Tari Tradisi : Tari Tradisional, Tari Bedhaya dan Tradisi Klasik
• Tari Tradisional
Kata tradisi dalam perbincangan umum, sering diartikan sebuah kebiasaan. Tradisi adalah suatu kebiasaan yang sifatnya turun temurun, berulang-ulang dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam kurun waktu yang panjang. Didalam suatu tradisi terkandung nilai-nilai dan norma-norma yang mengikat bagi masyrakatnya. Bertitik tolak dari pandangan umum, tari tradisional adalah tarian yang tumbuh dan berkembang dalam suatu wilayah atau suatu komunitas, sehingga kemudian menciptakan suatu identitas budaya dari masyarakat bersangkutan.
Berdasarkan uraian di atas kemudian dikenal tari-tarian Minang, Sunda, Jawa, Bali, Kalimantan dan sebagainya. Akan tetapi tari tradisi bukan hanya hidup dan berkembang di wilayah asalnya saja, melainkan banyak juga yang berkembang di luar wilayah tersebut. Misalnya tari Aceh, Minang dan Jawa berkembang pula di kota Jakarta. Demikian pula tari Bali juga bisa berkembang di Yogyakarta atau di kota Bandung yang secara geografis bukan wilayah Bali. Tetapi dimanapun tari tradisi berkembang, tarian tersebut bisa dikenali dari ciri-cirinya yang khas, dan diakui berasal dari wilayah asalnya.
Ciri-ciri tersebut meliputi unsur gerak, tata rias, busana, dan musik pengiringnya. Selain dari wilayah geografis etnisnya, tingkatan atau strata sosial budaya suatu kelompok masyarakat ikut pula wewarnai kekhasan kehidupan tarinya. Oleh sebab itu taritarian yang tumbuh di lingkungan kaum bangsawan (ningrat) atau istana, bentuk tariannya berbeda dengan tarian yang hidup dalam kalangan rakyat umum di desa-desa.
Demikian juga tarian di kota berbeda dengan tarian di desa atau kampung. Tari tradisional berdasarkan nilai artistik garapannya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu tari primitif, tari rakyat, dan tari klasik.
• Tradisi Klasik
Tari Klasik adalah tari yang telah mengalami kristalisasi artistik yang tinggi yang ada semenjak jaman feodal. Tari klasik pasti mempunyai nilai-nilai tradisional, sedangkan tarian tradisional belum tentu mempunyai nilai klasik, karena tari klasik selain berciri tradisional juga memiliki nilai keindahan yang tinggi. Terminologi klasik berasal dari kata latin classic yang berarti golongan masyarakat yang tinggi pada jaman Romawi kuna. Pada jaman Romawi, Tullius membagi masyarakat menjadi 6 golongan berdasarkan atas kekayaannya. Golongan yang terendah disebut Klasproletari dan yang tertinggi disebut kelas Classici. Oleh Aulus Geullius istilah Classici ini dipakai untuk menyebut hasil karya dari pengarang-pengarang bangsa Romawi yang berprestasi atau bermutu tinggi (Iyus rusliana, 1997: 102).
Kemudian pengarangnya disebut Sciptor Classicus. Berdasarkan pengutaraan mengenai arti klasik dari jaman Romawi itu dapat dikatakan bahwa salah satu khas klasik adalah mengandung nilai keindahan yang tinggi.
Tari Jawa gaya Yogyakarta merupakan contoh tari klasik, sebab tarian tersebut tampak dengan jelas adanya bentukbentuk aturan baku yang sangat mengikat. Jenis geraknya sudah ditentukan mulai dari, posisi, komposisi termasuk pakaian dan dialognya pula. Dialog dalam drama tari Jawa berupa jenis suara, yaitu tekanan tinggi, rendah, keras, serta lembut yang telah ditentukan dan ada standar yang mengikat.
Tari Jawa gaya Surakarta meskipun masih dapat dikatakan klasik namun sedikit mendekati romantik. Sebenarnya ada standar ataupun pola, baik pada bentuk gerak hubungannya dengan komposisi dan pakaian maupun dialog, namun tidak begitu mengikat. Geraknya lebih gemulai, pakaiannya lebih gemerlapan cahaya warna dan variasinya. Sedangkan dialognya lebih merupakan ekspresi emosi dari si penari yang lebih komunikatf. Berikut ini contoh beberapa tari Klasik:
• Tari Bedhaya
Tari Bedhaya adalah tarian puteri yang dibawakan oleh sembilan penari wanita dengan mengenakan busana yang sama. Tari ini mengisahkan sebuah cerita. Tari Bedhaya dahulu merupakan kelengkapan kebesaran sebuah keraton, baik keraton Surakarta maupun keratin Yogyakarta. Tari Bedhaya yang merupakan pelengkap kebesaran seorang raja ini ada satu yang dianggap sacral oleh keraton Surakarta yaitu Bedhaya Ketawang, sedangkan Yogyakarta Bedhaya Semang.
Dari kedua jenis tersebut yang paling dianggap sacral adalah Bedhaya Ketawang yang dipertunjukkan pada peringatan hari ulang tahun penobatan Susuhunan di atas tahta. Dilingkungan istana, Bedhaya Ketawang dipercaya bahwa tarian tersebut diilhami oleh Dewi Laut Selatan, atau Nyai (ratu) Lara Kidul. Ia dikatakan tampil pada raja pertama yaitu Sultan Agung, dan mengungkapakan cintanya kepadanya dengan sebuah lagu yang ia nyanyikan sambil menari dihadapannya. Dewi ini diminta untuk mengajarkan tarinya kepada penari- penari sang raja, supaya sang raja selalu bisa mengenang Dewi Laut Selatan. Sebuah pertunjukan Bedhaya Ketawang selalu didahului oleh sesaji dan pembakaran kemenyan bagi Ratu Kidul (lazim disebut Kanjeng Ratu Kidul) atau salah seorang bidadarinya dan seorang moyang dinasti sultan yang sedang memerintah. Bedhaya secara tradisional tampil dalam sebuah kelompok yang beranggotakan sembilan orang.
Busana dan hiasan-hiasan mereka adalah busana dari pengantin puteri. Dalam musik serta nyanyian yang mengiringi tari mereka yang lambat, sebuah suara wanita solo biasanya mendahului bagian-bagian koor. Teks dari nyanyian Bedhaya Ketawang dianggap begitu suci, hingga transkripnya dihindari karena takut akan pencemaran akibat kesalahan. Tema-tema tari Bedhaya sering kali erotis secara puitis, hanya sedikit ungkapan nafsu yang jelas dalam tariannya. Berjalan masuk dan keluar adalah prosesional yang khidmat.
Awal dan akhir dari tarian ini sama seperti pada semua tari istana yang lain, terdiri dari gerak-gerak maknawi penyembahan yaitu dari sembah yang ditujukan kepada seorang dewa, yaitu raja dan tamu-tamu terhormat. Sedangkan gerakan yang sederhana dimulai dengan tangan yang terkatup diangkat pada level hidung dan wajah yang sedikit dicondongkan. Namun dalam versi tari sembah selalu ada urutan yang rumit tetapi indah ya dari itu dimulai kepala dan lengan, tangan, dan gerak tubuh, dan para penari duduk di lantai. Pada saat para penari bangkit dari posisi duduk, mereka tetap pada posisi semula, kemudian berlanjut kesatu gerak yang mengalir dengan lembutdisertai dengan permainan halus dari tangan-tangan molek yang menjimpit dan menjatuhkan, menerpa dan melemparkan ujung-ujung selendang tari mereka yang tergantung bebas.
Ke sembilan penari Bedhaya berbusana sama serta menari dengan teknik yang sama yaitu tari puteri halus yang lembut. Masing-masing penari memiliki nama sendiri-sendiri menurut fungsinya.
source modul PPPK Seni Budaya Aspek Seni Tari
Bagikan Artikel
Komentar
Posting Komentar