Sejarah Pendidikan Khusus


Sejarah Pendidikan Khusus

Masih ingatkah Anda, bagaimana perkembangan sejarah layanan pendidikan terhadap anak berkebutuhan khusus?

Perkembangan sejarah pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang disebut Pendidikan  Luar Biasa (sebagai terjemahan dari Special Education), selama beberapa dekade telah mengalami banyak perubahan. Perubahan itu dipengaruhi oleh sikap dan kesadaran masya rakat terhadap anak berkebu tu h an khusus dan pendidikanya, metodologi dan perubahan konsep yang digunakan.

Sejarah layanan pendidikan terhadap anak berkebutuhan khusus dapat dibagi menjadi tiga masa atau periode.

1)   Masa Peradaban Kuno

Pada masyarakat timur, meskipun filsafat dan kepercayaan yang berlaku mengajarkan mereka untuk menghargai sesama, dalam praktiknya, ajaran ini tidak berlaku bagi penyandang cacat (Lynch (Ian Lewis, 1988). Masyarakat Mesir kuno menganggap tabu untuk membunuh bayi, tetapi bayi yan g lahir cacat ternyata dibunuh. Masyarakat Babilonia menerapkan hukum Hamurabi pada tahun  2.500  SM yang  melindungi  wanita  dan  anak -anak, tetapi tidak ada petunjuk bahwa penyandang cacat termasuk di dalamnya. 

Agama -agama besar di dunia muncul pertama kali pada masyarakat timur, ajaran agama-agama tersebut menganjurkan kepedulian dan kasih sayang bagi umat yang kurang beruntung. Tetapi dalam praktiknya, kecacatan sering dianggap sebagai a k ib a t dari dosa. Kecacatan hanya dapat ditangani melalui keyakinan dan i man, dan jika tidak dapat disembuhkan, penyandang cacat masih dianggap dirasuki roh jahat  dan  belum  mempunyai  iman  yang  kuat.  Ini  terjadi  pada  abad -abad permulaanMasyarakat Yunani, Romawi, dan Sparta mengagungkan kebu g ar a n jasmani, kekuatan, kecerdasan, kegagahan, kecantikan, dan keberanian. 

Hal ini mendorong tindakan pembinasaan penyandang cacat, karena dianggap menjadi kendala dalam pembentukan bangsa yang lebih kuat dan sempurna (Schreerenberger, 1982). Di Sparta, ada dewan yang bertugas memerik s a b a y i yang lahir. Jika ditemukan tanda-tanda kecacatan, bayi dilemparkan ke jurang yang dalam atau dibiarkan mati di huntan belantara. Pada masyarakat Yunani dan Romawi juga banyak ditemukan orang buta, karena pembutaan ternyata merupakan salah satu hukuman bagi narapidana. Pada masa ini, sebenarnya terjadi  kemajuan  luar  biasa  dalam  bidang  hukum,  dan  tarnpaknya  para pemikirlah   yang   mendorong   praktik-praktik   perlakuan   negatif   terhadap penyandang cacat. 

Penyandang cacat dianggap sebagai penjahat, dan banya k juga penyandang cacat mental yang dijadikan hiburan/pelawak pada keluarga kaya yang dianggap sebagai pelopor pelayanan sosial bagi penyandan g cacat adalah sistem bentuan sosial di Athena yang diberlakukan oleh tokoh pembaharu,  Solon,  yang  hidup  antara  639 -559  SM.  Sistem  ini mula-mula disediakan bagi para prajurit yang cacat karena oerang, tetapi jangkauannya kemudian   diperluas   bagi  penyandang   cacat   lain,  termasuk   anak -anak. Pelayanan yang diberikan terbatas pada pemberian makanan, pakaian, dan tempat tinggal (Lynch dan Lewis, 1988).

2)   Masa Abad Pertengahan

Abad pertengahan merupakan abad yang menyedihkan bagi penyandang cacat, meskipun hak untuk hidup dsudah diakui oleh masyarakat. Banyak penyanda n g cacat yang menjadi peminta-minta atau pengamen, baik secara perorangan atau secara berkelompok. Banyak di antara mereka yang sebenarnya pemusik y a n g hebat, tetapi profesi mereka lebih disebabkan oleh kecacatannya daripada bakat musiknya (Lowenfeld, 1975).

Pada masa Renaissance, juga banyak penyandang cacat mental, gangguan emosi, cacat fisik, atau epilepsi yang dijadikan penghibur / pelawak oleh raja. Ada lagi yang dipelihara oleh ilmuwan sebagai peramal atau pemberi p e t u n juk . Isyarat atau katakata  penyandang  cacat dianggap dapat memberi petunjuk tentang alam, seperti bintang, bulan, matahari dan sebagainya.

Masa yang paling menyedihkan bagi penyandang cacat adalah masa Reformasi yang lebih menekankan  pada peran agama dan ilmu gaib (Kanner, 1964). Lambatnya reaksi penyandang cacat mental, kejangnya penderita epilepsi, at a u diamnya penyandang tuna wicara dianggap sebagai tanda-tanda kesurupan ro h halus. Mereka dianggap bukan (berjiwa) manusia, oleh karenanya tidak b e r ha k menikmati kesejahteraan seperti halnya manusia normal. 

Bertolak belakang  dengan  gambaran  di atas, tampaknya , mulai ada upaya memperbaiki kehidupan para penyandang cacat pada akhir abad p e r te n ga h an (Lowenfeld,  1975;  Moores,  1978).  Juan  Luis Nives, seorang  humanis dan pembaharu  berkebangasaan  Spanyol yang hidup antara tahun 1492 -1540, secara persuasif menulis tentang jenis pekerjaan yang dapat dilakukan oleh para tuna netra. Pada tahun 1620, juga di Spanyol, Juan Bonet menerbitkan buku pertama  tentang  pendidikan  bagi anak tuna rungu. Pada waktu yang hampir bersamaan, George Philip Harsdofler (Jerman) dan Fransesco Lane- Terri (Italia) mengembangkan cara membuat huruf sehingga dapat dib a c a o le h para tuna netra, yaitu dengan menggunakan lilin atau mengganti alfabet dengan titik dan sudut.

3)   Masa Abad ke-18 sampai Abad 20

Abad   XVIII   ditandai   dengan   perluasan   bentuk   pelay anan   sosial   bagi penyandang cacat dari upaya perawatan menjadi layanan pendidikan. Meskipun telah adabeberapa upaya mendidik penyandang cacat sejak abad XVI, pendidikan formal bagi ALB baru muncul pertama kali pada abad XVIII (Irvine,1988). Berikut akan– diuraikan perkembangan layanan pendidikan bagi setiap jenis kecacatan berdasarkan klasifikasi yang dibuat oleh Irvine. 

a) Pendidikan bagi Anak Tuna Rungu

Pada tahun 1555, seorang pendeta berkebangsaan Spanyol bernama Pedro Ponce de Leon mencoba mengajar memba ca, menulis, berbicara, berhitung, dan menguasaai sejumlah mata pelajaran akademik kepada sekelompok anak tuli. Rintisan ini kemudian diikuti dengan penerbitan beberapa buku tentang pendidikan untuk anak tuli oleh Juan Pablo Bonet (Spanyol) pada tahun 1620 , berisi tentang berbagai metode yang dikembangkan dari rintisan de Leon ; John Buwler (Inggris) pada tahun 1644; dan George Dalgarno (Inggris) pada tahun 1680 berjudul Didasopholus: The Deaf and Dumb Man’s Tutor. Yang disebutkan terakhir ini dianggap sebagai buku rintisan yang paling berpengaruh, berisi garis besar metode pembelajaran yang sampai sekarang secara luas dipakai oleh para pendidik, dengan penekanan bahwa penyandang tuna rungu mempunyai kapasitas belajar sama dengan mereka yang dapat mendengar.

Sekolah  formal bagi anak tuna rungu yang pertama di Inggris didirikan oleh Thomas Braidwood di Eidenburgh pada tahun 1767. Metode mengajar yang dipakai  merupakan  gabungan  antara oral dan manual, yang berarti bahwa kecuali belajar bahasa isyarat, para murid juga belajar abjad biasa dan artikulasi. Sekolah  ini memang  berhasil, dan pada tahun 1783, sekolah ini pindah ke Hackney, sebuah kota kecil dekat London, untuk dapat menampung lebih banyak murid dari kota London. Tidak lama kemudian, Joseph Watson, kemena kan d a n asisten Braidwood,  mendirikan  sekolah  bagi anak tuna rungu dari keluarga miskin yang pertama di Inggris, terletak di kota London.

Pada  waktu  yang  hampir  bersamaan,  Samuel  Heinche  (Jerman) mengembangkan metode pembelajaran yang sepenuhnya oral, mene kankan pengembangan kemampuan berbicara dan membaca bibir. Metode ini kemudia n dikembangkan lebih lanjut oleh Friedrich Moritz Hill yang kemudian dipakai di seluruh dunia.

Di Perancis, Abbe Charles Michel de 1’Epee dan Abbe RochAmbroise Sicard mengembangkan bahasa isyarat modern. Sistem pembelajaran menggunakan gagasan Jacob Pereire yang menekankan penggunaan isyarat dan alfabet bias a untuk berkomunikasi dan pelatihan indra penglihatan dan peraba. Ide inilah yan g dianggap sebagai perintis pelatihan indera sebagai bagian tak terpisahkan dalam PLB.

Pendidikan bagi anak tuna rungu di Amerika Serikat bermula dari dikirimnya Thomas Hopkins Gallaudet untuk belajar pada Sicard di Perancis. Sekembali ke Amerika Serikat, bersama dengan seorang Perancis yang lain, yai tu Laurent Clerc, mereka mendirikan sekolah bagi anak tuna rungu yang pertama. Sejak itu, sekolah sejenis banyak bermunculan di negara tersebut, dan sebagai puncaknya adalah berdirinya satu perguruan tinggi khusus bagi penyandang tuna rungu pada  tahun  1864,  yang  sekarang  bernama  Gallaudet  University  di  kota 

Washington,   yang   mungkin   merupakan   satu -satunya   di   dunia.   Pada perkembangan selanjutnya, kelas khusus bagi anak tuna rungu juga banyak dibuka, dipelopori di Boston pada tahun 1869. Beberapa nama terkenal kemudian  bermunculan  di Amerika  Serikat karena sumbangannya  terhadap perkembangan layanan pendidikan bagi anak tuna rungu, antara lain Ale xa n d e r Graham Bell (penemu telepon dan tokoh pendidikan bagi anak tuna r u n gu ) d a n Hellen  Keller  (penyandang  tuna  netra  dan  tuna  rungu  yang  mengangkat eksistensi pendidikan bagi penyandang cacat).

Di samping kemajuan luar biasa dalam pendidikan bagi anak tuna rungu, satu hal yang sampai sekarang belum disepakati adalah apakah menggunakan sistem oral, manual, atau gabungan. Masih terdapat ketidaksepakatan di antara para pakar tentang tingkat keefektifan dari setiap sistem

b) Pendidikan bagi Anak Tuna Netra.

Sekolah bagi anak tuna netra yang pertama didirikan di Perancis pada tahun 1784 oleh Valentine Hauy,seorang dermawan. Sek oiah ini juga menerima mu r id yang awas, dengan tujuan untuk tidak mengisolasikan anak tuna netra. Keberhasilan Hauy ini mendorong dibukanya banyak sekolah sejenis di Eropa.

Sekolah  sejenis di Amerika  Serikat didirikan  pada tahun 1829 oleh Samuel Gridley Howe, bernama  the Perkins School for the Blind di kota Watertown Massachusetts.  Rintisan  ini kemudian  diikuti oleh pendirian sekolah -sekolah sejenis di berbagai negara bagian, dan sampai dengan akhir abad XIX, s e k olah berasrama merupakan satu-satunya sistem layanan pendidikan bagi anak tuna netra. Perkembangan baru terjadi pada awal XX dengan dibukanya kelas -kelas khusus bagi anak tuna netra di sekolah umum, dipelopori di Chicago pada tahun 1900.

Satu hal penting yang sangat berkaitan dengan layanan pendidika n bagi anak tuna  netra  adalah perkembangan  sistem baca -tulis. Hauy mengembangkan sistem huruf timbul untuk dibaca dengan menggunakan jari. Dengan s is t e m in i, Hauy menerbitkan buku-buku bagi anak tuna netra. Tetapi, huruf timbul tern y at a sangat sulit untuk dibaca, dan Louis Barille-lah, seorang tuna netra sejak lahir yang  menjadi  salah seorang  murid Hauy, yang kemudian  mengembangkan sistem bacatulis yang sekarang dipakai di seluruh dunia. Sampai bertahun-tahun, buku-buku braile harus ditulis dengan tangan. Adalah Frank H. Hall yang berjas a mengembangkan mesin ketik huruf braile pada tahun 1892 dan sistem percetakan dengan huruf braile pada tahun 1893.

c) Pendidikan bagi Anak Tuna Grahita

Pendidikan bagi anak tuna grahita bermula dari upaya seorang dokter berkebangasaan  Perancis bernama Jean Marc Garpart Itard untuk mendidik seorang anak berusia 11 tahun yang ditemukan di hutan. Ini tei ja d i p a d a a b a d XVIII. Usaha Itard ini tidak sepenuhnya berhasil, karena anak tersebut ternyata menyandang cacat mental. Metode yang dipakai kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul The Wild Boy of Aveyron yang terbit pada tahun 1801. Metode  tersebut  sampai sekarang  menjadi dasar  pembelajaran  anak cacat mental, setelah diterjemahkan secara rinci oleh muridnya yang bernama Edo uard Sequin dan terbit dalam sebuah buku ber j udul Idiocy and Its Treadmen t b y t h e Physiological Method pada tahun 1866. Beberapa konsep penting yang diuraikan dalam kedua buku tersebut antara lain:

a.  pendidikan anak secara utuh,

b.  pembelajaran secara individual,

c.  mulai pembelajaran sesuai dengan tingkat kemampuan anak, dan

d.  hubungan dekat antara murid dan guru.

Pada abad XX, konsep-konsep ini dikembangkan lebih lanjut oleh tokoh pendidik berkebangsaan  Italia,  Maria  Montessori,  yang  menekankan  pada pelatihan semua syaraf / indera. Ovide Dcroly (Belgia) mengembangkan kurikulum yang efektif bagi anak tuna grahita dan mendirikan sekolah yang kemudian menjadi 

model di seluruh Eropa. Konsep yang berasal dari Itard dan Sequin tersebut sekaramg juga banyak diterapkan dalam sistem pembelajaran modern.

Di  Amerika  Serikat,  sekolah  khusus  bagi  anak  tuna grahita  yang pertama didirikan pada tahun 1848 oleh Hervey Backus Wilbur di Barre Massachusetts; sedangkan kelas khusus bag] anak tuna grahita di sekolah umum yang pe r t a ma dibuka pada tahun 1896 di Providence, Rhode Island. Di Jerman, kelas khusus serupa dibuka pertama kali pada tahun 1859, yang kemudian disusul dengan beberapa sekolah lagi di seluruh Eropa.

Satu titik tolak yang kemudian memberi warna pada perkembangan layan an pendidikan bagi anak cacat mental terjadi juga pada awal abad XX, tepatnya tahun 1905, dengan dikembangkannya tes intelegensi oleh Alfred Binet yang bekerja di sekolah di Paris. Temuan ini memberikan sumbangan sangat besar sehingga penentuan cacat mental dapat dilakukan secara obyektif.

d) Pendidikan bagi Anak Tuna Laras

Penelesuran perkembangan layanan pendidikan bagi anak tuna laras mungkin termasuk yang paling sulit. Ada beberapa penyebabm antara lain:

a. kurangnya ketepatan (precision) dalam mengklasifikasi jenis kelainannya 

b. kesulitan dalam mendiagnosis, dan

c. kecenderungan  menempatkan anak-anak ini dengan jenis kecacatan lain.

Di Amerika Serikat, sekolah klrusus bagi anak-anak ini memang jarang ditemukan.  Kategori  gangguan  emosi  atau gangguan  perilaku  sendi ri baru dikenal pada akhir abad XIX, itupun oleh ilmu kedokteran jiwa dianggap seb ag a i bagian dari gangguan mental. Pada akhir abad XIX, beberapa sekolah umum mulai mengembangkan program bagi anak tuna laras, misalnya di New Haven pada tahun 1871 dan di New York pada tahun 1874. 

Penelitian  terhadap penyandang gangguan emosi tingkat berat baru dimulai pada tahun 1930-an, dan pada awalnya sekolah menolak tanggun g ja wa b a t a s pendidikan anak-anak ini. Tetapi dengan berkembangnya ilmu kedokteran jiwa sebagai cabang ilmu tersendiri, dunia pendidikan mulai mengembangkan program intervensi bagi anak tuna laras berdasarkan hasil diagnosa dan rekomendasi psikiatris.

e)   Pendidikan bagi Anak Tuna Daksa

Sama seperti halnya yang terjadi dengan tuna laras, layanan pendidikan kh u s u s bagi anak tuna daksa memang termasuk langka. Salah satu sebabnya adalah bahwa anak-anak tuna daksa sebenarnya tidak memerlukan layanan pendidik an tersendiri, yang diperlukan adalah layanan kesehatan atau bantuan mobilitas. Namun demikian, ada beberapa sekolah yang membuka kelas khusus bagi ana k tuna daksa, sperti di Chicago pada tahun 1899, di Providence pada tahun 1 9 0 8, dan di Baltimore pada tahun 1909. Jika sekarang ada sekolah khusus, s e k o la h - sekolah ini hanya menampung anak-anak yang menyandang tuna ganda yang tidak mungkin sama sekali berada di sekolah biasa, seperti anak -anak celebral palsy.

Dari gambaran singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa bentuk pendidikan bag i penyandang  cacat  yang  paling  tua adalah sekolah  khusus sepanjang  hari (institution). Tetapi menjelang berakhirnya abad XIX, bentuk kelas khusus tampaknya lebih banyak dibuka. Pemisahan secara penuh anak cacat dari a n a k normal mulai dipertanyakan.

Pada pertengahan abad XX, ada dua isu pokok yang berkaitan dengan PLB, yaitu isu mengenai penggunaan label dan isu tentang pendidikan terpisah (ke las khusus atau sekolah khusus) bagi anak cacat.

Seperti dikemukakan oleh Marozas dan May (1988), penggunaan label bagi anak cacat seperti tuna netra, tuna rungu, tuna grahita dsb, memang mempermudah  komunikasi antar tenaga profesi, berguna dalam mencari dana, dan me n d o ro n g toleransi atas kekurangan yang disandang oleh penyandang cacat. Di lain piha k , penggunaan label membawa dampak negatif pada anak (stigma, stereotipe), menimbulkan anggapan bahwa penyandang jenis kecacatan yang sama mempunyai karakteristik yang sama pula, banyak anak yang tidak dapat dimasukkan secara tepat dalam salah satu kategori, dan tidak mengg amb a r k an secara tepat kebutuhan akan layanan khusus setiap individu. Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah ini adalah dengan tidak menggunakan la b e l, tetapi cukup dengan deskripsi tentang kelemahan dan kelebihan anak. Daripa d a mengatakan  Anto tuna grahita,  misalnya,  lebih positif dikatakan Anto dapat menghitung sampai dengan 10, tetapi belum mampu menggunakan kamar mandi sendiri.

Isu  kedua  adalah  pendidikan  terpisah  bagi  anak  cacat. Berdasarkan  hasil penelitian,  pemisahan  anak  cacat (terutama  anak -anak bermasalah  belajar ringan dan sedang) dari temannya yang normal tidak membawa da mpak p o s it if , baik  secara  akademik  maupun  sosial. Anak cacat perlu diberi kesempatan berinteraksi dengan teman temannya yang normal, karena kelak mereka juga akan tinggal dalam masyarakat normal, tidak membentuk masyarakat khusus bagi penyandang cacat. Di samping itu, secara ekonomis, pendidikan terpisah jauh lebih mahal daripada pendidikan terpadu. Akhirnya, kemajuan bidang teknologi kependidikan telah memungkinkan guru menangani kelas yang heterogen.

Untuk mengatasi kedua masalah tersebut di atas, konsep mainstreaming yang berkembang sejak tahun 1960-an dianggap sebagai gagasan yang tepat. Dengan konsep ini, ALB akan dapat memperoleh layanan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhan individualnya, kecuali kesempatan me n g e mb a ng k an sikap sosial bersama teman-temannya yang normal. Dengan konsep ini, pendidikan luar biasa dipadukan dengan pendidikan umum, sehingga pendidikan semua anak menjadi tanggung jawab beberapa profesi terkait, seperti para g u r u pendidikan luar biasa, guru kelas, psikolog, psikiater, guru BP, tenaga medis, pekerja sosial, ahli fisioterapi, ahli bina wicara dan lain -lain. 

Seorang anak juga mempunyai beberapa alternatif penempatan yang bersifat temporer, misalnya bimbingan khusus di kelas biasa, bimbingan khusus di luar kelas, kelas khusus , sampai yang paling berat adalah institusi (sekolah berasrama). Di sinilah pentingnya program pengajaran individual bagi anak luar biasa, yang menggambarkan secara pasti kebutuhan khususnya, misalnya bimbingan sosia l seminggu sekali, bina wicara dua kali seminggu, bimbingan khusus membaca dan menulis, atau fisioterapi setengah  jam sehari. Bahkan, di negara yang mempunyai  layanan  PLB  paling  maju  di  dunia,  seperti  di  negara -negara Skandinavia, sudah tidak ada lagi pemisahan antara anak norma lde ngan ana k luar biasa. Inilah yang dikenal dengan inclusion yang meungkinkan setia  anak memperoleh perlakuan secara individual. Konsep mainstreaming yang pertama kali muncul di negara-negara Skandinavia inilah yang tampaknya akan menjadi arah baru dalam PLB di dunia. (Reynolds dan Birch, 1988).

Bagaimana perkembangan pendidikan berkebutuhan khusus di Indonesia? Perkembangan pendidikan berkebutuhan khusus di Indonesia dapat diklasifikasi menjadi masa sebelum merdeka, masa sampai dengan tahun 1984, dan ma sa sejak  tahun   1984.   Klasifikasi   ini  berdasarkan   kenyataan   bahwa   sistem pendidikan nasional baru dikenal pada tahun 1945, meskipun sebelumnya telah ada upaya untuk mendidik anak luar biasa. Bentuk layanan PLB mengalami perubahan yang berarti pada tahun 198 4, dengan dicanangkannya wajib belajar enam tahun.

a. Pendidikan Luar Biasa Sebelum Merdeka

Pendidikan luar biasa di Indonesia dapat ditelusuri sampai dengan awal abad XX. Atas inisiatif dr.Westhoff, pada tahun 1901 dibukalah satu lembaga untuk penyandang tuna netra yang pertama di Indonesia, bertempat di kota Bandung . Layanan yang diberikan kepada penyandang tuna netra, baik untuk anak - anak maupun dewasa, adalah penampungan dan latihan kerja dalam bentuk sheltered work shop (bengkel kerja terbimbing). Modal utama dalam pendirian yayasan ini berasal dari keluarga Belanda 

Sekolah bagi anak tuna grahita yang pertama juga didirikan dikota Bandung pada tahun 1927. Pendiri sekolah ini adalah Vereniging Bijzonder Onderwijs dengan promotornya bernama Folker, sehing ga sekolah ini diberi nama Folk er School. Pada tahun 1942, nama sekolah ini diganti menjadi Perkumpulan Pengajaran Luar Biasa.

Kota Bandung tampaknya merupakan kota bersejarah bagi PLB di Indonesia. Kecuali kedua jenis layanan  di atas yang pertama  kali dib uka di Bandung, sekolah bagi anak tuna rungu-wicara yang pertama juga dibuka di Bandung pada tahun  1930, berdasarkan  Surat keputusan  Nomor  34 Tahun 1930 sebagai tambahan Berita Negara 1930-09. Pendiri sekolah ini adalah Ny.C.M.Roelfsema , isteri seorang dokter ahli THT, dan sekolah ini bernama Vereniging Voor Ondervijs an Doofstomme Kinderen in Indonesia.

