Dompu Pada Masa Kesultanan


Dompu Pada Masa Kesultanan
Dompu Pada Masa Kesultanan

Pada abad ke-XIX di Dompu saat itu memerintah raja-raja yang lemah, Kerajaan di kacaukan oleh berbagai pemberontakan pada tahun 1803 yang memaksa memerlukan campur tangan pihak Residen. Sejak Sultan Abdul Azis, putra Sultan Abdullah yang mengganti Sultan Yakub tidak banyak berbuat untuk memajukan kerajaannya. Seluruh kerajaan antara tahun 1810-1814 diancam perompak-perompak yang menghancurkan desa-desa yang ada di wilayah Dompu saat itu. Pada sekitar tahun 1809 Gubernur Jenderal Daendels menegaskan, Gubernur Van Kraam untuk memperbaharui perjanjian dengan Dompu. Perjanjian tersebut diadakan di Bima, begitu pula penggantinya Sultan Muhammad Tajul Arifin I putra Sultan Abdull Wahab, Sultan Muhammad Tajul Arifin I diganti oleh Sultan Abdull Rasul II. Tahun 1815 ketika Tambora meletus, Kesultanan Dompu ikut hancur meski tak separah tiga Kerajaan disekitar gunung Tambora, sepertiga dari penduduk tewas dan sepertiga lainya berhasil melarikan diri.

Sultan Abdull Rasul II memindahkan Istana Bata (ASI NTOI) kini merupakan Situs Doro Bata yang terletak di kelurahan Kandai I Kecamatan Dompu ke Istana Bata yang baru (ASI BOU) Karena itu beliau disebut dengan gelar "BATA BOU", beliau diganti oleh putranya, Sultan Muhammad Salahuddin. Salahuddin mengadakan perbaikan dalam system dan hukum pemerintahaan, beliau menetapkan hukum adat berdasarkan hasil musyawarah dengan para alim ulama sekaligsu menetapkan hukum adat yang dipakai adalah hukum Islam yang berada di wilayah kekuasaannya. Dalam menjalankan pemerintahaannya Sultan dibantu oleh majelis hadat serta majelis hukum, mereka itu dalam tatanan kepangkatan hadat dan hukum, mereka selanjutnya disebut manteri-manteri dengan sebutan "Raja Bicara, Rato Rasana'e, Rato Perenta, dan Rato Renda" mereka tergabung suatu dewan hadat, merupakan badan kekuasaan yang mempunyai wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan Sultan.

Hadat juga merupakan kelengkapan pemerintahan yang berfungsi menjalankan hukum agama yang di kepalai oleh "Kadi" atau Sultan menurut keperluannya. Seperti Sultan-Sultan sebelumnya, Salahuddin tetap melakukan hubungan dengan pihak pemerintah kolonial Belanda. Menurut Zolinger, sejak mengadakan perjanjian dengan Kompeni pada sekitar tahun 1669, selanjutnya Sultan Muhammad Salahuddin diganti oleh putranya yakni Sultan Abdullah. Pada masa pemerintahaannya beliau menanda tangani kontrak panjang pada tahun 1886. Beliau Selanjutnya diganti oleh putranya Sultan Muhammad Siradjuddin yang memperbaharui kontrak tersebut pada sekitar tahun 1905. Tahun 1934, Sultan Muhammad Siradjuddin di buang oleh Belanda ke Kupang NTT, selama 3 tahun di pengasingan, pada tahun 1937 Sultan Muhammad Siradjuddin akhirnya wafat pada usia 89 tahun dan di makamkan di komplek pemalaman muslim Batu Kadera Kelurahan Air Mata Kecamatan Kota Kupang NTT. Sultan Muhammad Siradjuddin diberi gelar (Sultan Manuru Kupa), Sultan yang wafat di Kupang. Tahun 2002, atau tepatnya setelah hampir 65 tahun bersemayam dengan tenang di bumi Cendana Kupang, akhirnya kerangka jenazah almarhum Sultan Manuru Kupa di boyong ke Dompu oleh Pemerintah Kabupaten Dompu pada masa Pemerintahaan Bupati H.Abubakar Ahmad,SH atas persetujuan pihak keluarga almarhum serta pihak legislatif (DPRD Kabupaten Dompu). Kini almarhum Sultan Manuru Kupa di makamkan di komplek pemakaman Sultan Dompu atau tepatnya di komplek Masjid Agung Baiturahman Dompu.

Dompu resmi menjadi kesultanan ketika Islam masuk dan menjadi Agama resmi di wilayah kesultanan Dompu, yakni ketika Dompu dipimpin oleh raja Dompu ke-9 yaitu La Bata Na E atau Sultan Syamsuddin. Berdasarkan Tambo Kerajaan Dompu menyebutkan secara lengkap 29 Raja/Sultan yang pernah memimpin Dompu sejak tahun 1545-1958 (selama 413 tahun):


Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar