dibuat rencana pengajaran yang diindividualisasikan (Individualized Education Plan). Rencana pengajaran yang diindividualisasikan harus memuat tujuan pembelajaran baik tujuan jangka pendek maupun jangka panjang.

Selain berisi tujuan, rencana  program harus memuat prosedur dan layanan khusus yang disediakan bagi anak, disamping evaluasi keberhasilan program. Program ini dikembangkan dan diperbaharui setiap tahun. Rencana program dibuat oleh team multidisiplin. Para professional yang terlibat selain ortopedagog yaitu; psikolog, pediatris, optalmolog, neurolog, fisiatris, ortopedis, occupational therapist, akhli terapi bicara, dan psikiater anak. Sebelum IEP dibuat, terlebih dahulu  dilakukan  assessmen  yang  lengkap  berkaitan  dengan  pend idikan. 

Assessmen  berkaitan  dengan  tingkat  kemampuan  kognitif (IQ), emosi, dan adaptasi social bagi semua anak. Disamping hal tersebut assessmen terhadap hal lain masih diperlukan,  sesuai dengan  hambatan  anak. Sebagai contoh, assessmen untuk anak tunadaksa dilakukan untuk melihat kemampuan fisik d a n motoriknya.  Untuk anak tunanetra, selain hal yang umum juga yang khusus berkaitan dengan sisa penglihatannya. Begitu juga anak tunarungu, hal yang ingin diketahui berkaitan dengan kemampuan mendengarnya. Hal yang sama juga dilakukan pada mereka dengan kelainan yang lain.

IEP merupakan rencana pembelajaran yang diindividualkan, dibuat oleh team multi disiplin, dengan assessmen sebelumnya sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak. Berkaitan dengan lingkungan belajar , walaupun layanan ini sifatnya segregasi, namun telah menjadi bahan pemikiran bahwa lingkungan yang terbatas harus diminimalisir (least restrictive environment). Hal ini mengandung pengertian bahwa, jika anak mampu menerima program pembelajaran pada kelas biasa secara efektif maka anak harus ditempatkan di kelas biasa.



Sumber Utama :  Indra Jaya, M.Pd. dan  Dr. Indina Tarjiah, M.Pd 2019.  Modul PPG Progam Studi PLB. Kemendikbud

Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar