Dalam bahasan ini akan dikupas sedikit tentang sumbangan pemikiran dari para founding fathers sosiologi, yaitu Auguste Comte, Emile Duekheim, Marx Weber, Karl Marx, dan Herbert Spencer.
1) Auguste Comte
Jika kita lihat dalam sejarah awal munculnya Sosiologi, Comte (1798-1857) pada awalnya bermaksud memberi nama fisika sosial, bagi ilmu yang akan diciptakannya. Namun hal tersebut tidak terwujud dikarenakan istilah fisika sosial telah digunakan oleh Saint Simon terlebih dahulu (Coser, 1977). Sumbangan pemikiran Comte tertuang dalam sebuah karya yang berjudul Course de Philosophie Positive, yang berisi tentang “hukum kemajuan manusia” atau “hukum tiga tahap perkembangan intelektual”. Comte menyebutkan bahwa sejarah pemikiran manusia melewati tiga tahap yang mendaki, yaitu: teologi, metafisika, dan positif.
Tahap pertama (Teologis), manusia mencoba menjelaskan gejala di sekitarnya dengan merujuk kepada hal-hal adikodrati. Pada tahap ini, bentuk kepercayaan masyarakat primitif berupa kepercayaan kepada roh-roh maupun dewa-dewa yang mengontrol semua gejala alam. Di akhir tahap ini, masyarakat mulai percaya akan Tuhan yang berkuasa penuh atas jagad raya.
Tahap kedua (Metafisik), manusia memahami gejala di sekitarnya dengan mengacu kekuatan-kekuatan metafisik, yaitu hal-hal yang berada di luar jangkauan akal budi manusia) atau hal-hal abstrak.
Tahap ketiga (Positif), merupakan tahap paling tinngi, penjelasan alam maupun sosial dilakukan dengan mengacu pada deskripsi ilmiah atau hukum-hukum ilmiah. Di tahap ini manusia mulai mencari dan menemukan hubungan yang seragam dalam gejala atau fenomena yang ada di sekitarnya. Pengetahuan dijadikan sebagai data empiris. Namun, pengetahuan itu sifatnya sementara dan dinamis sehingga terbuka terhadap pembaharuan.
Gambar. Auguste Comte
Sumber: www.listennotes.com
Oleh karena memperkenalkan metode positif, maka Comte dianggap sebagai perintis positivisme. Seperti kita ketahui bahwa ciri dari metode positif ialah bahwa obyek yang dikaji harus berupa fakta, lalu kajian harus bermanfaat serta mengarah ke kepastian dan kecermatan. Menurut Comte, metode yang dapat digunakan untuk melakukan kajian positivistik ialah pengamatan, perbandingan, eksperimen atau metode historis. Hingga saat ini, jika kita lihat Tahap Positivistik merupakan satu tahap yang kuat dan dipercaya oleh kalangan intelektual sebagai metode yang bersifat ilmiah.
Kita juga melihat sumbangan lainnya adalah pembagian sosiologi ke dalam dua bagian besar, yaitu: Statika Sosial (social statics) yang mewakili stabilitas dan Dinamika Sosial (social dynamics) mewakili perubahan.
2) Emille Durkheim
Emile Durkheim (1858-1917) dipandang sebagai salah satu peletak dan pencetus sosiologi modern. Ia mendirikan fakultas sosiologi pertama di sebuah universitas Eropa pada 1895 dan menerbitkan salah satu jurnal pertama yang diabdikan kepada ilmu sosial, L’Annee Sociologique (1896).
Dalam bukunya tentang The Division of Labor in Society (1893) misalnya, ia mengemukakan bahwa bidang industri modern yang menggunakan mesin, modal dan tenaga kerja, telah mengakibatkan munculnya pembagian kerja dalam bentuk spesialisasi dan pemisahan pekerjaan yang makin terperinci. Tidak hanya di bidang pertanian, pembagian kerja tersebut juga terjadi di sektor perdagangan, politik, hukum, kesenian dan keluarga. Tujuan kajian itu adalah mengetahui faktor penyebab daan memahami fungsi pembagian kerja tersebut.
Gambar. Emile Durkheim
Sumber: www.listennotes.com
Dalam pandangan Durkheim, setiap kehidupan masyarakat manusia itu memerlukan solidaritas. Menurutnya, soidaritas dibedakan ke dalam dua hal, yaitu mekanis dan organis. Solidaritas mekanis berjalan atas dasar kepercayaan dan kesetiakawanan yang diikat oleh conscience collective (kesadaran kolektif). Kesadaran kolektif dilandasi oleh hati nurani. Menurut Durkheim, seiring dengan semakin berkembangnya pembagian kerja terjadi proses diferensiasi dan spesialisasi. Pada gilirannya, solidaritas mekanis berubah menjadi solidaritas organis. Solidaritas organis ditandai dengan adanya saling ketergantungan karena anggota masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Suatu sistem terpadu yang terdiri dari bagian-bagian seperti suatu organisme. Solidaritas ini didasarkan pada hukum dan akal. Durkheim menekankan arti penting pembagian kerja dalam masyarakat, karena pembagian kerja itu berfungsi meningkatkan solidaritas. Dengan adanya pembagian kerja itu, maka solidaritas akan meningkat, karena setiap bagian tergantung satu sama lain.
Dalam buku Rules of Sociological Method, (1895) Durkheim menyatakan bahwa sosiologi harus mempelajari fakta-fakta sosial. Fakta sosial berisi cara bertindak, berpikir dan merasakan yang mengendalikan individu tersebut. Bentuk fakta sosial antara lain hukum, kepercayaan, adat istiadat, cara berpakaian, atau kaidah ekonomi. Segala bentuk kelanggaran atas hal-hal tersebut akan diberi sanksi.
3) Max Weber
Max Weber (1864-1920) adalah seorang sosiolog Jerman banyak memberikan perhatian kepada manusia yang bertindak. Dikatakannya, bahwa kesatuan dari kehidupan manusia itu adalah tindakan sosial. Tindakan pada pikiran dan kemauan manusia itu sendiri. Yang seharusnya digunakan untuk memahami dan menjelaskan kehidupan masyarakat adalah diri manusia dan tipe-tipe perilaku sosial. Berdasar pada pendekatan tersebut, sosiologi akan menjadi ilmu yang mempelajari tentang pemahaman interpretatif (verstehen) mengenai tindakan sosial manusia.
Weber juga berbicara tentang Tindakan Rasional. Menurut dia, tindakan rasional itu dikategorikan menjadi empat, yaitu tindakan Rasional Instrumental, Tindakan Rasional Nilai, Tindakan Afektif dan Tindakan Tradisional.
a) Tindakan rasional instrumental adalah tindakan yang berdasarkan pada pertimbangan dan pilihan yang sadar dalam kaitannya dengan tujuan suatu tindakan dan alat yang dipakai untuk meraih tujuan. contoh transaksi di pasar, bekerja di kantor, dll.
b) Tindakan rasional berorientasi nilai yaitu tindakan untuk meraih tujuan dalam hubungan dengan nilai absolut bagi individu, yang dipertimbangkan secara sadar. Contoh: memberi bantuan kemanusiaan, mencari nafkah untuk keluarga, dll.
c) Tindakan afektif, yaitu tindakan yang didominasi oleh perasaan tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar. Contoh: tindakan yang didasari perasaan marah, takut, gembira, sedih, atau cinta.
d) Tindakan tradisional, yaitu tindakan dikarenakan kebiasaan tanpa refleksi dan perencanaan yang sadar. Contoh tindakan yang berkaitan nilai-nilai budaya tertentu atau adat-istiadat yang dilakukan secara turun- temurun.
4) Karl Marx
Karl Marx (1818-1881) lebih dikenal sebagai seorang tokoh sejarah ekonomi, filsafat dan aktivis yang mengembangkan teori sosialisme. Dalam perkembanganya, gagasan-gagasan Marx berkembang menjadi ideologi dikenal dengan istilah Marxisme.. Sumbangan Marx terhadap ilmu sosiologi terletak pada teori kelas. Dalam melihat dunia, Marx berpandangan bahwa sejarah umat manusia merupakan sejarah perjuangan kelas. Menurutnya, perkembangan pembagian kerja dalam kapitalisme menumbuhkan dua kelas yang berbeda. Kelas pertama, yaitu borjuis, adalah mereka yang menguasai alat produksi dan mengeksploitasi mereka yang tidak memiliki alat produksi. Mereka yang tidak memiliki alat produksi, hanya memiliki tenaga fisik, dan dieksploitasi, adalah kelas proletar.
Menurut Marx, suatu saat nanti kelas proletar akan menyadari kepentingan bersama mereka, lalu memberontak. Terjadi konflik antar kelas, atau disebutnya dengan perjuangan kelas. Dalam konflik tersebut, borjuis akan mengalami kekalahan. Setelah meraih kemenangan dalam perjuangannya, proletar diramalkan akan mendirikan suatu masyarakat tanpa kelas. Oleh sementara kalangan, pendekatan sosiologis Marx disebut sebagai pendekatan konflik. Meski ramalan Marx tidak pernah terwujud, namun pemikirannya tentang stratifikasi sosial dan konflik berpengaruh besar terhadap sejumlah pemikiran ahli sosiologi. Marx dalam analisisnya lebih menekankan pada perubahan sosial besar yang melanda Eropa Barat sebagai dampak dari pembagian kerja, khususnya yang terkait dengan perkembangan kapitalisme
Seperti kita ketahui konsep Marx tentang perjuangan kelas hingga saat ini masih relevan dan hal tersebut dapat dilihat dengan adanya konflik kepentingan antara buruh (proletar) dan pemilik modal (borjuis) yang hampir dapat dikatakan selalu bertentangan. Ketegangan tersebut bisa kita lihat, bagaimana kelompok elit ingin mempertahankan kepentingan dan mengembangkan modal (dengan cara berproduksi menggunakan modal sekecil mungkin modalnya), di lain pihak, kelompok masyarakat bawah memperjuangkan kepentingan untuk meingkatkan kesejahteraan.
5) Herbert Spencer
Herbert Spencer (1820-1903) adalah sosiolog asal Inggris. Perhatian utama Spencer adalah melacak atau menemukan proses evolusi sosial melalui masyarakat secara historis dan sosiologis. Spencer memandang masyarakat sebagai suatu kesatuan dan perkembangan yang utuh dengan hubungan- hubungan fungsional dan menopang dalam organisme biologis. Dalam hal ini, Spencer merupakan seorang pelopor dari paham fungsionalis strukturalis kontemporer.
Proses evolusi masyarakat berawal dari perorangan bergabung menjadi keluarga, keluarga bergabung menjadi kelompok, kelompok bergabung menjadi desa, desa menjadi kota, kota menjadi negara, negara menjadi perserikatan bangsa- bangsa.
Dalam bukunya yang berjudul First Principles (1862) ia mengatakan bahwa kita harus bertitik tolak dari The low of the persistence of force yaitu prinsip ketahanan kekuatan. Artinya siapa yang kuat dialah yang menang dalam masyarakat. Teori Spencer mengenai evolusi masyarakat merupakan bagian dari teorinya yang lebih umum mengenai evolusi seluruh jagat raya.
Spencer membedakan empat tahap evolusi masyarakat:
a) Tahap penggandaan atau pertambahan Baik tiap-tiap makhluk individual maupun tiap-tiap orde sosial dalam keseluruhannya selalu bertumbuh dan bertambah.
b) Tahap kompleksifikasi. Salah satu akibat proses pertambahan adalah makin rumitnya struktur organisme yang bersangkutan. Struktur keorganisasian makin lama makin kompleks.
c) Tahap pembagian atau diferensiasi. Evolusi masyarakat juga menonjolkan pembagian tugas atau fungsi, yang semakin berbeda-beda. Pembagian kerja menghasilkan pelapisan sosial (stratifikasi). Masyarakat menjadi terbagi kedalam kelas-kelas sosial.
d) Tahap pengintegrasian. Dengan mengingat bahwa proses diferensiasi mengakibatkan bahaya perpecahan, maka kecenderungan negatif ini perlu dibendung dan diimbangi oleh proses yang mempersatukan.
Pada tahun 1850 Herbert Spencer mengenalkan Survival of The Fittest dalam buku Social Static, dia yakin bahwa kekuatan hidup manusia adalah sarana untuk menghadapi ujian hidup serta menyesuaikan diri dengan perubahan- perubahan sosial maupun fisik. Seleksi alam ‘yang kuatlah yang menang’ menjadi prasyarat manusia menuju puncak kesempurnaan dan kebahagiaan. Spencer menerima pandangan ini karena ia merupakan seorang darwinis sosial. Jadi jika tidak dihambat oleh intervensi eksternal, orang yang kuat akan bertahan hidup dan berkembang biak, sementara yang lemah pada akhirnya akan punah. Konsep ini juga diistilahkan dengan Darwinisme Sosial.
source : modul belajar mandiri pppk, ips sosiologi Pembelajaran 1. Sosiologi sebagai Ilmu Pengetahuan, kemdikbud
Baca Juga
Komentar
Posting Komentar