Pada saat yang hampir sama, sebuah sekolah khusus bagi anak tuna rungu - wicara putri didirikan di kota Wonosobo Jawa Tengah. Nama sekolah ini adalah Werk Voor Misdeelde Kinderen in Nederlands host Indie yang pada t a h u n 1 9 58 diubah menjadi Yayasan Dana Uphakara. Sedangkan bagi anak tuna rungu - wicara putra didirikan Bruder Karitae yang kernudian diganti menjadi Yayasan Karya Bahkti.

Sebuah sekolah bagi anak tuna netra kernudian didirikan di Temanggung atas inisiatif masyarakat. Dalam perkembangannya, yayasan Zending Protestan membantu membesarkan sekolah tersebut, bahkan juga dibuka layanan bagi anak tuna grahita.

Berbeda dengan perhatian terhadap anak tuna netr a, tuna rungu, atau tuna grahita, bagi anak-anak nakal belum diselengga-rakan sekolah khusus, meskipun sudah ada badan-badan seperti Pro Juventute di beberapa tempat. Badan ini bertugas menampung anak-anak nakal dan anak terlantar. Di penampungan, mereka memdapat layanan pendidikan dan pengajaran, meskipun yang disediakan bukan pendidikan khusus. Di Tangerang, anak -anak nakal eks nara pidana dilatih dengan berbagai ketrampilan. 

Pada masa penjajahan Jepang, lembaga -lembaga PLB ini diijinkan untuk terus beroperasi, dengan biaya dari masyarakat sendiri atau oleh yayasan. Tetapi karena masalah biaya, selama penjajahan Jepang hampir tidak ada kemajuan yang terlihat.

b. Perkembangan Sampai Dengan Tahun 1984

Setelah Indonesia merdeka, keberadaan PLB semakin terjami n, karena u n d an g undang  yang berlaku, dalam hal ini UU Pendidikan Nomor 12 Tahun 1954, memuat ketentuan tentang pendidikan dan pengajaran luar biasa. Namun demikian,  lembaga  yang  mengawasi  dan  mengelola  PLB  telah  berkali -kali mengalami perubahan, sejalan dengan perkembangan dan perubahan dalam tata usaha negara.

pada kurun waktu ini, satu-satunya lembaga PLB yang ada di tanah air adalah sekolah  luar biasa, yaitu sekolah  khusus bagi penyandang jenis kecacatan tertentu.

Yang menarik adalah bahwa sampai denga n tahun 1963, PLB dan lembaga pendidikan guru PLB, yaitu SGPLB masih dikelola dan diawasi oleh instansi yang sama. Organisasi pengawasannya mengalami perkembangan, yaitu tahun 1 9 5 4 oleh Seksi Pengajaran  Luar Biasa, bagian dari Balai Pendidikan Guru yang berkedudukan  di Bandung; tahun 1955 oleh Urusan Pendidikan Luar Biasa, bagian dari Jawatan Pengajaran, berkedudukan di Jakarta; tahun 1957 oleh Urusan Pendidikan Luar Biasa, bagian dari Jawatan Pendidikan Umum, berkedudukan di Jakarta.

c. Perkembangan Setelah Tahun 1984

Tahun 1984 merupakan tahun yang mempunyai arti besar bagi dunia pendidikan di Indonesia, karena pada tahun itulah pemerintah mencanangkan gerakan wajib belajar  enam  tahun,  yang  berarti  bahwa  semua  anak  usia  sekolah  harus menyelesaikan pendidikan minimal sampai dengan tingkat SD: Untuk menuntaskannya, berbagai langkah telah ditempuh, misalnya pendirian sekola h - sekolah baru, gerakan Kejar Paket A, sekolah kecil, sekolah terbuka,dan sebagainya.

Gerakan wajar 6 tahun ini ternyata mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan PLB di tanah air. Anak luar biasa tidak mungkin tertampung di SLB-SLB yang telah ada. Kecuali jumlahnya masih sangat terbatas, letaknyapu n sebagian besar berada di kota-kota besar, sedangkan hampir semua pengelolanya adalah yayasan swasta.






Sumber Utama :  Indra Jaya, M.Pd. dan  Dr. Indina Tarjiah, M.Pd 2019.  Modul PPG Progam Studi PLB. Kemendikbud


Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar