Penyimpangan dan Pengendalian Sosial
Penyimpangan sosial sering ditemukan dalam kehidupan di sekitar kita. Penyimpangan sosial terjadi akibat ketidaksesuaian perilaku atau tindakan dengan nilai dan norma sosial dalam masyarakat. Penyimpangan sosial dapat mengganggu keteraturan sosial. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengendalian sosial untuk mengembalikan keteraturan sosial.
a. Penyimpangan Sosial
Menurut Elly M. Setiadi dan Usman Kolip (2011), penyimpangan sosial merupakan semua perilaku manusia, baiksecara individual maupun kelompok yang tidak sesuai nilai dan norma yang berkembang dalam kelompok tersebut. Penyimpangan sosial sering disebut deviasi sosial. Adapun pelaku penyimpangan sosial disebut devian (deviant).
1) Ciri-Ciri Penyimpangan Sosial
Menurut Horton dan Hunt (1987) ciri-ciri penyimpangan sosial sebagai berikut.
a) Terdapat penyimpangan relatif dan penyimpangan mutlak. Artinya, terdapat pihak-pihak yang melakukan penyimpangan dengan frekuensi kecil atau disebut penyimpangan relatif dan terdapat pihak-pihak yang melakukan penyimpangan dengan frekuensi besar dan kontinu atau disebut penyimpangan mutlak.
b) Muncul penyimpangan terhadap budaya nyata dan budaya ideal.
Artinya, budaya ideal berkaitan dengan norma yang tertulis. Akan tetapi, banyak peristiwa budaya nyata yang menyimpang dari budaya ideal.
c) Didefinisikan perilaku menyimpang oleh masyarakat. Artinya, suatu perilaku yang telah dicap sebagai penyimpangan karena merugikan dan meresahkan masyarakat. Pedoman yang digunakan yaitu nilai dan norma sosial dalam masyarakat.
d) Terdapat norma penghindaran dalam penyimpangan. Artinya, terdapat praktik- praktik dalam masyarakat yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku, tetapi masyarakat menolak jika dikatakan menyimpang.
e) Penyimpangan dapat diterima atau ditolak. Artinya, penyimpangan yang dilakukan tidak selalu berdampak negatif. Jika penyimpangan berdampak positif seperti mendorong perubahan akan diperbolehkan.
2) Faktor Penyebab Terjadinya Penyimpangan Sosial
Penyimpangan sosial dalam masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor berikut:
a) Keterbatasan ekonomi.
b) Pelampiasan rasa kecewa.
c) Sosialisasi tidak sempurna.
d) Pemberian julukan (labelling).
e) Pengaruh mental yang tidak sehat.
f) Keinginan seseorang untuk dipuji oleh orang lain.
g) Pengaruh lingkungan dan media massa yang cenderung negatif.
h) Adanya differential association atau asosiasi diferensial.
i) Sosialisasi subkebudayaan menyimpang.
j) Penyerapan nilai dan norma dalam proses sosialisasi tidak maksimal.
3) Hubungan Sosialisasi dengan Penyimpangan Sosial
Proses sosialisasi yang mempengaruhi munculnya penyimpangan sosial meliputi proses belajar menyimpang dan proses sosialisasi tidak sempurna.
a) Proses belajar menyimpang. Individu atau kelompok melakukan proses sosialisasi berupa belajar melakukan penyimpangan. Individu atau kelompok secara sadar ingin melakukan penyimpangan. Misalnya, pelajar secara sadar melanggar tata tertib sekolah.
b) Proses sosialisasi tidak sempurna. Agen atau media sosialisasi yang tidak menjalankan proses sosialisasi secara benar dapat mendorong terjadinya penyimpangan sosial. Misalnya, orang tua tidak menjalankan fungsi afeksi dan kontrol terhadap anak.
4) Klasifikasi Penyimpangan Sosial dalam Masyarakat
Penyimpangan sosial dalam masyarakat dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
a) Berdasarkan Sifatnya
(1) Penyimpangan positif yaitu perilaku yang bertentangan dengan norma kebiasaan dalam masyarakat, tetapi berdampak positif bagi pelaku penyimpangan atau orang lain di sekitarnya. Sebagai contoh, perempuan bekerja pada pekerjaan yang mayoritas dikerjakan oleh laki- laki atau sebaliknya.
(2) Penyimpangan negatif yaitu seluruh perilaku bertentangan dengan nilai dan norma dominan dalam masyarakat. Penyimpangan ini menimbul- kan keresahan dan berdampak negatif bagi pelaku atau masyarakat. Masyarakat biasanya tidak mentoleransi tindak penyimpangan negatif.
b) Berdasarkan Jumlah Pelakunya
1) Penyimpangan individual yaitu penyimpangan yang dilakukan oleh seseorang yang melanggar tatanan nilai dan norma di lingkungan masyarakat.
2) Penyimpangan koiektif yaitu bentuk pelanggaran terhadap nilai dan norma oleh sekelompok orang secara terkoordinasi. Penyimpangan ini terjadi karena adanya pengaruh subkebudayaan menyimpang.
c) Berdasarkan Jenisnya
1) Penyimpangan primer yaitu penyimpangan yang dilakukan dalam kondisi terdesak atau ketidaksengajaan. Ciri penyimpangan ini bersifat temporer, tidak dilakukan secara berulang-ulang, dan masih dapat ditoleransi oleh masyarakat.
2) Penyimpangan sekunder yaitu penyimpangan sosial yang dilakukan secara berulang-ulang dan sudah mengarah pada pelanggaran hukum.
b. Pengendalian terhadap Penyimpangan Sosial
Menurut Bruce J. Cohen (1992), pengendalian penyimpangan sosial merupakan cara-cara atau metode yang digunakan untuk mendorong seseorang agar berperilaku selaras dengan kehendak kelompok atau masyarakat tertentu. Masyarakat dapat mengajak, mendidik, serta memaksa warga masyarakat mematuhi nilai dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.
1) Fungsi Pengendalian Sosial
Pengendalian sosial memiliki beberapa fungsi sebagai berikut.
a) Mempertebal keyakinan masyarakat terhadap norma sosial.
b) Memberikan imbalan kepada warga yang menaati norma.
c) Mengembangkan rasa malu.
d) Mengembangkan rasa takut.
e) Menciptakan sistem hukum.
2) Proses Pengendalian terhadap Penyimpangan Sosial
Proses pengendalian terhadap penyimpangan sosial terbagi menjadi tiga bagian, yaitu berdasarkan cara, sifat, dan bentuk pengendalian sosial.
a) Berdasarkan Cara Pengendalian Sosial
Pengendalian sosial berdasarkan caranya sebagai berikut.
(1) Persuasif merupakan pengendalian sosial tanpa kekerasan dengan melakukan pendekatan-pendekatan, balk secara formal maupun informal dalam bentuk sosialisasi, imbauan, dan bimbingan kepada pelaku penyimpangan agar mematuhi nilai dan norma sosial.
(2) Koersif merupakan pengendalian sosial dengan cara kekerasan atau paksaan, baik secara fisik maupun nonfisik untuk membentuk masya- rakat yang tertib sosial.
b) Berdasarkan Sifat Pengendalian Sosial
Pengendalian sosial berdasarkan sifatnya.
1) Preventif merupakan pengendalian sosial yang dilakukan dengan mencegah munculnya gangguan keserasian masyarakat.
2) Represif merupakan pengendalian sosial yang dilakukan untuk mengembalikan keserasian akibat
3) Pelanggaran nilai dan norma sosial. Upaya pengendalian sosial ini dilakukan dengan cara memberikan sanksi.
c) Berdasarkan Bentuk Pengendalian Sosial
Pengendalian sosial berdasarkan bentuknya sebagai berikut.
(1) Formal merupakan pengendalian sosial bersifat tertulis yang dilaku- kan oleh pihak berwenang seperti polisi, kejaksaan, dan pengadilan. Pelaku penyimpangan akan diproses sesuai ketentuan undang- undang dan peraturan yang berlaku.
(2) Nonformal merupakan pengendalian sosial yang tidak tertulis dan dilakukan oleh masyarakat kepada pelaku penyimpangan secara langsung melalui desas-desus, intimidasi, teguran, cemooh, dan pengucilan.
3) Jenis-jenis Pengendalian Sosial
a) Gosip. Gosip atau desas-desus atau kabar burung, merupakan berita yang menyebar belum tentu atau tanpa berdasar kenyataan. Pada umumnya orang tidak senang kalau menjadi sasaran gosip, sebab gosip menyebabkan perubahan sikap masyarakat terhadap orang yang digosipkan. Oleh karena itu orang akan berusaha tidak menjadi sasaran gosip. Gosip menjadikan seseorang menyadari kesalahannya, lalu berusaha bertindak sesuai denga norma yang berlaku.
b) Sindiran. Sindiran merupakan cara menegur seseorang tidak secara langsung kepada orang yang bersangkutan atau pelanggaran yang dilaku- kannya. Sindiran dimaksud untuk menegur secara halus supaya orang yang dimaksud tidak kehilangan muka dan segera menyadari kekeliruannya.
c) Teguran. Teguran adalah peringatan yang dilakukan oleh satu pihak kepada pihak lain secara tertulis maupun lisan. Tujuannya untuk menyadarkan pihak yang melakukan perilaku menyimpang.
d) Sanksi. Sanksi atau hukuman adalah perlakuan tertentu yang sifatnya tidak mengenakkan atau menimbulkan penderitaan, diberikan kepada seseorang yang melakukan penyimpangan. Hukuman ini dimaksudkan untuk menyadarkan pelaku penyimpang sehingga tidak melakukan penyimpangan lagi, dan memberikan contoh kepada masyarakat bahwa aturan harus ditegakkan.
e) Pendidikan. Melalui pendidikan seseorang menjadi tahu, memahami, mengakui dan bersedia berperilaku sesuai dengan norma yang berlakau dalam masyarakat. Pendidikan berlangsung dalam tiga matra yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
f) Agama. Bagi umat beragama, agama memberikan pedoman hidup, baik dalam berhubungan dengan sesama manusia, dengan alam maupun dengan Tuhan. Agama memberikan perintah untuk berbuat baik dan memberikan larangan untuk berbuat jahat.
4) Kelompok Sosial
Menurut Rouceck dan Warren (Veeger, 1992) kelompok sosial adalah suatu kelompok yang meliputi dua atau lebih manusia, yang di antara mereka terdapat beberapa pola interaksi yang dapat dipahami oleh para anggotanya atau orang lain secara keseluruhan.
Menurut Abdulsyani (1990) kelompok adalah kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi. Kelompok diciptakan oleh anggota masyarakat. Kelompok juga dapat memengaruhi perilaku para anggotanya. Kelompok sosial juga merupakan himpunan manusia yang hidup bersama dalam suatu perikatan sosial dan kultural.
Park dan Burgess (Susanto, 1979: 48) menyebut bahwa kelompok sebagai “social group” antara para anggotanya perlu ada interaksi dengan faktor-faktor utama yaitu:
An interrelationship (hubungan antara para anggotanya) An interplay of personality (teman bermain) A moving unit of interacting personalites (gerak sosial)
Robert Mac Iver (Soekanto, 2002: 115) mengemukakan bahwa diperlukan suatu syarat-syarat untuk mendefinisikan kelompok sosial, yaitu:
1) Setiap anggota kelompok harus sadar bahwa dia merupakan bagian dari kelompok yang bersangkutan;
2) ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan lainnya;
3) ada suatu faktor yang dimiliki bersama yang mempererat hubungan anggota kelompok, seperti faktor senasib, ideologi, kepentingan, tujuan, dan kepercayaan;
4) berstruktur, berkaidah, dan mempunyai pola perilaku;
5) bersistem dan berproses.
a. Proses Terbentuknya Kelompok Sosial
Pada dasarnya, pembentukan kelompok dapat diawali dengan adanya keyakinan bersama akan perlunya pengelompokan dan tujuan, adanya harapan yang dihayati oleh anggota-anggotanya, serta adanya ideologi yang mengikat semua. Dalam proses selanjutnya didasarkan adanya hal-hal berikut (Susanto, 1979):
Persepsi: Pembagian kelompok didasarkan pada tingkat kemampuan intelegensi yang dilihat dari pencapaian akademis. Misalnya terdapat satu atau lebih punya kemampuan intelektual, atau yang lain memiliki kemampuan bahasa yang lebih baik. Dengan demikian diharapkan anggota yang memiliki kelebihan tertentu bisa menginduksi anggota lainnya.
Motivasi: Pembagian kekuatan yang berimbang akan memotivasi anggota kelompok untuk berkompetisi secara sehat dalam mencapai tujuan kelompok. Perbedaan kemampuan yang ada pada setiap kelompok juga akan memicu kompetisi internal secara sehat. Dengan demikian dapat memicu anggota lain melalui transfer ilmu pengetahuan agar bisa memotivasi diri untuk maju. Tujuan/ideologi: Terbentuknya kelompok karena memiliki tujuan untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas kelompok atau individu.
Organisasi: Pengorganisasian dilakukan untuk mempermudah koordinasi dan proses kegiatan kelompok. Dengan demikian masalah kelompok dapat diselesaikan secara lebih efesien dan efektif.
Independensi: Kebebasan merupakan hal penting dalam dinamika kelompok. Kebebasan disini merupakan kebebasan setiap anggota untuk m enyampaikan ide, pendapat, serta ekspresi selama kegiatan. Namun demikian kebebasan tetap berada dalam tata aturan yang disepakati kelompok.
Interaksi: Interaksi merupakan syarat utama dalam dinamika kelompok, karena dengan interaksi akan ada proses transfer ilmu dapat berjalan secara horizontal yang didasarkan atas kebutuhan akan informasi tentang pengetahuan tersebut.
Apabila kelompok telah terbentuk, maka dengan sendirinya diusahakan mempertahankan dirinya/hidupnya. Kelangsungan hidup dari tiap-tiap kelompok sosial tersebut, dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya faktor psikologis dan faktor sosial (Susanto, 1979).
Faktor psikologis meliputi
(1) Tiap-tiap anggota takut dicela oleh anggota lainnya;
(2) Bahwa tiap-tiap anggota memerlukan perasaan aman dan membutuhkan perlindungan dari kelompoknya.
Sedangkan faktor sosial meliputi
(1) Adanya norma kelompok (group norm);
(2) Jumlah atau banyaknya koordinasi antara anggota kelompok menentukan berlangsungnya suatu kelompok.
(3) Kelompok sebagai tempat perwujudan dari kebutuhan.
b. Macam - Macam Kelompok Sosial
Masyarakat terdiri atas macam-macam kesatuan sosial, karena itu dapat dibedakan (diklasifikasikan) ke dalam beberapa jenis atas dasar berbagai ukuran. Berbagai pengklasifikasian tentang kelompok sosial telah banyak dilakukan para tokoh sosiologi.
1) Dilihat dari besaran jumlah anggotanya, George Simmel (Soekanto, 2002: 118) menganalisa kelompok-kelompok sosial mulai dari satu orang sebagai fokus hubungan sosial, yang dinamakan monad, kemudian dua orang (dyad), tiga orang (triad), dan seterusnya.
2) Dilihat dari berlangsungnya suatu kepentingan, Max Weber (Soekanto, 2002: 136-139; Sunarto, 2000: 140) menyoroti tentang adanya konsep kelompok formal (formal group) dan kelompok informal (informal group). Kelompok formal dirumuskan sebagai kelompok-kelompok yang mempunyai peraturan-peraturan yang tegas dan dengan sengaja diciptakan oleh anggota-anggotanya untuk mengatur hubungan antara anggota-anggotanya. Pada kelompok informal tidak terdapat struktur dan organisasi secara pasti. Kelompok informal biasanya terbentuk karena pertemuan yang berulang kali atas dasar kepentingan dan pengalaman yang sama.
3) Dilihat dari derajat interaksi sosial, Charles Horton Cooley (Soekanto,2002: 125-132; Sunarto, 2000: 134), membagi kelompok sosial menjadi dua, yaitu kelompok primer (primary group) dengan kelompok sekunder (secondary group). Menurutnya, kelompok primer adalah kelompok yang ditandai oleh pergaulan dan kerjasama yang bersifat intim dan pribadi, misalnya keluarga, kelompok sepermainan (peer group), rukun tetangga, dan sebagainya. Sedangkan kelompok sekunder adalah kelompok- kelompok besar yang terdiri dari banyak orang, hubungannya tidak berdasarkan kedekatan pribadi dan tidak langgeng, misalnya, kelompok buruh pada masyarakat industri, klub sepakbola pada masyarakat industri, dan sebagainya.
4) Dilihat dari sudut persaingan antar-kelompok, William Graham Sumner (Soekanto, 2002: 123-125; Sunarto, 2000: 134) mengklasifikasikan pembedaan antara kelompok dalam (in-group) atau kelompok kami (we- group) dan kelompok luar (out-group) atau kelompok orang lain (others group). Kelompok dalam merupakan kelompok sosial di mana individu mengidentifikasikan dirinya. Dalam kelompok ini terdapat hubungan persahabatan, kerjasama, dan kedamaian antara anggotanya. Sedangkan kelompok luar adalah kelompok di luar in-group-nya, yang ditandai oleh adanya rasa perbedaan, persaingan bahkan permusuhan. Sebagai contoh, kelompok “kami siswa sekolah X” dan “mereka siswa sekolah Z”, “kami orang desa” dan “mereka orang kota”, dan seterusnya.
5) Dilihat dari derajat organisasi, Robert K. Merton (Soekanto, 2002: 139-142; Sunarto, 2000: 135) membedakan antara membership group (kelompok anggota) dan reference group (kelompok acuan). Membership group merupakan kelompok di mana seseorang secara fisik menjadi anggota kelompok tersebut, meskipun karena situasi tertentu seseorang tersebut tidak selalu berkumpul dengan anggota lain dalam kelompok tersebut, misalnya kelompok pelajar SMA, kelompok mahasiswa, kelompok pekerja, dan sebagainya Sedangkan reference group adalah kelompok sosial yang menjadi acuan bagi seseorang untuk membentuk pribadi dan perilakunya. Misalnya, kelompok sosialita di Amerika menjadi referensi bagi kelompok sosialita di Indonesia.
6) Dilihat dari kepentingan wilayah Ferdinand Tonnies (Soekanto, 2002: 132-136; Sunarto, 2000: 133) juga mengulas secara rinci pembagian kelompok sosial. Menurutnya kelompok sosial dibagi menjadi dua bagian, gemeinschaft dan gesselschaft. Gemeinschaft atau masyarakat paguyuban digambarkan sebagai bentuk kehidupan bersama,di mana anggota-anggotanya oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta kekal. Ciri - ciri paguyuban, yaitu: 1) Intim yaitu hubungan menyeluruh yang mesra; 2) Privat, yaitu hubungan yang bersifat pribadi atau khusus untuk beberapa orang saja; dan 3) Ekslusif, yaitu hubungan tersebut hanyalah untuk anggota dan tidak untuk orang-orang lain di luar anggota. Ada tiga tipe paguyuban, 1) paguyuban karena ikatan darah (gemeinschaft by blood) atau genealogis, yaitu kelompok yang terbentuk berdasarkan hubungan sedarah. Kelompok genealogis memiliki tingkat solidaritas yang tinggi karena adanya keyakinan tentang kesamaan nenek moyang. Contoh: keluarga, kelompok kekerabatan. 2) paguyuban karena tempat (gemeinschaft of place), yaitu kelompok sosial yang terbentuk berdasarkan lokalitas (komunitas). Contoh: Beberapa keluarga yang berdekatan membentuk RT(Rukun Tetangga), dan selanjutnya sejumlah Rukun Tetangga membentuk RW (Rukun Warga); dan 3) paguyuban karena ideologi atau hubungan kepatuhan (gemeinschaft of mind). Contoh: organisasi massa berdasarkan agama. Sedangkan gesselschaft atau masyarakat patembayan, dilukiskan sebagai kelompok sosial yang memiliki ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu yang pendek sementara. Ciri-ciri patembayan:
1) Impersonal, yaitu hubungan keanggotaan sebatas kepentingan.
2) Kontraktual, yaitu ikatan antaranggota berdasarkan perjanjian semata;
3) Realistis dan ketas, yaitu hubungan antaranggotanya tidak akrab dan mengutamakan untung rugi. Contoh: ikatan antara pedagang, organisasi dalam sebuah pabrik, atau masyarakat di lingkungan perkotaan.
7) Dilihat dari kuat lemahnya ikatan kelompok, Emile Durkheim (Sunarto, 2000: 132) melihat bahwa masyarakat terbagi menjadi dua kelompok sosial berdasarkan ikatan solidaritas, yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Dalam masyarakat yang menganut solidaritas mekanik, yang diutamakan adalah faktor persamaan perilaku dan sikap. Seluruh warga masyarakat terikat dalam kesadaran kolektif (collective conscience), suatu kesadaran bersama yang mencakup kepercayaan dan perasaan dan bersifat memaksa. Solidaritas mekanik ini biasanya terdapat dalam masyarakat pedesaan. Sedangkan masyarakat yang menganut solidaritas organik, cenderung saling ketergantungan karena adanya pembagian kerja. Ikatan yang tumbuh dalam masyarakat ini terjalin melalui kesepakatan di antara kelompok profesi. Masyarakat dengan solidaritas organik ini diidentikan dengan masyarakat yang terdapat di lingkungan perkotaan.
Berdasarkan pada ada tidaknya organisasi, hubungan sosial antara kelompok, dan kesadaran jenis, Robert Bierstedt (Sunarto, 2000: 130) menggunakan tiga kriteria untuk membedakan jenis kelompok, yaitu:
(a) adanya orientasi yang telah ditentukan bersama atau organisasi;
(b) kesadaran jenis yang sama; dan
(c) adanya hubungan sosial. Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut dibedakan empat jenis kelompok:
1) Kelompok statistik (statistical group), adalah pengelompokan atas dasar ciri tertentu. Kelompok ini merupakan hasil ciptaan para ilmuwan sosial hanya untuk kepentingan analitis, misalnya kelompok umur, kelompok pekerjaan, kelompok jenis kelamin;
2) Kelompok kemasyarakatan (societal group), merupakan kelompok yang hanya memenuhi satu persyaratan, yaitu adanya kesadaran dan persamaan di antara anggotanya, misalnya kelompok pemuda, kelompok wanita, kelompok petani, kelompok pengusaha
3) Kelompok sosial (social group), merupakan kelompok yang mempunyai kesadaran jenis di antara anggotanya dan berhubungan satu dengan yang lain tetapi tidak terikat dalam ikatan organisasi, misalnya kelompok teman, kerabat, keluarga batih;
4) Kelompok asosiasi (associational group), merupakan kelompok yang para anggotanya memiliki kesadaran jenis, persamaan kepentingan pribadi (like interest) dan kepentingan bersama (common interest), serta terdapat hubungan sosial yang umumnya bersifat formal, misalnya sekolah, OSIS, gerakan pramuka, fakultas, parpol, KORPRI, dan sebagainya.
Selain klasifikasi di atas tentunya masih banyak kelompok lain yang tidak tercakup. Masih berdasarkan kriteria Bierstedt, Soerjono Soekanto (2002:122) menambahkan adanya kelompok sosial yang tidak teratur, yakni suatu kelompok di mana orang-orang berkumpul di suatu tempat pada waktu yang sama, karena pusat perhatian yang sama, dan bersifat temporer, misalnya kerumunan, massa, publik, dan kelompok kecil (small group).
1) Kerumunan (crowd) merupakan individu yang berkumpul secara bersamaan serta kebetulan di suatu tempat dan juga pada waktu yang bersamaan. Kerumunan jelas tidak terorganisasi, tidak mempunyai sistem pembagian kerja maupun sistem pelapisan sosial. Bentuk umum kerumunan sebagai berikut :
a) Kerumunan berartikulasi dengan struktur sosial:
Khalayak penonton atau pendengar yang formal (formal audiences) merupakan kerumunan-kerumunan yang mempunyai pusat perhatian dan persamaan tujuan akan tetapi sifatnya pasif, misalnya penonton bioskop, penonton wayang kulit/orang.
Kelompok ekspresif yang telah direncanakan (planned expressive group), adalah kerumunan yang pusat perhatiannya tak begitu penting akan tetapi mempunyai persamaan tujuan yang tersimpul dalam aktifitas kerumunan tersebut serta kepuasan yang dihasilkannya, misalnya, demonstrasi penolakan kenaikan harga BBM, aksi joget para penonton konser musik dangdut, aksi para suporter sepakbola yang mendukung tim kesayangannya.
b) Kerumunan yang bersifat sementara (casual crowds) :
Kumpulan yang kurang menyenangkan, misalnya orang-orang yang mengantre karcis, melakukan penjarahan, orang-orang menunggu bis dan sebagainya.
Kerumunan orang-orang yang sedang dalam keadaan panik (panic crowds), misalnya orang-orang yang bersama-sama berusaha menyelamatkan diri dari suatu bahaya, misalnya lari karena ada gempa.
Kerumunan penonton (spectator crowds), misalnya kerumunan yang terjadi karena orang-orang ingin melihat suatu kejadian tertentu, misalnya menonton korban kecelakaan
c) Kerumunan yang berlawanan dengan norma-norma hukum (lawles crowds):
Kerumunan yang bertindak emosional (acting mobs). Kerumunan- kerumunan semacam ini bertujuan untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan mempergunakan kekuatan fisik yang berlawanan dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Contoh: aksi pengeroyokan pada pelaku curanmor, perusakan fasilitas umum oleh para demonstran.
Kerumunan yang bersifat immoral (immoral crowds), hampir sama dengan kelompok-kelompok ekspresif, akan tetapi bedanya adalah bahwa yang utama bertentangan dengan norma-norma dalam masyarakat. Misalnya, kelompok orang bermain judi, kelompok orang sedang berpesta miras/narkoba.
2) Massa merupakan kelompok yang cenderung tidak teratur, yang mempunyai ciri-ciri mirip dengan kerumunan, tetapi terbentuknya disengaja atau direncanakan dengan persiapan (tidak spontan), misalnya aksi protes/demontrasi, orang-orang yang mengikuti kegiatan tertentu, seperti sepeda gembira.
3) Publik merupakan kelompok yang tidak merupakan suatu kesatuan.
Interaksi antar individu terjadi secara tidak langsung melalui alat komunikasi, misalnya opini atau desas-desus melalui media seperti surat kabar, radio, televisi, film, maupun jejaring sosial.
4) Kelompok kecil (small group) merupakan suatu kelompok secara teoritis terdiri paling sedikit dua orang yang saling berhubungan untuk memenuhi tujuan - tujuan tertentu dan menganggap hubungan itu penting bagi individu yang bersangkutan. Oleh karena itu, kelompok kecil merupakan wadah bagi orang yang mempunyai kepentingan – kepentingan yang sama. Kelompok ini selalu timbul dalam kerangka organisasi yang lebih besar dan luas.
Bagikan Artikel
Komentar
Posting Komentar