Teater Modern Indonesia Masa Teater Mutakhir (1970-masa kini)


 

Teater Modern Indonesia Masa Teater Mutakhir (1970-1980)
Teater Modern Indonesia Masa Teater Mutakhir (1970-1980)

Sejarah teater modern Indonesia secara historis menurut Jakob Sumardjo (1992:101) Pada Masa Teater Mutakhir (1970-1980) terdiri dari:
a)    Teater Tahun 1970-an;
b)    Teater Tahun 1980an;
c)    Teater Tahun 1990-2000-an;
d)    Teater Masa kini.

Teater Mutakhir Indonesia

Masa teater mutakhir Indonesia bisa dimulai pada pertengahan tahun 1960-an, namun dalam pembahasan di sini periodisasi tersebut akan ditulis mulai tahun 1970-an sampai teater Indonesia masa kini.

a)    Teater Indonesia 1970-an

Didirikannya pusat kesenian Taman Ismail Marzuki oleh Ali Sadikin, gubernur DKI jakarta tahun 1970, menjadi pemicu meningkatnya aktivitas, dan kreativitas berteater tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di kota besar seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Padang, Palembang, Ujung Pandang, dan lain-lain. Taman Ismail Marzuki menerbitkan 67 (enam puluh tujuh) judul lakon yang ditulis oleh 17 (tujuh belas) pengarang sandiwara, menyelenggarakan festival pertunjukan secara teratur, juga lokakarya dan diskusi teater secara umum atau khusus. Tidak hanya Stanislavsky tetapi nama-nama seperti Brecht, Artaud dan Grotowsky juga diperbincangkan. Di era 1970-an W.S. Rendra dengan Bengkel Teater- nya yang dalam penggembaraan teaternya, mementaskan naskah-naskah Barat seperti Oidupus Sang Raja, Oidupus Di Kolonus, Lisistrata dan lain- lain, menggunakan pola teater rakyat yang sangat akrab dengan kebudayaan daerah. Seperti pemanfaatan iringan tetabuhan dengan gamelan Nyi Philis menjadi salah satu pembaharuan yang unik.

Di Bandung Suyatna Anirun bersama STB banyak mementaskan lakon asing yang diadaptasi menjadi lakon pribumi. Suyatna Anirun mengembangkan ragam teater yang khas Indonesia karena gaya teater dan sikap berkeseniannya begitu membumi. Karya penting Suyatna Anirun antara lain: Paman Vanya (Anon Chekov), Karto Loewak (Ben Jonson), Tabib Tetiron (Moliere), Lingkaran Kapur Putih (Bertold Brecht), Antigone (Sophochles), Kuda Perang (Geothe), Geusun Ulun (Saini KM), Romeo & Juliet (William Shakespeare), Badak-badak (Ionesco), King Lear (William Shakespeare), Burung Camar (Anton Chekov). Di Surabaya muncul bentuk pertunjukan teater yang mengacu teater epik (Brecht) dengan idiom teater rakyat (kentrung dan ludruk) melalui Basuki Rahmat, Akhudiat, Luthfi Rahman, Hasyim Amir (Bengkel Muda Surabaya, Teater Lektur, Teater Mlarat Malang). Di Yogyakarta Azwar AN mendirikan teater Alam. Mohammad Diponegoro dan Syubah Asa mendirikan Teater Muslim. Di Padang ada Wisran Hadi dengan teater Padang. Di Makassar, Rahman Arge dan Aspar Patturusi mendirikan Teater Makassar. Lalu Teater Nasional Medan didirikan oleh Djohan A Nasution dan Burhan Piliang.

Tokoh-tokoh teater yang muncul tahun 1970-an lainnya adalah Teguh Karya (Teater Populer), D. Djajakusuma, Wahyu Sihombing, Pramana Padmodarmaya (Teater Lembaga), Ikranegara (Teater Saja), Danarto (Teater Tanpa Penonton), Adi Kurdi (Teater Hitam Putih). Arifin C. Noor (Teater Kecil) dengan gaya pementasan yang kaya irama dari blocking, musik, vokal, tata cahaya, kostum dan verbalisme naskah. Putu Wijaya (Teater Mandiri) dengan ciri penampilan menggunakan kostum yang meriah dan vokal keras. Menampilkan manusia sebagai gerombolan dan aksi. Fokus tidak terletak pada aktor tetapi gerombolan yang menciptakan situasi dan aksi sehingga lebih dikenal sebagai teater teror. N. Riantiarno mendirikan Teater Koma dengan ciri produksi pementasan yang mengutamakan tata artistik glamor.

b)    Teater Indonesia 1980-an

Tahun 1980-an sampai dengan 1990-an situasi politik Indonesia kian seragam melalui pembentukan lembaga-lembaga tunggal di tingkat nasional. Ditiadakannya kehidupan politik kampus sebagai akibat peristiwa Malari 1974. Dewan-dewan Mahasiswa ditiadakan. Dalam latar situasi seperti itu lahir beberapa kelompok teater yang sebagian merupakan produk festival teater. Di Jakarta dikenal dengan Festival Teater Jakarta (sebelumnya disebut Festival Teater Remaja). Beberapa jenis festival di Yogyakarta, di antaranya Festival Seni Pertunjukan Rakyat yang diselenggarakan Departemen Penerangan Republik Indonesia (1983). Di Surabaya ada Festival Drama Lima Kota yang digagas oleh Luthfi Rahman, Kholiq Dimyati dan Mukid F.

Pada saat itu lahirlah kelompok-kelompok teater baru di berbagai kota di Indonesia. Di Yogyakarta muncul Teater Dynasti, Teater Jeprik, Teater Tikar, Teater Shima, dan Teater Gandrik. Teater Gandrik menonjol dengan warna teater yang mengacu kepada roh teater tradisional kerakyatan dan menyusun berita-berita yang aktual di masyarakat menjadi bangunan cerita. Lakon yang dipentaskan antra lain, Pasar Seret, Meh, Kontrang- kantring, Dhemit, Upeti, Sinden, dan Orde Tabung. Di Solo (Surakarta) muncul Teater Gapit yang menggunakan bahasa Jawa dan latar cerita yang meniru lingkungan kehidupan rakyat pinggiran. Salah satu lakonnya berjudul Tuk. Di samping Gapit, di Solo ada juga Teater Gidag-gidig. Di Bandung muncul Teater Bel, Teater Re-publik, dan Teater Payung Hitam. Di Tegal lahir teater RSPD. Festival Drama Lima Kota Surabaya memunculkan Teater Pavita, Teater Ragil, Teater Api, Teater Rajawali, Teater Institut, Teater Tobong, Teater Nol, Sanggar Suroboyo. Di Semarang muncul Teater Lingkar. Di Medan muncul Teater Que dan di Palembang muncul Teater Potlot. Dari Festival Teater Jakarta muncul kelompok teater seperti, Teater Sae yang berbeda sikap dalam menghadapi naskah yaitu posisinya sejajar dengan cara-cara pencapaian idiom akting melalui eksplorasi latihan. Ada pula Teater Luka, Teater Kubur, Teater Bandar Jakarta, Teater Kanvas, Teater Tetas selain teater Studio Oncor, dan Teater Kami yang lahir di luar produk festival (Malna,1999: 191).

c)    Teater Indonesia 1990-2000-an

Perkembangan teater Indonesia terus belanjut dan mengalami dinamika yang sangat menarik. Kelompok teater yang dibentuk pada tahun 1990-an mulai menampakkan kemajuannya pada era 2000-an. Di Yogyakarta ada Teater Garasi yang berdiri pada tanggal 4 Desember 1993 di lingkungan kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, dengan pendirinya Yudi Ahmad Tajudin, Kusworo Bayu Aji dan Puthut Yulianto. Pada tahun 2000 mengalami kemajuan yang pesat.

Mereka menjadikan teater sebagai sebuah laboratorium penciptaan teater. Karya-karya yang diciptakan tidak hanya didasari pada keinginan atau capaian artistik tetapi juga dilandasi dengan riset yang sungguh-sungguh. Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan cermat ini kemudian diformulasikan menjadi sebuah bentuk pementasan. Dengan demikian, tampilan atau sajian teater yang dihadirkan bisa dirunut secara akademis dan memliki landasan teori atau referensi yang kuat. Selain riset, Teater Garasi juga menerapkan manajemen teater modern dan dalam bidang ini mereka sangat berhasil sehingga mampu bertahan sampai sekarang. Teater Garasi dengan direktur artistik, Yudi Ahmad Tajudin menjadi salah satu kelompok teater yang memiliki prestasi dan dikenal secara lokal, nasional dan internasional.

Di Lampung teater yang menggunakan manajemen modern adalah teater Satu. Meski bermula dari teater komunitas dan banyak berkecimpung dengan kegiatan teater kampus mereka berkembang dengan baik dan mampu menciptakan ragam pertunjukan yang menarik. Berbagai isu aktual mereka tampilkan dengan menggunakan berbagai pendekatan artistik. Di samping itu mereka juga menciptakan berbagai macam aktivitas yang mendukung perkembangan teater.

Di Surabaya teater API kembali bangkit dan mencoba menggali kemungkinan-kemungkinan baru ekspresi artistik dalam pementasannya. Meskipun teater alam berhenti berproses namun kebangkitan teater ini mampu memberikan warna sendiri dalam perkembangan teater modern tahun 2000-an terutama di wilayah Jawa Timur.

Teater-teater modern di Indonesia pada era 2000-an berhadapan dengan budaya teknologi informasi mutakhir yang melahirkan iklim kompetisi ketat. Hal ini sangat berdampak pada pilihan artistik yang ditawarkan. Ketika arus informasi berkembang dengan cepat dan sangat mudah diakses oleh siapapun, pilihan konsep artistik menjadi sangat penting. Orang akan lebih mudah beralih ke media tonton atau hiburan yang lain. Oleh karena itu, teater sangat ditantang untuk menghadirkan pertunjukan yang benar-benar menarik minat. Beberapa teater tetap memilih dengan jalur kreasinya meski dengan isu dan beberapa instrumen yang disesuaikan seperti Teater Koma dan Teater Gandrik. Namun beberapa teater yang lain mencoba mengadaptasi hal-hal terbaru baik dalam isu, struktur, bahkan gaya aktingnya terus dilakukan oleh Teater Payung Hitam (Rahman Sabur) dari Bandung dan Saturday Acting Club (SAC) pimpinan Rukman Rosadi dari Yogyakarta.

Kelompok-kelompok teater ini selalu mencoba mencari alternatif pertunjukan yang dirasa mampu memberikan alternatif tontonan. Kekuatan teks verbal terkadang dipadukan atau bahkan diadu dengan kekuatan tubuh dan tidak jarang bahkan tubuh lebih berkuasa dari pada teks verbal. Intinya adalah banyak cara yang bisa ditempuh untuk membicarakan atau merenungkan satu persoalan secara bersama antara pemain dan penonton.

d)    Teater Masa Kini

Dewasa ini, perkembangan teater di Indonesia sangat beragam. Namun ciri utamanya adalah penyesuaian diri dengan keadaan atau situasi kekinian. Bahkan teater daerah pun mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan keadaan ini. Perubahan manajemen ke arah modern harus dilakukan begitu pula dengan pilihan tampilan artistik. Tidak jarang teater daerah menggunakan isntrumen musik elektronik dalam pementasannya atau bahkan memasukkan dan menggabungkan unsur-unsur modern dalam pementasannya.

Di Yogyakarta muncul Wayang Hip-hop yang menggabungkan seni wayang dengan musik hip-hop. Di Jawa Tengah lahir Wayang Kampung Sebelah yang menghadirkan realitas kehidupan sehari-hari. Semangat ketidakrelaan jika wayang ini mengalami stagnasi atau kemandegan membuat para seniman mencoba merekonstruksi pertunjukan wayang dalam perspektif artistik yang berbeda-beda. Contohnya, Slamet Gundono melalui pertunjukan Wayang Suket yang teatrikal dan Mujar Sangkerta dengan Wayang Milehnium Wae penuh nuansa rupa, boneka wayang berukuran besar dan tersaji menggunakan model happening art.

Pembaharuan teater daerah tidak hanya terjadi pada seni wayang namun juga seni yang lain. Di Medan, Bang Thomson berupaya untuk kembali menggairahkan kehidupan Opera Batak dilakukan sedemikian rupa. Di Yogyakarta seniman dan beberapa institusi terus berusaha untuk melanggengkan kesenian Kethoprak dengan berbagai macam konsep dan tawaran pertunjukan yang baru. Di Surakarta dan Jakarta kejayaan Wayang Wong coba lagi dimunculkan dan bahkan mereka memiliki jadwal pemanggungan yang bisa dikatakan tetap. Di Jawa Timur banyak kelompok ludruk yang mulai menerapkan manajemen modern dalam keberlangsungan hidupnya. Hampir di setiap propinsi di Indonesia yang memiliki kesenian teater daerah berusaha membangkitkan kembali kesenian tersebut dan menempatkannya dalam posisi yang seharusnya. menempatkannya dalam posisi yang seharusnya.

Pada wilayah seni teater modern perkembangannya semakin menarik. Pesona teater modern dengan berbagai macam atribut yang terkesan intelek dan penuh nuansa pemikiran bukan menjadi satu-satunya pilihan ekspresi. Justru banyak muncul teater-teater yang mencoba menggali atau membangkitkan lagi semangat teater kerakyatan. Rasa rindu akan tontonan yang lebih memasyarakat mungkin menjadi salah satu pemicunya. Kedekatan hubungan emosional antara pemain dan penonton yang selama ini sering terjauhkan dalam pertunjukan teater modern kembali dihadirkan. Penonton seolah kembali di bawa ke masa lalu.

Pada akhirnya seni teater Indonesia kontemporer memiliki banyak ragam pilihan ekspresi. Kebebasan senimannya menentukan bentuk ekspresi yang akan ditampilkan. Yang sangat menarik dari kondisi ini adalah gairah kesenian menjadi semakin kuat dan sekat-sekat yang biasanya menjadi penghalang untuk berekspresi semisal konvensi menjadi lumer. Semua dikembalikan pada kehendak artistik seniman teater yang ingin melahirkan karya seni baru.

 

 

Source: Modul pppk seni teater

Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar